Bimbang

5 2 1
                                    

#Toh_Brahma (2)
.

Semeru memandang wajah perempuan yang belum genap sehari jadi istrinya. Rinjani dengan segala pesona miliknya, tengah terlelap damai. Polos, bagai bayi yang baru lahir. Damai, seperti tak ada beban di hidupnya.

Mata indah berbalut bulu mata lentik itu terpejam. Bibir tipis yang senantiasa tersenyum dan memiliki daya pikat yang luar biasa, sedikit terbuka. Kulitnya wajahnya bening, memancarkan kecantikan paripurna.

Keelokan paras yang dimiliki Rinjani itulah yang membuat Semeru jatuh hati. Didukung dengan perangai lembut dan senyum menentramkan hati.

Semeru menghela nafas panjang. Kembali mengingat awal pertemuan mereka.

Pagi hari, sebelum dia berangkat bekerja, mengendarai motor matic miliknya.
Semeru menyusuri jalan yang membelah persawahan. Dia melihat seorang bidadari bumi tengah menikmati udara pagi.

Kemilau mentari pagi, semakin memancarkan kecantikan sang dewi. Semeru terpana, terpesona akan kecantikan rupa. Perempuan tercantik yang pernah ia temui sepanjang 27 tahun hidupnya. Perempuan yang mampu menyita seluruh perhatiannya. Menjungkir balikkan logika.

Hampir setiap pagi, mata Semeru di sejukkan dengan pemandangan yang sama. Tak ayal, jantung pemuda itu berdebar akan perasaan cinta. Dia memberanikan diri, berkenalan dengan perempuan yang setiap detik mengganggu pikirannya. Setiap malam datang berkunjung di mimpi indahnya.

Rinjani gadis kota. Perempuan yatim piatu yang sudah menjanda dua kali itu,  melakukan ruralisasi* ke desa Karang Jambe. Dia ingin menenangkan diri setelah dua kali kehilangan dua orang tercinta di waktu awal pernikahan.

Takdir manis menghampirinya. Dia bertemu dengan Semeru. Pemuda lajang yang punya niat mulia untuk mempersuntingnya. Perkenalan singkat, sudah membuat keduanya mantap melangkah ke pelaminan.

Rinjani gadis pendiam, terlihat lugu meski dirinya berasal dari kota metropolitan. Siapa sangka, wanita itu memiliki rahasia di tubuhnya. Tanda lahir berwarna kemerahan berbentuk ular cobra. Tentu Semeru tidak tahu, karena letaknya di area yang menjadi aurat istrinya. Sebelum kata 'sah' menggema, dia tidak bisa melihat tubuh wanita pujaannya.

Suara kukuk burung hantu memutus lamunan Semeru. Diliriknya jam dinding yang menempel di atas pintu kamar. Sudah hampir shubuh.

Dengan langkah lesu, pengantin baru itu beranjak. Mengambil wudhu untuk bermunajat. Menunaikan dua raka'at.

Khusyuk Semeru memohon do'a. Berharap semua cerita dan ucapan orang tuanya hanya bualan belaka. Cerita kuno yang tak bisa dipertanggung jawabkan kebenarannya.

"Toh brahma bukan sekedar tanda lahir, Le. Toh itu hidup. Bisa membunuh siapapun yang menganggu tubuh inangnya." Ucapan dari bapak  semalam, kembali berputar di kepala Semeru setelah dia menyelesaikan ibadahnya.

Di atas sajadah, Semeru duduk bersila. Mengingat kembali petuah orang tuanya sembari menatap wajah Rinjani yang tidur miring menghadap dirinya.

"Ceraikan dia, Ru. Atau kamu akan bernasib sama dengan kedua suami Rinjani sebelumnya.  Kamu tidak mengenal Rinjani dengan benar. Silakan kamu tanyakan penyebab kematian dua suaminya."

"Hidup dan mati itu Allah yang mengatur, Pak. Percaya dengan hal yang seperti itu namanya syirik."

"Sihir itu memang ada, Le. Sejak zaman nabi pun sudah ada."

"Oke, kalau memang itu benar. Tapi, bukan berarti aku harus menceraikan Jani tanpa alasan yang jelas."

"Kurang jelas apalagi? Dia itu membawa sengkolo. Bencana akan datang pada keluarga kita. Bahkan kematian. Silakan kalau kamu ngeyel. Pertahankan dia, tapi bapak tidak izinkan kalian tinggal di rumah ini."

Semeru menyugar rambut hitam legam miliknya. Otaknya panas karena terlalu banyak berpikir. Kesejukkan yang ia dapat saat menghamba, seketika menguap entah kemana. Terlalu rumit. Bahkan saat pernikahannya belum genap satu hari.

Ingin hati memperthankan pernikahannya, ia tidak tahu harus membawa istrinya ke mana. Uang tabungannya sudah terkuras untuk menyelenggarakan pesta.

Jika menuruti kata orang tua, dia tidak tega menabur luka pada orang tercinta. Pun terlalu jenaka, ketika baru sehari menikah sudah menjadi duda. Apa kata orang di luaran sana.

Lalu apa yang harus ia lakukan? Mendepak istri tapi masih membelenggunya dalam ikatan?
Dia aman. Sayangnya itu justru bagi Rinjani akan sangat menyakitkan.

Otak Semeru buntu. Dia bangkit melipat sajadah. Mendekat ke tubuh istrinya. Mencoba kembali melihat sumber petaka. Toh brahma berbentuk cobra.

"Aarrgghhhhh!" Semeru terperanjat. Tiba-tiba tubuh Rinjani menggelepar. Kejang.

Brakkkk!

Glodak-glodak!

Kembali semeru dibuat terkejut. Suara benda menabrak jendela disusul suara seperti kerikil berjatuhan di genting atas kamarnya.

Tubuh Rinjani masih bergerak tak beraturan. Ingin mendekat, tapi nyali Semeru ciut, bulu kuduknya meremang saat mendengar suara alunan kidung dari mulut istrinya. Nyanyian Jawa, Rinjani lantunkan di pagi buta.

Suaranya begitu lirih. Lebih seperti suara orang merintih.

Brakkkk!

Brakkkk!

Suara benda menabrak jendela berulang kali terdengar.  Rasa penasaran membuat Semeru memberanikan diri mendekat ke jendela, mengabaikan keadaan istrinya.

Tap-tap-tap!

Jantung Semeru kian berpacu. Tangannya bergetar memegang kunci jendela. Baru berniat menarik kunci, matanya dikejutkan oleh sekelebat cahaya merah melintas lewat lubang fentilasi udara.

Wusssshh!

Wussshhhh!

Semeru mematung. Niat membuka jendela, urung. Matanya awas melihat kilat merah yang terus bergerak bolak-balik. Seolah sengaja mengitari rumah itu.

"Ba--banaspati," gumam Semeru dengan mata tak lepas dari bola api yang melayang tepat si depan fentilasi udara.

Semeru mundur. Dia sadar ada bahaya yang mengancam. Itu bukan sembarang cahaya. Itu bola api yang membawa bala.

Brugh!

"Astaghfirullah!" pekik Semeru.

Tubuh belakanganya membentur sesuatu. Dia berbalik. Apa yang ia lihat, semakin membuatnya ketakutan.

Rinjani  ... matanya melotot menatap bola api yang melayang menyala-nyala. Mulutnya bergerak cepat, merapalkan sesuatu yang terasa asing bagi telinga Semeru.

".... Teguh hayu luputa ing Lara. Luputa bilahi kabeh. Jim setan datan purun. Paneluhan tan ana wani. Miwah panggawe ala. Gunaning wong luput. Geni atemahan tirta. Maling adoh tan ana ngarah ing mami. Guna duduk pan sirna .... "

____________
*Ruralisasi : Perpindahan orang dari kota ke desa.

Coba yang asli dari Jawa, Kira-kira tau nggak yang diucapkan Rinjani itu apa?

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: May 23, 2022 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

TANDA LAHIR ULAR MERAH DI TUBUH ISTRIKUTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang