Satu : Kehidupan Awal
Tiinn.. Tiinn..
Aletha bergegas menghabiskan roti lapisnya mendengar suara klakson tersebut. Menghampiri ibunya yang sedang di dapur, Aletha mencium tangan sang Ibu untuk berpamitan.
"Bu, Aletha berangkat ya."
"Iya, hati-hati ya Al."
Aletha beranjak keluar dari rumahnya dan menaiki mobil ayahnya. Sang Ayah pun menginjak pedal gas mobil tersebut dan mobil itu berangkat menuju ke sekolah Aletha. Sesampainya di sekolah yang bertuliskan SMA Citra Harapan tersebut, Aletha dan ayahnya turun dari mobil.
"Yah, Aletha sekolah dulu ya." pamit Aletha sembari mencium tangan ayahnya.
"Iya nak, belajar yang rajin ya." sembari mengusap kepala anaknya penuh sayang, tak lupa sang Ayah yang bernama lengkap David Kurnia Wijaya ini memberi sedikit pesan.
"Pasti dong, dah ayah!" jawab Aletha, melambaikan tangan lalu beranjak ke kelasnya.
Aletha melewati lorong tak luput dengan tatapan seluruh siswa, tatapan iri dan kagum bercampur jadi satu. Siapa yang tak mengenal Aletha, siswi kelas 11 MIPA 1 ini namanya dikenal oleh hampir seluruh siswa SMA Citra Harapan. Ia adalah gadis yang kehidupannya diinginkan oleh semua orang. Pintar? Iya, dia bahkan beberapa kali mengikuti olimpiade. Kaya? Tentu saja, ayahnya adalah pemilik perusahaan sepatu terkenal. Keluarga harmonis? Tidak usah ditanya, ibunya sangat memperhatikannya dan ayahnya, selalu memberikan tatapan penuh sayang kepadanya. Cantik? Parasnya sangatlah indah hingga banyak yang menyuruhnya mengikuti kelas model saja dibanding sekolah. Teman? Tidak perlu diminta pun, semua orang pasti ingin berteman dengannya. Tapi, Aletha memiliki dua sahabat dekat yang berteman dengannya sejak Sekolah Menengah Pertama. Ia adalah Caca dan Nisa. Kalya Putri Abimana atau yang akrab disapa Caca adalah siswi kelas 11 MIPA 2 dan Annisa Dirgantara yang sekelas dengan Aletha. Ketiganya adalah sahabat baik.
Sesampainya di kelas, Aletha duduk di kursi tempat ia biasa duduk bersama Nisa. Nisa kebetulan belum sampai, ia kemudian mengeluarkan buku paket dan buku tulis untuk pelajaran pertama sembari menunggu sahabatnya datang. Ia meraba laci mejanya dan menemukan beberapa barang, ia mengeluarkan barang-barang itu dan menemukan permen, coklat yang dilengkapi dengan surat dan sebuah susu rasa strawberry. Seperti itulah hari-hari Aletha, selalu saja menemukan makanan atau barang di lacinya. Terkadang dia membagikan makanan tersebut dan terkadang dia menyantapnya juga, karena jujur saja, siapa yang akan menolak jika diberi makanan enak?
"HALO ALE-ALE!!!" sapa Nisa dengan keras, membuat Aletha terperanjat.
"Hus, kamu tuh kebiasaan kalau nyapa selalu teriak. Kaget tau." ucap Aletha sebal.
"Hehe maaf Ale, jadi, dapat kiriman apa kamu hari ini?" Nisa seperti sudah hafal dengan keseharian Aletha pun bertanya.
"Hanya permen, coklat dan susu aja kok. Nih coklatnya buat kamu saja." Aletha menyerahkan coklat tersebut.
"Asikk, terima kasih sahabatku yang paling baik."
Kringg.. Kringg..
Bel sudah berbunyi, tanda waktunya semua siswa duduk dengan rapih di kelas masing-masing dan menunggu guru mata pelajaran memasuki kelas mereka.
Dua : Tragedi
Hari Rabu, hari yang selamanya akan Aletha ingat sebagai hari terburuk, hari tersial dalam hidupnya. Saat itu, Aletha tengah duduk manis bersama Nisa dikelasnya. Matematika adalah pelajaran favoritnya, maka ia sibuk mendengarkan penjelasan dari Bu Fitri, guru matematikanya. Saat sedang mengerjakan latihan yang diberikan oleh Bu Fitri, tiba-tiba saja Caca dengan keringat yang mengucur deras di dahinya dan muka yang sangat panik mengetuk pintu kelas Aletha.
KAMU SEDANG MEMBACA
Solitude
Teen FictionHidup Aletha awalnya sangatlah sempurna, banyak orang yang iri pada kehidupannya yang bagaikan mimpi yang sangat indah. Hingga suatu kejadian membuat hidupnya berubah 360 derajat. Tatapan iri kepadanya berubah menjadi tatapan kasihan dan iba. Akanka...