Apakah kamu tau hal yang lebih menakutkan dari rasa sakit?
Kenalkan, namanya kesepian. Intensitas yang mampu merenggut kewarasanmu dengan cepat, tanpa memberi kesempatan untuk kamu berteriak.(NOTED) :
You can play 'Blue Jeans' from Gangga before you read this chapter.
Enjoy reading, y'all!***
Semburat pagi terlihat mendung diatas ufuk, permukaannya kehitaman, berselimut awan abu - abu tebal. Blue Jeans berenang asyik di udara menemani rintik gerimis yang bertubrukan dengan atap rumah. Riuh ricuh, namun hikmat. Percikannya seolah menunggu giliran satu persatu untuk menerjang turun- membasahi tanah bumi yang gersang akibat polusi udara yang kian menyesaki ibukota.
Aku menguap. Terus terang perihal pagi yang mendung ini ; aku membencinya. Selain tentang bagaimana cara rintik-rintik kecil yang mampu menghentikan seluruh aktivitas untuk sementara, aroma tanah basah yang bercampur dengan angin sepoi-sepoi terkadang dengan lancang menggugah kenangan usang yang tak ingin lagi aku putar di kepala. Entah bagaimana cara menyebutnya, poin pentingnya aku membenci segala hal tentang hujan, termasuk unsur kenangan lain yang ikut mengalir dibawahnya.
Ini tahun keempat setelah kepergian ibun. Namun tak satu haripun aku mampu terbiasa dengan tiadanya wangi anyelir yang menyapa penciuman di sela-sela senja yang mendidih, ketukan brutal yang mendarat di daun pintu kamar ketika jam dinding telah menunjukkan pukul tujuh lewat, juga pie strawberry istimewa yang selalu menungguku di minggu pagi yang cerah- sayang seribu sayang tak ada satupun toko yang berhasil membuat dessert manis itu dengan citarasa yang khas seperti buatan tangan ibun.
Bunyi sendok beradu memecah separuh keheningan, itu berasal dari piring seberang, yang berpenghunikan seorang pria berkepala empat dengan posisi terduduk tegap di bangkunya. Garis wajahnya tegas, mata hitamnya memandang lurus kearah hidangan. Namanya Nugraha Ario Raharja, beliau adalah ayahku, ayah tiriku lebih tepatnya.
Sudah semenjak enam tahun lalu-lengkapnya aku tak seberapa ingat, aku mulai tinggal di kediaman ini. Saat itu, wajah ibun yang tersenyum cerah dengan pipi tirusnya yang seolah ikut merekah mengiringku kedalam mansion besar ayah. Beberapa waktu kami habiskan dengan berpegangan tangan sambil berlarian di halaman belakang rumah, aku, ibun, dan ayah-menjadi keluarga kecil yang tertawa dengan lelucon sederhana. Sesekali kami bertiga pergi berjalan-jalan ke taman kota, atau rekreasi mengunjungi pantai di perbatasan ketika ayah berhasil mendapat cuti lemburnya. Namun, semua itu berakhir dengan singkat, bahkan sebelum kepalaku berhasil mencerna darimana awal kisah ini bermulai, aku kehilangan ibun, sekaligus kehilangan (eksistensi) ayah.
Tak ada lagi kutipan buku yang dibahas ayah ketika acara televisi sedang iklan shampoo pembersih ketombe, tak ada lagi celoteh ibun yang bertanya ini itu tentang program ekskul yang aku ikuti di sekolah, tak ada lagi kebisingan yang mampu membelah hening di sela-sela rintik hujan seperti pagi ini. Tak ada lagi ibun, dan tak ada lagi ayah yang mencintai ibun dengan segenap hatinya.
Sebelumnya perkenalkan, namaku Minallaili A. Caesar. Putra sulung ibun yang dengan lancang menggedor rahim ibundanya pada saat dinihari, lalu bersamaan dengan adzan subuh yang berkumandang, bintang-bintang yang berbinar terang, aku lahir ke dunia.
Di umurku yang menginjak 16 tahun ini, kabar buruknya tak ada satupun berita yang bisa dibanggakan. Selain fakta kalau aku satu-satunya putra kandung ibun tentunya. Aku terlalu biasa saja untuk dikenal dalam forum sosialisasi, sikapku apatis, jauh dari karakter yang pandai berorganisasi. Kecerdasanku terbilang rata-rata, tampang tak kucel, tak rapi pula, anggaplah aku terlalu biasa saja, bahkan untuk sekedar bersua dengan teman sekelas pun, membuatku minder hanya dengan memikirkannya.
Singkatnya, aku kehilangan apa itu "hidup", setelah ibun pamit undur diri, untuk tak pernah kembali lagi selama-lamanya.
"Gimana sarapan hari ini? Ayah tadi order di salah satu restoran tersohor di aplikasi pesan antar."
Itu suara ayah. Aku melirik display ponsel, mengecek sesuatu, lantas setelahnya mengangguk sebagai jawaban. "Enak." Jawabku pelan. Bukan formalitas, aku serius mengatakannya. Meskipun tak seenak masakan ibun, rasanya tak semengerikan masakan ayah.
"Sekolah gimana? baik baik aja?" Pertanyaan kembali menyambar.
Aku mengangguk lagi, kali ini tanpa jawaban. Tak sepenuhnya bohong, dan tak seluruhnya jujur, meskipun tak ada yang benar-benar "baik-baik saja" setelah ketiadaan eksistensi ibun di hidupku, setidaknya tidak ada peristiwa tragis yang menerjangku kehidupan sekolahku.
Ayah berhenti mengunyah santapan, jemari kokohnya merogoh dua buah tangkai bunga, mempertontonkannya dengan pertunjukan sendu dihadapanku. Anak mataku menangkap pergerakannya, aku menunjuk salah satu tangkai berkelopak kuning di jemari kiri ayah.
Dalam keadaan sama sama mengatupkan bibir, atmosfer terasa berhenti diantara lengang. Sebelum akhirnya lelaki empat puluh tahunan itu tersenyum kecut. "Pilihan bagus, Lail. Ibun akan menyukainya." ucapnya kemudian.
Aku mengangguk. Anyelir kuning adalah salah satu benda favorit ibun yang tak pernah absen dari vas bunga di meja makan ini, dahulu.
Ayah mengakhiri sarapannya. Berdiri dari kursi, lantas menyisakan seonggok amplop diatas meja, menudingnya kearahku.
"Bersenang-senanglah dengan kawan-kawanmu, nak." Senyumnya merekah, aku menghargainya. Meskipun manik legam itu tak dapat menutupi kekosongan yang masih ia genggam erat hingga kini.
Punggung kokoh ayah mulai menjauh dari pandanganku, menyisakan sisa silluet diantara pilar-pilar megah mansion. Yah, kira kira beginilah siklusnya. Harusnya jiwa tak tau diri ini bersyukur, sang ayah yang super sibuk masih menyempatkan diri untuk mengajaknya berdialog pagi.
Hanya akan ada 3 peristiwa yang membuat aku dan ayah berdialog. Pertama dan kedua diisi oleh opsi dua kali hari raya lebaran, dan yang ketiga adalah....
peringatan hari kematian ibun.
To be continued.
KAMU SEDANG MEMBACA
5 + 1 = Still Alive
RomanceBukan kisah badboy insaf. Pemeran utamanya cowo culun yang hidupnya 99,9% diisi kehampaan. So, kenalin. Dia Minallaili. Cowo yang ketiban sial sekaligus ketiban papan cor-an tepat pas acara peringatan hari besar sekolahnya. Bukannya ko'id, malah d...