Ava berbaring gemetar di dalam tenda. Ia tidak tahu apakah kerumunan di depan tendanya sudah akan bubar dan terornya akan dimulai.
Empat hari lalu, Ava masih berbaring aman dan nyaman bersama adik-adiknya di tempat tidur saat ibunya masuk, menyuruh Ava bangun dan mengikutinya. Wanita itu juga mengepak beberapa barangnya, memasukkannya ke kereta bersama Ava, memberinya ciuman dan mendoakannya agar sehat selamat selalu. Well, Ava tak akan pernah melihat keluarganya lagi. Dan hari ini ia menikah dengan seorang pria asing dari tanah asing dan malam ini adalah malam pengantinnya, di mana ia menunggu suaminya untuk datang menghampirinya dan menagih haknya.
Ava tahu hal-hal seperti itu sering terjadi di desanya tapi tak pernah berpikir kalau ayahnya akan tega melakukan hal yang sama. Terkadang ada saudagar ataupun seniman yang melewati desa mereka dan terkadang singgah. Di antara mereka ada yang membeli istri dari gadis-gadis yang belum menikah, terkadang anak-anak kecil untuk mereka yang belum memiliki keturunan dan mereka akan dibawa pergi, jauh, entah ke mana dan biasanya tidak akan pernah lagi pulang kembali ke desa mereka.
Begitu pulalah yang akan terjadi pada Ava...
Setelah melakuan perjalanan dalam sebuah kereta kuda kecil tertutup selama dua hari, akhirnya Ava tiba di tempat tujuan. Sebuah desa lain. Ia bisa mendengar suara-suara dari penduduk desa dari balik kereta yang tertutup dan jantungnya berdegup menanti apa yang akan terjadi.
Tak lama, dua orang wanita menariknya kasar dari kereta lalu membawanya ke tenda wanita yang besar di mana mereka menelanjangi Ava, membalurinya dengan minyak beraroma rempah dan memandikannya dengan sabun berwangikan bunga-bungaan, lalu mencuci rambutnya, mengeringkan dan mengikat serta mencepol rambutnya ke atas kepala. Mereka lalu memakaikannya gaun serupa jubah yang indah dan berat yang cantiknya melebihi imajinasi Ava, memakaikannya perhiasan-perhiasan yang tidak pernah Ava lihat seumur hidupnya lalu menutup wajahnya dengan kerudung tipis yang indah, yang mengaburkan tatapannya tetapi masih mengizinkan Ava untuk melihat seadanya.
Ia lalu digiring ke tenda warna-warni yang lebih besar yang diketahuinya kemudian sebagai tenda tempat berkumpulnya para pria. Ava lalu diperintahkan untuk duduk di salah satu bangku di sana, di atas sebuah panggung kecil, seolah-olah ia sedang dipamerkan untuk dilihat dan dikagumi para pria sebelum upacara pernikahannya dimulai.
Ia begitu gugup dan juga takut saat harus duduk di sana sendirian, merasa terasing dan kebingungan, melihat melewati kerudung tipisnya di mana para pria mengamati dan saling berkomentar, mereka menunjuknya lalu beberapa mulai memberi penilaian. Bahasa mereka nyaris sama sehingga Ava tidak begitu kesulitan untuk memahami ucapan-ucapan mereka.
Ia mendengar mereka berkomentar tentang dirinya, apakah ia sudah pantas bersanding dengan pengantin prianya, apakah Ava akan bisa menjadi istri yang baik dan patuh, apakah ia bisa melayani suaminya dengan baik, apakah ia akan bisa melahirkan anak-anak yang banyak dan sehat, lalu mengomentari bahwa Ava memang cantik dan betapa beruntungnya sang pengantin pria nantinya, mereka tertawa ketika membicarakan malam pengantin Ava dan ketika malam mulai turun dan pria-pria itu semakin mabuk, pembicaraan mereka menjadi semakin berani dan kurang ajar.
Ava memerah mendengar ucapan-ucapan kotor para pria, mendengar mereka mendiskusikan hubungan suami istri dan semua ucapan-ucapan itu membuat Ava semakin takut dan ngeri. Tapi ia terlalu takut untuk bergerak, apalagi kabur, lagipula ia harus lari ke mana? Tapi jika ia terus berada di sini, bagaimana jika para pria mabuk itu mendekatinya dan... Ava merasa mual hanya dengan memikirkan hal tersebut.
Tapi ia belum sempat melakukan apapun ketika tenda itu menjai sepi dan dua orang wanita datang untuk membimbingnya keluar tenda. Mereka membawanya kembali ke tenda wanita lalu mengganti pakaiannya dengan gaun merah mewah bertaburkan ornamen-ornamen indah, mengganti kerudungnya dengan kerudung tipis merah berbenangkan emas lalu membawanya kembali ke sebuah tenda lain di mana ada lebih banyak orang-orang, para pria dan sekumpulan wanita dan di sanalah ternyata pernikahan Ava akan dilangsungkan.
Ia tidak diberi pertanyaan apapun, ia tidak mengucapkan sepatah katapun, Ava juga tidak melihat pengantin prianya di sana. Setelah upacara singkat itu selesai, ia kembali digiring ke sebuah tenda lain, lebih kecil tetapi tampak lebih bagus dan tertata indah, dan di sana ia ditelanjangi dan disuruh berbaring di atas hamparan berbulu di tengah tenda, di antara bantal-bantal empuk sutra yang dingin, diminta menunggu hingga pengantin prianya datang menghampiri Ava.
Ia tidak polos, beberapa bulan sebelumnya, saat ia menginjak usia ke-17, ibu dan bibinya sudah memberitahu Ava apa yang akan terjadi antara pasangan suami dan istri dan Ava tak punya hak untuk menolak apapun yang akan dilakukan suaminya nanti. Sudah menjadi kewajiban wanita untuk melayani hasrat suaminya dan kau tidak boleh mengelak dengan alasan apapun, Ava.
Tapi haruskah? Ava bahkan tidak kenal pria itu, tidak pernah melihat wajahnya, ia takut.
Badannya bergetar oleh rasa takut walaupun malam ini hangat dan tenda ini pengap. Ingatan akan nasihat yang diberikan oleh ibu dan bibinya silih berganti mengisi ketakutan juga kecemasannya. Ava ingin percaya pada cerita ibunya bahwa menjalankan kewajiban sebagai istri tidaklah menyakitkan dan mengerikan namun ayah dan ibunya saling mencintai, bukan dua orang asing yang baru bertemu.
Tapi beda cerita dengan bibinya. Wanita itu tak seberuntung ibunya. Saat berbagi pengalaman, cerita bibinya membuat Ava takut. Yang ditangkapnya, bibinya selalu menggambarkan hubungan pertama kali suami istri itu penuh rasa sakit dan tak nyaman, bagaimana pria biasanya sengaja bersikap kasar dan tak sabaran, membiarkan wanita kesakitan sementara pria menikmati tubuh mereka. 'Semakin kau kesakitan, mereka akan semakin menyukainya.' Ava tahu ibunya menyesal karena membiarkan bibinya ikut menasihati Ava tentang pria. Tapi sekarang Ava tahu kalau ia berada di posisi seperti bibinya, menikah dengan pria yang tak dikenalnya dan harus menjalani malam pertama yang menyakitkan dan penuh teror.
Haruskah Ava bersyukur ia tahu apa yang akan terjadi atau justru ia menyesal karena tahu apa yang akan menantinya? Pikiran itu pada akhirnya hanya menyiksa Ava dan membuatnya semakin takut dan cemas.
Tapi segera... ia juga akan tahu jawabannya. Segera... suaminya akan datang. Malam sudah semakin larut, waktu untuk menghampiri pengantin wanitanya tentu sudah dekat. Ava berusaha untuk tak menangis. Ia tetap berbaring di sana seperti yang diperintahkan, berbaring dan menunggu dengan patuh. Tenda itu gelap, hanya ada satu lampu remang kecil di dekat pintu masuk. Ava kembali mendesah dalam hati. Bahkan jika ia ingin lari sekalipun, ia takkan bisa. Tubuhnya yang telanjang hanya ditutupi sehelai kain sutra.
Tiba-tiba telinganya menangkap suara percakapan pria. Suara mereka rendah, nadanya ringan dan bercanda. Sebuah suara dalam datang dari luar tenda, begitu dekat dengan pintu, Ava mendengarnya mengucapkan terimakasih dan mengucapkan salam. Setelah jeda sejenak, Ava melihat pintu tenda tersingkap dan seorang pria seukuran beruang besar berjalan masuk dan memadamkan satu-satunya penerangan di dalam tenda itu sebelum berjalan mendekati Ava.
Ava menahan napasnya saatmelihat pria itu melepaskan jubahnya dalam gelap. Ava mendapati dirinyaberingsut menjauh, bergulung dalam kain dingin itu, menekan karpet berbulu ituseolah berharap benda itu bisa membungkus dan melindunginya. Ia tersentak halussaat pria itu tiba-tiba duduk di ujung karpet berbulu itu.
--------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------
Satu lagi cuplikan numpang lewat.
Lengkapnya bisa dibaca di karyakarsa. Untuk 21+ - erotic
XoXo
S. Desiree
KAMU SEDANG MEMBACA
Bought Bride
RomanceEmpat hari lalu, Ava masih berbaring aman dan nyaman bersama adik-adiknya di tempat tidur saat ibunya masuk, menyuruh Ava bangun dan mengikutinya. Wanita itu mengepak beberapa barangnya dan memasukkannya ke kereta bersama Ava. Dan begitu saja, ia di...