.. ...
Siang itu nampak awan kelabu menggantung di cakrawala, arak-arakan awan tebal membuat cahaya Matahari enggan menembusnya, dan entah sejak kapan titik-titik hujan akhirnya berjatuhan bercumbu dengan tanah membuat rerumputan liar langsung bersorak dengan bahasa yang hanya dapat dimengerti oleh mereka sendiri.
Disini dibawa pohon ketapang, Arangga memilih untuk berhenti membiarkan tubuhnya perlahan diguyur oleh derasnya hujan yang tidak mampu ditahan oleh daun-daun yang menaunginya. Arangga hanya berharap hujan ini akan membawa serta setiap beban yang ia tanggung, ketika pundak kecilnya tak lagi kuasa menahan berat akibat dipaksa untuk dewasa terlalu cepat oleh keadaan. Atau barangkali titik seseorang dikatakan dewasa adalah umur 17 tahun?
Entahlah, Arangga tidak terlalu yakin, lagipula ini adalah pertama kalinya ia menjadi manusia, masih banyak hal yang sekiranya tabu untuk ia pahami, termasuk menjadi dewasa.
30 menit sebelum hujan turun
Arangga yang baru saja pulang dari sekolah sambil berjalan kaki malah ia menemukan sang Papa tengah berduaan dengan seorang wanita disebuah kafe, bodohnya mereka malah memilih tempat itu untuk bertemu padahal kafe itu adalah tempat Arangga sering nongkrong bersama teman-temannya, atau mungkin mereka sengaja agar Arangga tau mengenai kebusukan apa yang mereka sembunyikan.
Sejujurnya bukan sekali dua kali imenemukan sang Papa dengan wanita itu, bahkan karena terlalu sering Arangga sampai tidak yakin bisa menghitungnya dengan jari, tapi pada akhirnya ia memilih untuk selalu pura-pura, ia masih berusaha untuk bersikap normal di depan Papanya setidaknya dengan itu ia masih bisa merasakan berada disebuah keluarga utuh meski semua itu hanya lakon, dan rasanya terlalu hambar untuk pantas disebut utuh.Seperti kali ini, Arangga kembali ingin melarikan diri dan berpura-pura seperti tidak pernah melihat apapun yang hampir membuat dadanya remuk, ia masih ingin memasang topeng terbaiknya setidaknya untuk saudara-saudaranya, yang hampir setiap malam mengeluhkan Papa yang terlalu sibuk. Tapi tidak, kali ini ia tidak bisa lagi menghindar, ia sudah lebih dulu tertangkap.
"Abang berhenti!" Dalam ramainya suara kendaraan yang merengsek di setiap jalan yang ada di Jakarta, dalam bisingnya suara klakson dan teriakan para penjual koran, telinga Arangga justru malah hanya fokus pada suara Sol sepatu yang saling beradu dengan trotoar, suara itu seperti pertanda akan tibanya Malaikat maut yang siap untuk merenggut sebagian dari diri Arangga, merenggut sebagian bahagia yang Arangga dan saudara-saudaranya, miliki.
"Abang." Arangga akhirnya berbalik, dan disana dalam keeganannya mengangkat wajah ia mendapati sepasang sepatu yang kini terpasang dikaki lelaki itu tampak begitu mengkilap, tampak jauh lebih mahal dari sepatu yang dulu ia, dan saudara-saudaranya berikan kala lelaki yang mereka sering panggil Papa ini untuk pertama kalinya mendapat kedudukan penting disebuah perusahaan tambang, masih segar ingatan Arangga bagaimana bahagia nya keluarga kecil mereka dulu saat merayakan keberhasilan itu, bagaimana binar-binar bangga tampak tulus dari ia dan saudara-saudaranya saat pertama kali menyerahkan kotak berbungkus koran yang berisi sepatu itu kepada Papa.
"Ikut Papa sebentar ya?" Arangga masih enggan menjawab tapi dengan begitu saja ia tetap mengikuti langkah Papa yang masih sama tegasnya saat lelaki itu masih muda, hingga mereka tiba di dalam mobil miliki laki-laki itu.
"Bang." Sekali lagi, sekali lagi Wirya memanggil putranya, tapi panggilan itu sama sekali tidak pernah disahuti, hingga dengan begitu saja Wirya lantas menarik nafas.
"Abang sekarang sudah SMA, Abang udah besar, dan sepertinya ini adalah saat yang tepat untuk Abang mengetahui semuanya."
Kalimat ini, kalimat ini terdengar seperti sebuah mandat bagi Arangga, seolah dewasanya memang hanya ditunggu untuk kemudian dijadikan wadah menampung segala beban, tidak peduli apa ia sudah siap atau belum, keadaan tidak akan pernah manaruh sudi untuk mengasihaninya.
"Papa dan Mama sudah tidak bisa bersama lagi," sambung Wirya lagi tidak peduli jika putranya itu kini sudah mengepalkan tangan, demi menahan segala sesak yang tiba-tiba mengerayangi dadanya, dan dengan begitu saja Arangga kemudian mendongak menatap Wirya dengan tatapan asing yang dipenuhi pilu.
"Kenapa?" Lantas satu pertanyaan itu akhirnya lolos dari bibirnya yang bergetar menahan isak, dari banyaknya pertanyaan yang memenuhi kepalanya, akhirnya memilih satu kata itu untuk mewakili segalanya.
Wirya sejenak terdiam dengan pandangan jatuh kepada palaroid yang sepertinya sengaja ia balik agar secuil kenangan dalam palaroid itu tidak lagi membuatnya ragu, ragu untuk mengambil langkah yang selama ini sudah ia damba.
"Bang dengar! Tidak selamanya apa yang kita miliki saat ini, akan membuat kita bahagia, adakalanya kita butuh untuk mencari hal lain yang menjadi tujuan kita."
"Jadi Papa tidak bahagia dengan kami?"
Wirya geming tidak menjawab, dan Arangga juga tidak menginginkan jawaban.
"Papa selalu bilang ke aku, berapa sering kita terjatuh kita harus tetap bangkit untuk berjuang sampai kemudian kita bisa berterimakasih kepada diri sendiri karena kita telah berhasil, sekarang apa Papa ingin berhenti? apa Papa ingin menjadi pengecut?" Katakanlah Arangga sebagai anak durhaka, karena sejak awal ia memang bukan orang suci, dan Arangga tidak merasa keberatan jika sebutan 'anak tidak tau diri' tersemat dibelakang namanya.
Papa menggeleng laki-laki itu menepuk bahu putranya pelan.
"Kita memang tidak boleh berhenti berjuang sebelum mencapai sebuah kebahagiaan Bang, tapi ketika apa yang kita perjuangkan itu justru tidak lagi membuat kita bahagia, maka saat itulah kita bisa berhenti lalu mencari hal lain yang sekiranya bisa membuat kita kembali terpecut untuk memperjuangkannya."
Saat itu, saat itu Arangga untuk pertama kalinya benar-benar merasa marah, marah pada Papa yang terlampau egois, marah pada keadaan, marah pada semesta yang begitu senang mempermainkannya, dan marah kepada dirinya sendiri karena tidak kuasa untuk mendaratkan satu tinjupun di wajah lelaki yang selama ini sering ia panggil Papa.
Bought....
"Brengsek!"
Satu tinjuan Arangga akhirnya mendarat dibatang pohon ketapang sebagai peruwujudan dari emosinyan dan dengan begitu saja ia merasakan tubuhnya seolah kehilangan keseimbangan hingga jatuh tersungkur ketanah dan seolah-olah mengerti akan duka yang Arangga miliki, langit lantas bergemuruh diikuti tetesan hujan yang semakin lebat.
Disana dibawah pohon ketapang, Arangga melihat dirinya begitu hancur, marah, kecewa. Selayaknya bunga ia adalah Dandelions yang perlahan gugur bersama dengan terpaan angin musin gugur, ia hanya pasrah kemana angin akan membawanya.
.
.
.Bersambung....
Hidup itu seperti kanvas
Pada awalnya terlihat sederhanaTapi setelah diwarnai itu akan menjadi begitu berharga.
Sayangnya aku bukan Seniman, hingga bisa melihat hal itu.
Arangga Bimasena
KAMU SEDANG MEMBACA
Arangga (One Shoot) Hechan✅ NCT S3
RandomMenjadi dewasa itu ternyata menakutkan __Arangga