Langit cerah juga suasana yang sejuk tergambar menemani pertemuan empat orang sahabat, yakni Zahra, Putri, Aldo, dan Nauval yang sedang makan bersama di sebuah restoran cepat saji.
"Alhamdulillah kenyang. Makasih bro," ucap Nauval.
"Sering-sering traktir kayak gini ya, Do."
"Sumpah enak banget, aku makan ini tiap hari juga bisa banget."
"Semoga rezekinya lancar terus ya Aldo, biar nanti bisa traktir lagi," ucap Zahra tertawa pelan.Aldo mengangguk, mengaminkan ucapan Zahra. Aldo memang belum lama bekerja. Ia menjalankan sebuah bisnis penjualan makanan catering yang baru-baru ini penjualannya meningkat cukup pesat.
"Jangan nurutin Zahra, Do. Ntar dia keenakan, makan mulu," saran Putri.
"Biarin makan terus, orang aku ngga ngegendutin," jawab Zahra.
"Iya-iya deh, gue makan dikit aja ngegendutin, beda sama lo," Putri menimpali Zahra dengan kesal.
"Gelut, gelut, gelut," ucap Nauval memperkeruh suasana, ia menepuk-nepuk tangannya seraya terus mengucapkan itu.
"Udah-udah berantemnya," ucap Aldo meleraikan.
Zahra dan Putri memang sering seperti itu, tetapi itulah yang membuat suasana ramai. Ditambah Nauval yang suka memancing keributan. Untungnya ada Aldo, si paling bijak, yang menjadi penengah.
Mereka ini berteman sejak SMA tahun pertama. Saat itu, guru kimia menyuruh membentuk kelompok dengan ketua yang telah ditentukan. Bisa menebak siapa ketuanya? Yap, Zahra. Ia sebangku dengan Putri yang tentunya akan bergabung ke kelompoknya. Zahra menanyakan ke bangku belakang untuk bergabung ke kelompoknya. Namun, tidak bisa karena mereka sudah memiliki kelompok. Akhirnya ia menanyakan ke setiap bangku di barisannya. Untungnya ada, yakni Reynaldo dan Nauval. Pertemanan mereka sejak se-kelompok kimia itu masih terjalin hingga saat ini.
Mereka semua orang asli Bandung, hanya Putri yang menggunakan 'lo-gue'. Itu karena Putri kuliah di Jakarta. Kebetulan, sekarang ini tanggal merah sehingga ia bisa pulang ke Bandung. Jadi, mereka putuskan untuk berkumpul di restoran ini.
"Anjir gue disuruh jemput Laras," ucap Putri.
"Jemput aja kali sebelum balik ngampus lagi," saran Nauval.
Zahra yang sedang minum tiba-tiba tersedak. Ia terbatuk, memegang lehernya. Aldo yang duduk di sampingnya bergerak menepuk-nepuk punggungnya hingga reda.
"Gapapa?" Tanya Aldo khawatir seraya masih mengusap punggung Zahra. Zahra hanya mengangguk sambil mengisyaratkan bahwa ia tidak apa-apa.
"Engga, masalahnya tuh baru seminggu gue di sini udah disuruh macem-macem sama dia,"
"Mana dadakan lagi ngasih taunya,"
"Yo ah, caw!" Ajak Putri."Eh mendung, pulang yo! Keburu hujan gue ga bawa jas hujan nih," ajak Putri.
Mereka pun memutuskan untuk pulang, berjalan menuju parkiran. Putri dan Nauval sudah pulang duluan dengan motornya masing-masing. Sementara Zahra sedang memesan ojek online dengan Aldo yang menemaninya di pinggir parkiran.
Angin berhembus kencang dan langit sudah sangat gelap, seperti akan hujan besar. Tiba-tiba hujan turun dengan suara petir bersautan. Aldo langsung melindungi kepalanya dan kepala Zahra dengan jaket yg dipakainya.
"Belum dapet ojolnya," ucap Zahra cemberut.
"Udah aku bilang nebeng aku aja, aku pake mobil ayo," ajak Aldo. Kemudian, mereka berlari bersama menuju mobil Aldo. Buru-buru Aldo membukakan pintu samping kemudi untuk Zahra, lalu ia segera berlari ke pintu kemudi dan menutup pintunya. Ia meletakkan jaket yang sudah sangat basah itu ke jok belakang.
Ia menatap Zahra yang sedang menatapnya juga. Zahra mengulurkan tangannya ke dahi Aldo. Ia membenarkan rambut Aldo yang basah menutupi sebagian mata. Aldo memejamkan matanya, membiarkan apa yang dilakukan Zahra.
Walaupun sudah melindungi kepala dengan jaket, tetap saja Aldo kebasahan. Nyatanya ia lebih mengutamakan diri Zahra dibandingkan dirinya sendiri. Ia membuka matanya, melihat kerudung Zahra yang tak basah. Hal itu membuatnya tersenyum tipis. Ada perasaan lega dalam hatinya karena ia berhasil melindungi Zahra.
"Makasih," ucap Aldo tersenyum ketika Zahra selesai. Sebagai balasan, Zahra hanya mengangguk seperti biasa.
Aldo pun menyalakan mobil, lalu melaju pulang. Rumah mereka memang searah, tetapi tak dekat. Kira-kira memakan waktu perjalanan tiga puluh menit untuk mereka saling mengunjungi rumah masing-masing. Untungnya dari arah restoran ini, rumah Zahra lah yang lebih dekat sehingga Aldo tak perlu memutar arah untuk pulang ke rumahnya.
Dulu, Aldo sering bermain ke rumah Zahra, tentunya bersama Putri dan Nauval. Ia kenal cukup dekat dengan keluarga Zahra. Tak pernah ia bertemu ayahnya, hanya ibunya seorang yang ia temui. Ternyata ayahnya memang sudah lama meninggal saat ia masih kecil. Ibunya lah yang mencari nafkah. Tak heran, Zahra jadi sosok yang mandiri dan kuat.
Tringg...tringg... Suara gawai berdering, tanda panggilan seseorang. Zahra bergegas mengambil gawai di tas kecilnya. Ia menempelkan benda kecil itu di telinganya. Aldo melirik sekilas, fokus menyetir mobil. Entah berita apa yang Zahra dengar dari panggilan itu, wajahnya kaget dan suaranya bergetar. Fokus Aldo terpecah. Pasti ada yang tidak beres.
•••
Sedari tadi, Aldo hanya melihat tatapan kosong di mata Zahra. Dirinya tak melihat Zahra menangis setetes pun. Orang-orang yang melayat sudah pulang. Telpon tadi berasal dari rumah sakit. Ibunya mengalami kecelakaan dan tak sempat diberi pertolongan medis. Aldo membantu proses pemakaman.
Saat ini sudah malam. Aldo menghampiri Zahra yang terduduk di lantai. Ia ikut menyandarkan dirinya di sebelah Zahra. Menatap matanya. Zahra tersenyum datar, menenggelamkan wajahnya ke dada Aldo. Ia menangis terisak. Aldo merengkuhnya, mengusap kepalanya, memberikan ketenangan. Hanya terdengar suara isakan Zahra yang menyayat hati. Tak sadar air mata Aldo ikut menetes.
KAMU SEDANG MEMBACA
Promise
Teen Fiction"Ayo menikah sama aku, Ra. Aku bakal jadi ayah, suami, dan teman yang baik buat kamu." Zahra masih termenung memproses apa yang dikatakan Aldo. Bagaimana mungkin Aldo tiba-tiba mengajaknya menikah?!?! Mereka telah berteman sejak SMA selama empat tah...