Segala hal begitu, Tersirat.

5 1 0
                                    

   Pemandangan di bawah sana bagitu indah. Membuat mata tak tega untuk berpaling darinya. Matanya menatap lamat pemandangan kota di tambah warna jingga kemerahan seakan membakar langit. Keindahan yang selalu membuatnya untuk terus bersyukur. Perlahan kakinya melangkah mundur seakan mengucapkan selamat tinggal pada senja yang selalu membawa kenangan.

   Dirinya berbalik berniat ingin pulang. Namun matanya tak sengaja menangkap seseorang yang berdiri tak begitu jauh. Pria jakung itu melambai pelan ke arahnya. Melihat itu sudut bibirnya terangkat membentuk sebuah senyuman kecil. Kakinya melangkah pelan ke arah lelaki itu, lelaki yang begitu abu baginya. Lelaki yang dapat membuatnya bahagia, juga lelaki yang dapat menorehkan lara di hatinya.

Langkah nya semakin mengikis jarak antara keduannya. Tatapan mereka bertemu dalam satu garis lurus, tersirat sesuatu disana. Jarak mereka semakin menipis. Senyuman di wajah lelaki itu mengembang. Hingga tangan nya terangkat dan melayangkan bogeman mentah tepat di kepala gadis yang kini pingsan tak berdaya.
   "Hh, selalu saja menaruh harapan pada manusia, benar-benar bodoh."

                    ________________

   "Tara, kau bisa mendengar ku?"
   Matanya terus mengerjap berusaha menerima cahaya yang menyilaukan. Tubuhnya berusaha bergerak pelan, namun terasa payah. Ia mengerang menahan rasa sakit yang luar biasa di kepala nya. Keningnya mengkerut saat sadar dirinya berada di tempat yang begitu asing.
   "Tara, kau butuh sesuatu?" tanya seorang gadis cantik yang berdiri tepat di samping ranjang yang ia tempati kini.
   Rambut panjang bergelombang nya tergerai indah. Wajahnya putih, matanya sipit, dan bibir tipis kemerahan, keturunan Asia Timur sepertinya. Memiliki tubuh proposional dengan kulit yang seputih susu, hampir sempurna.
"Kau..., mengenali ku?" Tara bertanya balik, merasa heran bagaimana gadis asing itu mengenali nya.
Gadis itu tersenyum simpul. " Bagaimana aku tidak mengenali adik kandung ku sendiri?"
Tara menatap gadis itu tak mengerti.
"Maksud mu?"
"Sudah lah, lupakan." Tara mendengus pelan.
Tubuhnya kembali berusaha untuk duduk meskipun terasa begitu sulit. Akhirnya ia dapat duduk bersandar dengan di bantu gadis itu. Melihat Tara yang tampak ingin bertanya, ia menyentuh tangan Tara pelan.
"Ingin bertanya sesuatu?" dirinya tersentak sebentar, ia tampak berpikir.
"He'em, nama mu siapa?" Tara menggaruk tengkuknya yang tak gatal.
"Shire, salam kenal," ucap nya sambil menyodorkan tangan ke hadapan Tara.
Ia menatap tangan itu sebentar, lalu menjabatnya.
"Apa kau juga suruhan nya?"
Shire mengernyit tak mengerti dengan maksud 'nya' itu.
Matanya menatap dalam iris mata cokelat milik Shire. Perlahan salah satu sudut bibir nya terangkat.
"Kau, suruhan Anta bukan?"
Mendengar itu Shire terdiam seketika. Namun setelahnya ia menyeringai lebar.
"Ah..., kau sudah tau rupanya. Jadi, ingin menjalin kerja sama dengan rival?" ia mengangkat sebelah alisnya.
"Sialan."

______________

Wisata masa lalu. Tangisan semesta terus menghujam bumi. Membasahi payung hitam yang terkembang melindungi seorang gadis remaja dari derasnya hujan.

Sejak setengah jam yang lalu ia masih setia berdiri menatap gundukan tanah yang berada tepat di hadapannya. Terdapat nisan yang bertuliskan nama dan masa hidup hingga akhir hayat orang itu, tertera jelas disana.

Matanya menatap kosong ke arah tempat peristirahatan terakhir seorang lelaki yang sangat ia cintai, cinta pertamanya, ayahnya sendiri. Gadis itu adalah Tara, Tara yang saat itu masih menginjak usia lima belas tahun harus kehilangan lelaki cinta pertamanya. Namun lelaki itu kini niskala. Tara tak dapat lagi menggenggam tangan atau sekadar memandangi wajah lelaki itu.

Perlahan kakinya melangkah mundur seakan mengucapkan selamat tinggal pada sang ayah yang sedang beristirahat dalam damai. Dirinya berbalik berniat ingin pulang. Namun matanya tak sengaja menangkap seseorang yang tak begitu jauh. Lelaki yang lebih tua tiga tahun darinya itu melambai pelan ke arahnya. Melihat itu salah satu sudut alisnya terangkat, menatap heran ke arah lelaki itu.

Lelaki jakung itu adalah Anta. Kakinya melangkah pelan ke arah Tara yang masih berdiri memegang payung hitam. Gaun hitam setinggi lutut yang melekat di tubuh gadis itu mulai basah terkena percikan air hujan. Langkah nya semakin mengikis jarak antara keduanya. Tatapan mereka bertemu dalam satu garis lurus, tersirat suatu harapan disana.

Hingga langkah lelaki itu terhenti. Tubuh mereka hanya berjarak beberapa senti saja. Senyum lelaki itu merekah, tubuhnya basah kuyup tertimpa tangisan semesta yang mewakili perasaannya kini. Tangannya terangkat menyisipkan rambut yang menutupi wajah gadis tersebut ke belakang telinga.
"Apakah aku terlalu kasar pada ayah kita? Sehingga ia terkubur di dalam sana," Tara mengernyit tak mengerti.
"Kau siapa? Apa maksud mu?" lelaki itu menatap lekat kedua iris mata Tara yang berwarna abu-abu.
"Ibu bilang, ayah kita adalah malaikat, tapi kenapa saat aku mendorongnya dari atap gedung ia tidak terbang? Kenapa ia malah terkubur disana adik kecil ku?"
Anta, lelaki yang begitu abu. Banyak hal dalam dirinya begitu, Tersirat.

Bersambung...

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Jun 09, 2022 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

TersiratTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang