Annisa POV
Aku menatap soal fisika ku sekali lagi. Menggerutu, mengeluh, bahkan memaki-maki soal itu. Sial sekali aku ini! Aku bahkan tidak mengerti satupun tentang soal ini.
Aku mengumpati Nikola Tesla, Issac Newton, dan Albert Eisntein dan semua penemu perhitungan sialan ini. Dan oh, jangan lupakan Al-khawarizmi si penemu aljabar itu membuat kelas matematiku berubah jadi mimpi buruk.
Aku benci semua mata pelajaran. Tidak! Aku benci sains!
Sains membuatku harus menghafal dan menghitung semua hal yang rumit dan asing. Beberapa pun bahkan membuatku tidak habis pikir. Pelajaran astronomi misalnya. Untuk apa mengetahui cara mengukur suhu permukaan bintang-bintang? Mungkin masuk akal untuk matahari, tapi bagaimana dengan bintang betelgeuse, bintang rigel, dan bintang sirius? Sirius, untuk apa mencari tahu suhu permukaan bintang yang sangat jauh dari bumi coba? Menghangatkan saja tidak. Jadi menurutku tidak ada gunanya aku mencari tahu itu.
Aku menghela nafas. Seandainya saja sains tidak ada. Hidupku pasti akan sangat menyenangkan. Setiap aku ke sekolah, tidak akan ada pelajaran yang memusingkan itu dan hidupku bersama teman-temanku akan bahagia. Aku tidak sedang membicarakan Latifah, teman ambisku yang selalu berbinar ketika pelajaran matematika sedang berlangsung. Aku bahkan sempat mengiranya tidak normal dulu karena ia selalu menyukai matematika dan kimia.
Aku menghentak-hentakkan kakiku ke lantai. Sepersekian detik kemudian, lampu di kamarku padam. Aku kebingungan. Ada apa ini? Jangan bilang ayahku lupa membayar tagihan listrik. Aku mencari-cari ponselku. Namun benda mahal dan berharga itu tidak aku temukan. Aku mengernyitkan dahi. Seingatku aku menaruhnya di meja ini bersama dengan buku-bu-
Tunggu! Buku-buku juga menghilang.
Suara kursi yang terdorong langsung terdengar di kamarku ini. Aku yang mendorong kursi yang aku duduki itu ke belakang dan berdiri. Kebingungan melandaku. Bagaimana mungkin, buku-buku yang berserakan di mejaku itu menghilang?
Dalam kegelapan karena listrik-atau hanya lampu kamarku saja-padam, aku meraba-raba mejaku. Mencari buku-buku dan ponselku. Namun nihil, tak ada satupun barang di meja kayu itu. Aku mundur ke belakang.
Tidak mungkin! Apa yang sebenarnya terjadi?
"Mama!" aku memanggil mamaku dengan suara yang sekeras aku bisa.
"Mama!" panggilku lagi. Aku takut. Hal barusan yang terjadi itu menurutku sedikit janggal. Dan rasanya aku harus memberitahukannya pada orang tuaku.
Karena tak mendengar sahutan dari mamaku, akupun berinisiatif untuk menemuinya saja. Aku yakin mamaku berada di ruang tengah sekarang.
Tanganku ku angkat ke depan sekedar untuk meraba-raba dan menjadi penentu untukku bahwa tidak ada apapun di depanku. Tapi sebenarnya tanpa itupun aku sudah tahu seluk beluk dan letak barang-barang di depanku. Aku sampai di depan pintu. Memutar knop pintu dan keluar dari kamarku.
Kepekatan hitam yang di tangkap indera ku menjadi jawaban bahwa bukan lampu kamarku saja yang padam. Tapi semua lampu di rumah ini dan bahkan rumah tetangga. Terbukti dari jendela di sebelah kiriku ini yang tidak disinari cahaya dari rumah tetanggaku.
Aku segera berjalan ke sebelah kanan. Kegelapan ini terasa mencekam. Aku merasa seperti pemain game horror sekarang. Aku hanya berharap makhluk kurang kerjaan itu tidak menampakkan dirinya. Setan maksudku.
Bagian ini yang paling menakutkan. Menuruni tangga kamarku. Baru kali ini aku benar-benar merasa sial memiliki kamar di lantai dua. Aku duduk di anak tangga pertama, tangan kiriku memegang pegangan tangga kaki kananku mencoba untuk mencari anak tangga kedua. Ketemu! Dan setelah itu, dengan perlahan kakiku menapak di anak tangga kedua ini dan menggeser bokongku untuk turun ke bawah.
KAMU SEDANG MEMBACA
SOMNIUM - ONESHOT STORY
Science FictionSemuanya bermula ketika lampu di kamarnya padam saat dirinya tengah mengerjakan PR fisikanya. Kehilangan, kegelapan yang datang setiap malam, tangis kesedihan dan berbagai kesulitan lainnya yang terjadi. Hari berlanjut dengan anehnya. Tak dapat dina...