Prolog

48 7 5
                                    

Butuh waktu beberapa menit bagi Ara berhasil mengumpulkan keberaniannya untuk membuka ponsel Genta, cowok yang ditaksirnya (dan katanya sudah dekat) 8 bulan ini. Ara paham betul perbuatannya salah dan dia tidak punya hak sama sekali (karena dia masih belum memiliki status yang jelas dengan Genta) untuk mengulik isi ponsel genta yang tergeletak sendirian di pasir pantai tempat Ara duduk saat ini. 

"Paling Genta bakal marah sehari dua hari doang," batinnya ringan tanpa tahu apa yang akan dihadapinya kedepan.

Awalnya Ara tidak menemukan hal yang aneh saat membuka deretan pesan di Instagram dari segelintir teman-teman Genta. Karena rasa tidak puas itu Ara nekat mengecek Whatsapp Genta yang awalnya juga tidak terlalu menarik.

Satu menit hingga dua menit berlalu, kini mata gadis itu mulai berkaca-kaca. Kita semua tahu, Ara tidak mungkin membaca sebuah kisah inspiratif di ponsel Genta sampai membuatnya menitihkan air mata. Ini pasti lebih serius dari pada masalah mencairnya es di Kutub Utara.

Gadis itu berdiri tanpa aba-aba dan membuat Gaby terbangun dan kebingungan

"Ara?" tanya Gaby yang masih belum sadar sepenuhnya dari tidur siangnya.

Ara menghiraukan Gaby lalu mengambil kain pantai serta ponselnya kemudian berjalan sejauh mungkin dari tempatnya tadi, meninggalkan Gaby yang kembali berjemur di bawah terik matahari dan ponsel Genta yang tergeletak di tempat yang sama saat Ia mengambilnya.

Sekarang Ia harus berjalan ke mana? Pulang? Tidak mungkin. Butuh waktu dua jam untuk kembali ke rumahnya dan Ara tidak bisa memesan gocar dari tempat antah berantah ini.

Pantai ini sepi walaupun tidak jauh dari jalan raya. Hanya ada beberapa tukang yang sedang menyelesaikan bangunan hotel yang hampir rampung dan beberapa anak kecil yang mencari kerang di bibir pantai. Ara mengeratkan kain pantai yang melilit tubuhnya, tak ingin menjadi bahan godaan para pemalu itu, iya pe-malu.

Hati gadis itu sebenarnya hancur sehancur-hancurnya. Namun dirinya menahan semua itu dalam diam. Ia tidak ingin kembali ke tempat teman-temannya (dan Genta) berkumpul dengan keadaan mata yang bengkak karena tangisan.

Sekarang Ia mulai lelah berjalan dan kakinya yang jompo itu sudah berteriak ingin istirahat. Ara pun duduk di bibir pantai, dimana lidah ombak masi bisa menggapainya. Dalam keheningan, pikiran yang kosong, dan hati yang gaduh, Ara mencoba menelpon ketiga sahabatnya, akan tetapi tak satu pun mengangkat telponnya. Mungkin mereka sibuk, pikir Ara.

Ara tak berharap banyak lagi selain gejolak dan rasa sakit dalam dirinya bisa segera mereda setidaknya dalam waktu limat menit lagi walaupun rasanya tardengar mustahil. Tanpa sadar, gadis itu mulai berderai air mata. Terlalu sakit rasanya untuk menahan semua itu sendirian. Terlalu sakit rasanya untuk akhirnya mengetahui fakta yang Genta sembunyikan. Terlalu sakit karena selama ini gadis itu terlalu buta untuk Genta.

Ponsel Ara kini berdering ditengah-tengah tangisnya yang belum tuntas. Tanpa melihatnya, Ara segera menerima telpon itu karena berpikir itu adalah salah satu sahabatnya yang mungkin menelponnya kembali.

"Ara, lo jadi koordinator publikasi acara gue ya?" ucap suara asing diujung telpon.

"I-ini siapa ya?" jawabnya dengan suara tertahan karena tangisan.

"Ara? Lo gapapa kan?" tanya suara itu khawatir.

Ara kembali menangis dan tak menjawab si penelpon yang kemungkinan besar mulai panik di ujung sambungan tersebut. Astaga, gadis ini selalu punya cara untuk membuat orang lain mengkhawatirkannya.

Setelah tiga menit isakan panjang Ara, laki-laki di telpon itu kembali bertanya, "udahan kan nangisnya?"

Ara mengangguk, walaupun Ia tahu bahwa lawan bicaranya tak akan melihat itu.

"Sekarang seka dulu air mata lo dan minum air, okay?" lanjut si penelpon.

Ara menyeka matanya dengan kain pantai yang tidak terkena pasir sesuai dengan perintah. Gadis itu kemudian celingak-celinguk mencari air dan tentu saja ia meninggalkan botol airnya di tas bersama Gaby.

"Udah," cicit Ara.

"Udah?" laki-laki penelpon itu kembali memastikan.

"Sorry ya, gue tiba-tiba nangis," ucap Ara yang mulai sadar.

"Gapapa kok. Tawaran gue dipikir-pikir aja dulu. Take your time. Sorry kalo gue ganggu," ujar si penelpon.

"Eh, by the way lo siapa?" tepat sebelum peryanyaan Ara selesai, telpon itu sudah terputus. Tentu saja gadis lemot ini akan membutuhkan beberapa detik untuk mencerna apa yang baru saja terjadi.

Ara dengan susah payah membaca nama kontak si penelpon yang tertulis dalam huruf arab. Gadis itu memang bisa mengaji, tapi itu sudah bertahun-tahun yang lalu sejak terakhir kali Ia menyentuh kitab sucinya. Ara hampir saja mengamuk, sampai kini Ia yakin orang yang meneleponnya bernama "Arsa" atau apalah yang tertulis dalam huruf arab itu.

Ada dua orang bernama Arsa di prodinya. Arsa angkatan 21 dan Arsa angkatan 20. Dan kedua-duanya adalah anak himpunan. Lalu Arsa yang manakah ini??

Ara sebenarnya tidak peduli. Hatinya baru saja hancur dan tidak ada waktu baginya untuk memikirkan himpunan saat ini. Tapi Arsa siapapun itu baru saja mendengarnya menangis dengan cara yang memalukan. Iya me-malu-kan!!! Padahal Ara kan bukan tukang!!

HAIII HALOOO HOLAAA

Aku balik bawa cerita baru nih!! Genrenya bakal lebih ringan dari pada Invisible String, but still exciting ofc!!

Hope you guys love it ❤

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Jun 11, 2022 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

situationshipTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang