Suara nyaring alarm memaksaku untuk membuka mata. Di sudut ruangan, kutemui keadaan kamar yang berantakan.
Tanganku sakit. Darah menetes dari buku-buku jari. Aku tidak mengingat apa yang terjadi semalam. Namun, dilihat dari betapa kacaunya kamarku—kaca berserakan, selimut dan bantal berhamburan, serta koran-koran mingguan yang koyak di kolong ranjang. Sepertinya telah terjadi kekacauan.
Kejadian semalam begitu tiba-tiba. Sebelumnya, aku berencana untuk bersantai dari setumpuk pekerjaan yang menyita waktu. Membaca koran sambil ditemani segelas teh hijau tidak terlalu buruk. Namun, ketika baru membaca satu paragraf berita di koran dan tehku tinggal setengah gelas, pandanganku terpaku pada sebuah cerita pendek yang telaknya di sebelah berita.
Lalu, ruangan terasa terdistorsi saat aku sudah mulai menyelami penggalan cerita itu. Waktu seperti mundur dan berhenti ketika aku mengalihkan atensi.
Ini masih di kamarku, tetapi ronanya tidak bahagia, cenderung suram. Di sana, aku melihat sesosok wanita yang sedang tersedu. Rambutnya tipis dan kusut. Wajahnya bengkak dan kemerahan. Dia menekuk lutut di dekat nakas. Kemudian seorang pria jangkung mendobrak pintu. Bunyi berdebum menghilangkan sunyi dan isakan wanita itu berubah menjadi ketakutan di wajahnya.
Cepat ketika pria itu mencekal tangan sang wanita, membuatnya merintih. Menariknya untuk berdiri. Lalu, dengan sekali hantam, kepala wanita itu beradu dengan cermin.
Bagian pelipisnya sobek, serpihan cermin menancap di sana. Setelahnya, pandanganku mengabur.
.
Aku bersembunyi di balik selimut, menutup telinga rapat-rapat. Aku benci suara itu. Tangisan dan benturan. Semuanya begitu jelas terdengar.
Setelah merapikan kembali kamarku, koran yang membuatku menemui kilasan seram itu kubakar.
Cerita pendek yang mengisahkan sepasang suami-istri. Aku baru membacanya sampai suara cermin yang retak, dan berikutnya hal mengerikan terjadi di depan mataku.
Malam ini di sudut ruangan tempatku pingsan itu, beberapa pasang mata merah berkedip-kedip. Saling berdempetan dan memenuhi area dinding.
Mereka terus mengikuti pergerakanku, sampai-sampai aku harus menjadi manekin dan menahan napas agar mata-mata itu tak memerhatikanku lagi.
Aku tidak tahu apa yang sebetulnya telah terjadi. Teror itu semakin lama, semakin mencekam dan aku tidur dalam keadaan meringkuk bak anak kucing kedinginan.
Tiga puluh menit, pukul 10.30 malam. Tidak ada sesuatu yang kucemaskan lagi. Aku terbangun karena tenggorokanku kering.
Detik jarum jam menemaniku di kesunyian yang terasa dingin. Langkah kakiku bergema di lorong antara kamar-kamar kosong yang saling berhadapan.
Rumah ini hanya ditinggali aku seorang. Aku tak mengingat apa pun saat polisi dan para tetangga menemukanku di kamar mandi, dengan sebilah pisau yang hampir memutuskan nadi.
Dirasa sudah puas dengan dua gelas air mineral, aku menaiki anak tangga dan melanjutkan untuk tidur. Namun, ketika derit panjang pintu menampakkan seisi kamarku, saat itu juga sang waktu membekukan tubuhku.
Aku tidak dapat menggerakkan kakiku. Seperti ada paku yang menembus pergelangan kaki agar tak dapat berlari.
Di depanku, sesosok wanita duduk di tepi ranjang. Wajahnya penuh lebam, bilur dan air mata yang sudah mengering. Tak ada sepasang bola mata di wajahnya yang pucat. Hanya ada rongga kosong dengan kerak darah.
Meski hancur penampilannya, tetapi wajah itu masih aku kenali. Fotonya aku simpan di nakas, sudah kusam dan menguning. Senyumannya tergantikan dengan penampakannya yang mengerikan.
Vee, istriku.
.Rohku seperti dipaksa keluar dari raganya. Aku menemukan diriku mematung, dan menatap kabut halus yang melingkupiku sekarang.
Ruangan berdenyar, aku terpental empat tahun ke belakang.
Di kamar Vee terkunci, aku masih ingat ini. Sebab, akulah yang menguncinya setelah ... kami bertengkar untuk kesekian kali.
Vee merosot. Gedoran pada pintu yang dilakukannya tak kunjung aku gubris.
Dia masih sesenggukan, tapi gerakan bibirnya menunjukkan kalau Vee tengah berucap samar. Akan tetapi, aku masih dapat mendengarnya.
“Demi Tuhan, akan aku hantui kau selama hidupmu!”
Kemudian, Vee terseok-seok ke arah lemari. Diobrak-abriknya tumpukan baju-baju kami. Dia mengambil seutas tali tambang yang tampak baru dibelinya.
Mengaitkan tambang itu pada kayu penopang lelangit kamar yang rendah. Kursi di depan meja rias diambilnya dan tanpa sepengetahuanku, Vee nekat gantung diri. Mengakhiri hidupnya yang tanpa kebahagiaan bersamaku.
.
Aku tak bisa memercayai ini. Istriku datang. Aku dibuat kacau untuk kedua kalinya. Meringkuk di sudut ruangan dengan luka basah di kening.
Hari sudah larut, aku membasuh darah yang terus merembes dan mengobatinya sendiri.
Di depan cermin, saat tanganku terulur untuk menempelkan plester, mendadak retakan kecil muncul. Semakin bertambah besar. Lalu, sosok Vee berdiri tepat di belakangku. Wajahnya tidak tampak jelas.
Setelah cermin itu sepenuhnya hancur, seperti ada kepala yang membenturkan diri ke sana, dari tiap sudutnya muncul cairan merah pekat.
Aku tersaruk mundur. Vee sudah menghilang dan bayanganku di kaca tertutupi oleh darah yang mengalir entah dari mana.
Ketika aku berbalik untuk berlari, kutemui kaki menggantung beberapa meter dari lantai. Tubuh Vee terkulai, matanya terbuka dan kosong. Lidahnya terjulur dan kaitan tali tambang itu mengencang.
Saat aku melewati tubuhnya, aku seperti merasa kepala yang sudah terteleng itu mengikutiku. Untuk memastikannya—dan ini adalah hal terbodoh yang aku lakukan—bagai ada medan magnet yang menyuruh kepalaku untuk menengok. Tepat di depan mata, Vee memelotot. Seringainya muncul dengan kondisi lidah yang masih keluar. Bulu kudukku meremang, telingaku mendengar suaranya yang penuh kemarahan.
“Hidupmu tidak akan tenang!”
Meski kesusahan dan sempat menabrak pintu, aku melesak keluar dengan tergopoh-gopoh.
Di antara sepinya rumah, dan deru napasku yang berpacu dengan detak jantung, bunyi bel bergema.“Tidak mungkin ada tamu tengah malam begini.”
Alih-alih hantu Vee yang muncul, justru koran harian tergulung yang melewati lubang kecil di bawah pintu. Aku mengambilnya dan betapa terkejutnya aku. Cerpen itu masih ada.
Arwahnya berada di area kamarmu. Kedua kaki menjuntai dari langit-langit, cermin rias milik mendiang istrinya retak tanpa sebab dan jika kau berada tepat di depan cermin itu, kau akan melihat bayangan wanita itu di belakangmu.
Pernah suatu ketika kau terbangun di belakang pintu, di sudut tergelap kamar. Tanpa mengingat apa-apa, tiba-tiba saja kau memiliki luka.Tanpa sadar, kau selalu membenturkan kepalamu ke cermin itu atau meninjunya sampai buku-buku jarimu memar dan berdarah. Kau tak mau melihat penampakan itu lagi, tapi dia tak akan berhenti untuk bertandang ke kamarmu.
Penggalan ceritanya persis seperti yang aku alami. Kemudian, aku melirik nama penulisnya untuk menjawab pertanyaan di kepalaku, dari mana dia mendapatkan inspirasi seperti ini?
Tapak tilas itu kembali. Hari-hari yang dilalui istriku hanya berupa siksaan. Aku selalu melupakan sesuatu setelah melakukannya.
Jadi, untuk mengingatnya, aku menulis sebuah kisah pada buku lapuk dengan dibumbui sedikit fiksi, alih-alih menjadi diary, aku justru membuat cerita pendek tragedi.
“Karangan ini ditulis oleh Edy? A–aku?” []
Tamat
Ditulis dan diunggah pada laman Facebook author : 27 Februari 2021
Diunggah di Wattpad : 12 Juni 2022
KAMU SEDANG MEMBACA
Koran Sialan!
Short Story[cerpen] bagaimana mungkin koran itu ada di rumah pada tengah malam?