The One of One

2.5K 254 86
                                    

an update: Altha's POV is already published

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

an update: Altha's POV is already published. you guys can check it on my profile <3

— •• —

"Happy anniversary yang ketiga, Sayang."

Saya tersenyum seadanya merespon ucapan selamat dari wanita di depan saya ini. Bibir merah mudanya mengulas senyum bahagia, sangat bahagia. Sampai-sampai saya harus memalingkan wajah karena merasa tidak pantas diberikan ketulusan sebesar ini.

Apakah senyum itu akan tetap terpasang jika dia tahu selama tiga tahun ini saya sekalipun tidak merasakan apa yang sering dia bilang; tentang letusan kembang api yang meletup-letup di dadanya, tentang kupu-kupu yang selalu mampir di rongga perutnya ketika saya tersenyum tipis, atau tentang bagaimana isi kepalanya yang terasa akan pecah ketika saya sedang demam.

Saya tidak merasakan itu semua. Tidak ada letusan bahkan percikan kembang api, kepak kupu-kupu yang memenuhi perut, atau isi kepala yang akan pecah ketika tahu dia sakit. Justru yang saya rasakan adalah kekosongan yang senyata-nyatanya hampa.

"Kak, Kak Gandhi."

Saya menoleh mendengar panggilan tersebut, raut penasaran terpasang di wajah bulatnya. Ekspresi wajah dia terlalu banyak untuk saya simpan di kepala saking begitu beragamnya. Detik ini dia sedih, tetapi detik setelahnya dia bisa begitu senang. Hal tersebut pula lah yang membuat saya yakin, ketika nanti saya dan dia berpisah, dia tidak akan sedih berlarut.

"Kaaak, bengong mulu kenapa sih? Lagi ada masalah, ya?" tanya dia mengulurkan sendok dan garpu yang sudah dibersihkannya dengan tisu. Dia selalu seperti ini, menyiapkan yang akan saya gunakan.

"Lagi banyak pikiran." Saya menjawab jujur. Kepala saya penuh dengan berbagai macam pengandaian. Satu yang paling menyita ruang adalah bagaimana kalau saat itu saya tidak gegabah memintanya menjadi kekasih. Saya tidak perlu repot-repot seperti ini.

"Rumit banget masalahnya? Altha bisa bantu nggak?"

Altha Karenina. Dia secantik namanya, mata cokelatnya selalu terpancar hangat, seperti secangkir kecil cokelat hangat yang selalu dia siapkan ketika saya sedang sakit. Hidungnya tinggi dengan cuping yang mungil ditambah tahi lalat kecil di ujung hidungnya, yang tidak bisa terlihat kalau tidak mendekat. Bibirnya merekah seperti bunga mawar baru mekar dan manis, sebab mungkin terlalu banyak makan permen yupi. Semua tentang Altha begitu sempurna, tetapi kesempurnaan tidak menjadikan dia wanita yang saya inginkan.

Dia selalu menyebut dirinya sendiri dengan nama, awalnya membuat saya risih karena seperti sedang berbicara dengan anak kecil, tetapi saya menekan ego untuk tidak protes. Saya tidak berhak menuntut dia tentang ini dan itu ketika saya bahkan tidak mampu mencintainya.

"Rumit, tapi buat yang ini kamu nggak bisa bantu." Karena ini tentang kamu, lanjut saya dalam hati. Terlalu pengecut untuk berucap kalimat selanjutnya. Semua hal yang sudah saya siapkan di detik pertama saya menyesal memintanya menjadi kekasih, selalu tertahan di lidah.

[1/3] In Another Universe, Maybe We Could Love Each OtherTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang