2 I Mula Bermain

5.7K 132 1
                                    

Asyik, mulai kepancing nih. Saya suka kalau dia udah bersikap kayak gini.

"So ... lu maunya gimana anjir?"

"Coba lakuin ke gue, Fer. Mainin gue."

"Serius lo?"

"Serius gua. Tapi lu beneran tahu 'kan cara mainin gimana."

"Gua ngerti juga kali hubungan sub-dom itu gimana. Masalahnya lu mau nurut gak sama gua? Jadi sub gua malam ini?"

Sub-dom = submissive-dominant.

Tipikal hubungan dimana salah satunya menjadi pihak yang menguasai, dan yang satunya lagi dikuasai.

"Ngg ... bisa gak ya gue?"

Dia kayak nanya sama dirinya sendiri.

"Ribet bat elah. Pake mikir segala. Tugas lu cuman nurut semua perintah gue. Jangan ngelawan. Jangan ngebantah."

"Hmm ..."

Dia menghela napas. Kayak ini tuh hal yang berat banget bagi dia.

Bagi saya sih, sebenarnya mayan berat juga. Apalagi dengan kontol saya sekarang. Udah mulai berdiri perlahan, semenjak Rico Wij terlihat setuju buat dijadiin sub saya malam ini.

"Oke deh! Gue nurut dan patuh sama elu, sepenuhnya ... malam ini."

"Oke, kalau gitu, ngerangkak sana 10 putaran di kamar ini."

"Anjing!"

"Eh ..." gue geleng-gelengkan jari telunjuk gua. "Dan mulai sekarang, lu harus manggil gua tuan. Gak bantah, gak ngeluh. Paham?!"

"Hmm ..." dia mendengus sebentar sebelum akhirnya bilang, "baiklah, Tuan."

Duh, mata Rico Wij saat mengatakan itu, kelihatan indah banget. Raut wajah tampannya apalagi. Mimpi apa saya semalam. Dikasih hadiah sebesar ini di hidup saya.

Dalam waktu singkat, Rico Wij sudah berada di bawah kaki saya, berputar-putar di dalam sisa ruangan kamar. Saya duduk di sisi ranjang, memperhatikan dia dengan saksama. Seneng? Banget lah! Saya punya mainan baru, terlebih lelaki ini sudah saya idam-idamkan sejak lama.

"Sudah, tuan."

Ah, tanpa kerasa, udah juga ternyata putarannya.

"Tambah lagi 10 putaran. Dan setiap melewati saya, kamu harus cium kedua kaki saya."

"Shit!"

"Selanjutnya, tiap kali kamu ngumpat atau ngebantah, saya tambahkan hukumannya lebih berat lagi."

"An –"

Belum sempat dia menyelesaikan kalimatnya, dia sudah menangkap mata saya yang memelotot ke arahnya. Sehingga dia mengurungkan niatnya untuk mengumpat malam ini. Lantas kembali menjadi anjing penurut. Berputar-putar lagi di kamar saya dan menciumi dua kaki saya setiap lewat. Dicium di kaki aja udah nikmat banget, apalagi di bagian lain ya?

Tidak terasa, 10 putaran dan 20 ciuman total di kaki saya sudah selesai. Saya pun mengangkat dua kaki saya ke depannya di saat dia sedang berlutut, menunggu perintah saya selanjutnya.

"Jilat!"

Saya menyodorkan kedua kaki saya. Sepertinya dia mau mengumpat lebih keras, namun dia lebih baik lagi menahannya kali ini. Semakin frustasi seorang submissive melakukan perintah-perintah saya, saya makin suka. Rico Wij pun mulai menjulurkan lidahnya dan menjilat-jilati kaki saya.

"Enak 'kan makan takjil? Tak jilatin kaki-kaki saya," kata saya sambil bercanda, menikmati jilatan lidahnya di kaki saya. Oh tidak, geli-geli nikmat banget rasanya. Kontol saya kayaknya udah ngaceng keras banget sekarang.

Saya terus memperhatikan gerakannya, raut wajahnya, hidung mancungnya, bibir empuknya, dan lidah yang menjulur-julur menikmati kaki saya seolah kaki saya tulang hewan yang disukai kebanyakan anjing.

"Berhenti. Posisi bertumpu tegak sekarang!"

Seketika dia berhenti dan langsung membetulkan posisinya sesuai arahan saya. Dan dalam posisi ini, dengan dua kaki saya, saya angkat-angkat kausnya seraya menggerayangi tubuhnya hingga ke atas. Lama-lama, tangan dia seperti hendak ingin membantu mengangkat kausnya tinggi-tinggi. Namun saya tendang tangannya dengan kaki-kaki saya.

"Jangan ikut campur!" kata saya tegas, seraya menatap tajam ke dalam matanya. Dia mengangguk dan menyimpan lagi kedua tangannya di sisi-sisi tubuhnya.

Saya pun kemudian fokus kembali dengan tubuhnya, memainkannya dengan ujung-ujung jari kaki saya. Saya bahkan gemas saat kaki saya menyentuh dua putingnya yang tampak menonjol. Sangat indah, menyaru dengan tubuhnya yang membentuk pahatan roti sobek hasil latihannya di gym selama ini. Sebagai anak marketing, dia berprinsip bahwa dirinya pertamalah yang harus memiliki nilai jual sebelum mau jualan produk apapun. Dengan wajah sundanya, perpaduan antara kelembutan, jantan, khas dan maskulin, tubuh indahnya itu telah membantunya memberikan penampilan paling paripurna yang ingin saya nikmati seumur hidup saya.

Gemas dengan putingnya saat ini, jadi saya menjepit-jepitnya dengan kaki saya (perpaduan antara jempol dan telunjuk pada kaki), mengapit-ngapit puting itu dan menarik-nariknya sesuka hati.

"Jangan ikut ketarik lah badannya, tahan."

Dia pun berusaha menahan diri. Wah, senang banget dong, dia nurut dan membiarkan putingnya saya jembil-jembilin pakai kaki saya. Apalagi nih ya, saya lupa ngasih tahu, kalau badannya sedari tadi cukup basah dan licin disebabkan karena keringatnya. Berputar-putar 20 kali di ruangan, sudah cukup membuat keringat di tubuhnya bercucuran meski belum sebanyak yang saya harapkan.

Eung ... apalagi ya biar keringat dia tambah banyak?

"Buka bajunya!"

Saya memberikan titah seraya ngangkat-ngangkat bajunya dengan kaki kanan saya. Secepat kilat, dia menanggalkan baju kaus bergambar band luar negeri kesukaannya dan membiarkan tubuh indahnya itu benar-benar terpampang nyata di depan saya. Bukan pertama kali sih, saya melihat body Rico Wij ini. Namun berapa kali pun saya menyaksikannya, badan saya sendiri reaksinya selalu tetiba ser-seran tanpa perintah. Kenapa bisa gitu ya?

"Lepas celananya sekalian, telanjang bulat!"

Kepatuhan yang utuh kalau sekarang sih. Mungkin dia udah ngerasa bisa ngikutin permainan ini. Jadinya dia nurut banget dan tanpa malu sama sekali, memamerkannya kontolnya yang masih lemas di depan saya. Kontol nikmat idaman para boti nih. Tapi saya juga suka. Namun urusan nanti saja lah. Sekarang, "maju sedikit." Dan kaki saya, menahan gerakan tubuhnya sehingga dia tak bisa maju lebih jauh.

Apa yang harus saya lakukan dengan kontolnya sekarang ya?


***

Cerita ini sesungguhnya sudah lama diunggah di karyakarsa saya (linknya ada di BIO SAYA) secara berkala. Cerita ini masih bagian dari Bermain Sepuasnya (1).

Sedangkan di karyakarsa, saya sudah menulis:

Bermain Sepuasnya (1), Bermain Sepuasnya (2), Bermain Sepuasnya (3), dan sekarang sudah sampai di proses Bermain Sepuasnya (4.1) - Menikmati Sang Montir dan (4.2) Insiden di Tempat Gym. 

Seumpama teman-teman mau membaca lebih cepat, boleh dukung di sana, tapi kalau belum, saya unggahnya perlahan di sini, tergantung jumlah vote, comment dan jumlah pembaca. Saat saya merasa senang karena jumlahnya sesuai yang saya harapkan, saya akan mengunggah lanjutannya.

See you on the next chapter (when you guys make me happy)

Bermain SepuasnyaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang