"Kau tau aku tidak pernah menginginkan takhta."Kalimat itu terdengar seperti bualan di telingaku. Aku meringis, tepat setelah pedang yang tertancap di perutku menusuk semakin dalam. Darah segar mengalir, tak membutuhkan waktu lama sampai pakaianku ikut memerah oleh darah.
Rasa sakit menarik seluruh kekuatanku. Pedangku sendiri terlepas dari genggaman. Sedang pemuda yang berhasil menusukkan benda tajam itu menembus tubuhku menatapku tanpa emosi. Lalu dalam satu gerakan kasar, pedang itu tercabut keluar dari tubuhku.
Tubuhku ambruk. Mahkota yang menghiasi kepalaku bergelontang jatuh ke lantai. Di saat yang bersamaan, udara di sekitarku terasa semakin menipis. Napasku sesak. Seluruh inderaku hampir mati rasa.
"L-lantas ... kenapa ...?"
Pemuda itu melangkah mendekat, menunduk menatapku yang hampir tak berdaya. Tak ada emosi yang tersirat dalam tatapannya. Namun aku yakin ia pasti menikmati kepuasan itu. Karena dengan kematianku, seorang raja muda yang belum memiliki pewaris takhta, maka dia yang mewarisi darah yang sama denganku akan menjadi pemegang takhta selanjutnya.
"Kau seharusnya sudah tahu jawabannya." Dia mengangkat kembali pedangnya, kini diarahkan tepat pada jantung.
"Jangan merasa tidak adil. Bukan hanya kau yang kehilangan segalanya setelah ini," Pinggiran bibirnya bergerak naik, namun senyumannya terlihat miris. "Tapi aku juga akan--"
Pandanganku menggelap. Semua suara seolah-olah teredam di telinga. Aku tak bisa mendengar apa pun. Tak bisa merasakan apa pun. Dan aku tahu, bahwa tak ada kesempatan lagi untukku.
Aku akan mati di sini.
***
Aku terbangun dengan keringat dingin membasahi seluruh tubuh. Napasku memburu, namun tak terasa sesak. Jantungku berdebar sangat cepat.
Tunggu dulu. Jantung?
Tanganku otomatis bergerak memeriksa tubuh bagian perut serta dada kiriku. Anehnya, sama sekali tak ada luka di sana, bahkan sebercak noda darah sekalipun. Pakaian kebesaran yang seharusnya kukenakan sekarang terganti dengan kemeja halus berwarna putih dengan celana panjang gelap berbahan ringan.
"Anda sudah bangun, Pangeran?"
Aku tidak tahu sejak kapan dua orang gadis berpakaian pelayan memasuki kamar sambil membawa loyang berukuran sedang berisi air untuk membasuh wajah serta handuk kecil di letakkan dengan rapi di sebelahnya.
Dan apa katanya tadi? Pangeran?
Keningku masih mengernyit bingung, tak mengerti dengan situasi ini ketika aku menyadari sekelilingku. Aku berada di kamar lamaku, tepatnya selama aku masih menjadi putra mahkota dulu. Seharusnya, kamar ini akan ditempati oleh calon pewaris takhtaku selanjutnya. Setidaknya jika aku tidak berakhir terbunuh oleh adik tiriku sendiri.
Kepalaku tiba-tiba terasa sakit. "Apa yang terjadi? Kenapa aku bisa di sini?"
"Semalam Anda sempat tak sadarkan diri di ruang belajar Anda. Tapi tabib mengatakan bahwa Anda hanya kelelahan akibat belajar dan akan baik-baik saja setelah beristirahat dengan cukup," jawab pelayaan itu sambil tersenyum. "Karena itu Yang Mulia memerintahkan untuk meniadakan pelajaran Anda hari ini agar Pangeran bisa beristirahat dan memulihkan tubuh Anda."
Keningku mengernyit semakin dalam. "Yang Mulia?"
Pelayan itu mengangguk. "Benar, Pangeran. Perintah langsung dari Ayah Anda."
Rasa sakit di bagian kepalaku sepertinya akan semakin menjadi jika pelayan ini berniat bermain-main denganku. Aku tak tahu ada pelayan yang dengan beraninya membicarakan omong kosong seperti ini di hadapanku.
KAMU SEDANG MEMBACA
PRINCE
Fantasy"Kau mau berlatih berpedang?" Levys masih menunduk, ia menggeleng. Aku mendengus, "Kau tidak akan bisa membunuhku jika tak tahu cara mengayunkan pedang." --- PRINCE, written by @VinnyRaph_