Cahpter 1 - Perkenalkan Aku!

5 2 0
                                    

Menunggu teman sekelas yang akan datang ke rumah benar-benar menjadi PR tambahan bagiku. Nunu dan Nunik sebelum pulangan dari sekolah mengatakan bahwa akan sangat bagus mengerjakan tugas berkelompok kami di rumahku.

Aku awalnya menolak, mereka tahu bahwa rumahku berada tepat di jalan masuk kuburan. Mereka pasti akan tahu konsekuensi apa yang akan mereka dapatkan jika bertandang ke rumahku.

Oh iya, sebelumnya kenalkan namaku Ubet, pria paling terkenal seantero kompleks kuburan! Aku adalah anak penjaga kuburan, rumah kami berada di jalan masuk kuburan. Aku tinggal bersama dengan ayah dan nenek.

Jika kalian bertanya di mana ibuku? Ibuku sudah meninggal tepat ketika hari aku di lahirkan. Ia kehabisan darah dan begitulah pokoknya, sedikit bingung jika kalian suruh aku menjelaskannya. Umurku 12 tahun dan sekarang masih berada di bangku kelas 5 sekolah dasar negeri.

Jika kalian perhatikan sekilas, namaku terbilang cukup unik. Ibu yang memikirkannya, nama itu ia dapat ketika sedang mengidam tebu. Enggak juga sih, sebenarnya bapak yang asal aja ngasih nama. Waktu itu mungkin beliau lagi pusing mikirin 2 acara sekaligus, pemakaman ibu dan selamatan kelahiranku. Oke, cukup sampai di sini.

Sebenarnya hidup di kompleks kuburan tidak seburuk yang orang-orang pikirkan. Aku selalu mendengar candaan seperti "Ya, iyalah pasar rame. Ya kali sepi kayak kuburan!" Di sini aku enggak bakal ngebantah, tapi sebenarnya kuburan lebih ramai dari yang orang-orang biasa pikirkan.

Setiap sore hari menjelang magrib akan ada saja anak-anak botak kecil dengan popok putihnya yang berkumpul untuk bermain bola. Bapak juga sering melihat batok kelapa yang berguling ke sana kemari ketika pulang dari kerja. Kejadian ini berawal ketika aku berumur 6 tahun.

Seperti biasa, ia baru saja selesai  membantu pekerjaan kontruksi pembangunan di dekat kuburan. Aku menunggu nya di depan rumah sembari bermain dengan 5 teman baru ku. Kami bermain bola dengan batok kelapa waktu itu. Bapak yang melihatnya langsung beristigfar dan teman-teman ku itu hanya tertawa cekikikan.

Aku pun disuruh langsung masuk ke dalam rumah. Bapak menyuruhku untuk segera berwudhu dan solat magrib bersama dengan nenek. Selesai solat bapak akan mengajakku mengaji. Setelah itu kami akan makan malam bersama, dengan sayur pepaya andalan nenek. Sedikit info, pepaya muda itu di ambil dari salah satu pohon yang berada di atas makam. Aku sudah meminta izin ke empunya kok!

Kembali ke cerita lima temanku. Semenjak bapak melihat kejadian sore itu, aku sudah jarang melihat mereka kembali. Entah bagaimana mereka jadi jarang bermain bersamaku lagi. Ketika aku meminta untuk bermain bersama mereka, mereka akan tiba-tiba menghilang.

Perasaan bosan memenuhi jiwa kecilku waktu itu. Akhirnya setelah bapak memasukanku ke dalam taman kanak-kanak aku mulai berfokus pada hal lain. Aku suka melihat-lihat buku bergambar walaupun masih belum bisa membaca. Biasanya setelah pulang dari sekola aku akan membawa buku bergambar yang sudah kupinjam ke bawah pohon beringin besar.

Pohon itu berada tepat di tengah kuburan. Aku benar-benar tidak melakukan hal lain selain membolak-balik buku itu karena rasa penasaran. Setelah puas melihat-lihat biasanya nenek akan menyuruhku untuk mengambil sayur di kebun belakang rumah. Tapi hari itu tidak, nenek sedang pergi ke acara pernikahan. Bantu-bantu memasak dan berkata akan membawakan makanan nanti siang.

Bapak juga sudah pergi pagi-pagi tadi untuk bekerja serabutan. Sisa aku di kuburan ini, maksudku hanya aku seorang manusia di sini. Aku tak takut, namun saat itu pikiranku benar-benar kalut dalam buku yang sedang  kupegang.
"Gimana cara baca ini sih!"

Kulempar buku itu ke batang pohon beringin besar karena kesal. Tiba-tiba saja setelah kulempar buku tersebut muncul sebuah asap putih dari pokok batang tersebut. Aku terkejut dan bersiap lari, namun tak jadi karena buku yang kulempar tiba-tiba terbuka sendiri juga.

"Hei! Kembalikan buku ku, Itu punyaku!"
Sosok yang membawa buku ku saat itu hanya diam mengabaikanku. Rasa kesal tentunya memenuhi kepalaku, akhirnya aku mendekati 'mahluk' itu dan merebut bukunya.

"Aku sudah perhatiin kamu berminggu-minggu sejak duduk di depan rumahku karena ngeganggu, tapi kayaknya kamu enggak bisa baca. Iya kan?"
Aku mengangguk lalu sosok di depanku itu  mendadak mengenakan sebuah kacamata bulat minus yang terlihat sudah tua.

"Aku tetua di kuburan ini. Umurku yang paling lama di antara penghuni kompleks kuburan ini, pengalamanku ngehasut orang banyak. Tapi aku sudah bosan, jadi sekarang kalo kamu mau aku bisa ngajarin kamu baca."

Tentu saja saat itu aku menyetujuinya dan hingga sekarang sosok mahluk gendruwo botak itu menjadi guru pelajaran sekolahku. Dia mengaku bahwa dulu dirinya sangat tertarik dengan pelajaran, tapi tidak ada orang yang mengetahuinya. Dengan maksud dan tujuan agar orang tahu tentang kehebatannya itulah dia dengan senang hati mengajariku.

Karena pengajaran dari Profesor Ruwosi (nama panggilan gendruwo itu) nilaiku selalu menjadi yang teratas di sekolah. Gimana enggak yang teratas? Kalau dari TK saja Profesor Ruwosi selalu mengajariku pelajaran yang sulit.

Kadang dia akan mengajariku bahasa luar negeri seperti Prancis, Italia atau German. Ia juga melarangku menggunakan bahasa Indonesia ketika aku telah pandai dalam pelajaran bahasa inggris.

Nenek kadang juga suka bertanya padaku dengan mimik wajahnya yang serius
"Ubet, kamu ngapain tiap hari bawa buku ke bawah pohon beringin? Malah ngomong bahasa enggak jelas lagi, awas aja loh nanti kesambet penunggu beringinnya."

"Bukan begitu, Nek. Ubet cuman belajar pelafalan bahasa asing waktu sendiri di bawah pohon itu. Terus di sana itu hening, cocok buat Ubet belajar!"
"Iya, terserah kamu. Tapi ingat nak, utamakan adab baru ilmu. Jangan rusak kuburan orang lain waktu kamu lagi belajar di sana."
"Oke, Nek."

Semenjak itu juga aku selalu memastikan untuk tidak menjaga lingkungan kuburan. Aku akan membersihkan rumput yang tumbuh tinggi dan membakar sampah dedaunan di sekitar rumah Profesor Ruwosi. Profesor Ruwosi yang senang dengan kerajinanku esoknya lantas menambahkan pelajaran bahasa arab, hebat bukan!

Kembali ke kenyataan, saat ini aku, Nunu dan Nunik tengah mengerjakan pekerjaan rumah kami. Guru seni budaya menyuruh kami untuk membuat kerajinan.
"Apa yang mau kita buat?" ucap Nunik yang sekarang tengah asik melahap singkong goreng yang baru saja aku letakan.

"Guru bilang harus dari barang-barang bekas kan, Bet?" Aku hanya mengangguk menyetujui perkataan Nunu.
"Gimana kalau kita buat kerajinan dari bambu aja? Di pojok kompleks kuburan ini ada pohon bambu rimbun. Aku sering ke sana buat ambil tongkat pancingan."

Mereka berdua setuju dengan ideku. Waktu sore pun kami habiskan bertiga untuk membuat layang-layang.
"Aku yang ambil bambunya, kalian tunggu di sini aja, yah?"
"Loh kenapa? Bukannya kita harus kerja bareng?" Nunik membalas perkataanku dengan cepat.

"Gak boleh, kecuali kalian mau pulang sambil di ikutin mahluk lain."
Melihat ekspresi Nunu dan Nunik yang ketakutan cukup membuatku puas. Aku sukses melarang mereka karena jika kubawa mereka berdua ke dalam kuburan para penghuni kuburan pasti akan ramai meminta diperkenalkan.

"Ba-baiklah, kita berdua tunggu di sini," ucap Nunik yang terlihat ketakutan.
"Y-yang, semangat Ubet! Kita tunggu di sini sambil makan aja, yah?" Tangan Nunu kini cepat mengambil singkong goreng lagi dan mulai melahapnya setelah selesai menyemangatiku.

BERSAMBUNG~

Keluarga Kompleks Kuburan!Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang