Akhir Dari Perjuangan

1 0 0
                                    

Beberapa tahun terakhir, aku menjalani hidup yang sangat rumit. Tapi ternyata skenario Yang Maha Kuasa memang indah.

± 3 tahun lalu, tepatnya di tahun 2019. Aku mengakhiri sebuah hubungan karena-memang udah ngga pantas dipertahankan lagi.

Aku ngga tau bagaimana cerita dari sudut pandang dia, tapi kalau dari sudut pandangku; dia terlalu banyak mengatur dan selalu menyalahkanku.

Yap, ku akui aku juga salah karena ngga mau terlibat aturan dalam suatu hubungan. Tapi aku juga sering bertanya-tanya pada diriku sendiri, salahkah jalan yang ku pilih?

Dia sama sekali ngga ngizinin aku untuk bermain dengan teman-temanku sedekat apapun jaraknya dan siapapun orangnya, seolah-olah duniaku harus hanya tentang dia.

Dia juga sama sekali ngga memberiku kebebasan untuk bergaul dengan siapa saja (perempuan sekalipun) dan bahkan melarangku buat ngga nyimpan nomor ponsel laki-laki lain kecuali dia.

Ada temannya lahir di tanggal, bulan, dan tahun yang sama denganku, dia mengeluh. Stupid? Bukan aku yang minta dilahirkan hari itu.

Dia bilang, "Aku takut jodoh kamu dia".

Damn.

Lebih dari gila.

Dia selalu mengaturku untuk mengikuti semua permintaan dan perintah yang dia buat, sekalipun yang ngga aku sukai.

Dia memaksaku untuk satu ekstrakulikuler bersamanya, dia mengikuti ku kemanapun aku berkendara sendiri, dia selalu minta bertemu setiap minggu.

Aku cape? Bisa ditebak.

Harusnya hubungan kami ngga perlu dimulai, karna dia saja dulunya mendekatiku ketika mendekati gadis lain juga.

Dan setelah hubungan kami berakhir secara tiba-tiba, sebab aku yang minta. Awalnya dia ngga terima, meminta kejelasan maksudku apa.

Dia ngga mau hubungan kami berakhir begitu saja setelah 3 tahun 6 bulan lamanya berjalan, dia memintaku untuk menjelaskan dimana letak kesalahannya.

Aku orang egois, jadi ku jawab, "Kamu cari tau sendiri".

Terlalu capek untuk jelasin semua permasalahan yang buat aku ngambil keputusan pisah secara tiba-tiba, padahal sebelumnya aku sudah pernah memberinya aba-aba.

Aku bilang, "Sekarang kita mungkin masih sama-sama tapi untuk kedepannya kita ngga tau gimana endingnya".

Aku tau, hubungan itu ada karena peraturan di dalamnya juga berlaku. Hal-hal sepele yang dia permasalahkan membuatku benar-benar merasa terganggu; aku harus stand by di roomchatnya, setiap online whatsapp harus ngabarin dia ada kepentingan apa buka whatsapp kecuali lagi chattingan sama dia, aku harus bilang chattingan sama siapa terus keperluannya apa.

Berangkat dan pulang sekolah harus sama dia walau beda kendaraan, setiap dia mau tidur aku juga harus ikut tidur, apapun kemauan dia harus aku turuti kalau ngga dia bakal marah dengan dalih aku jangan sampai membuatnya khawatir.

Tentu saja ada saatnya aku membantah, seperti yang ku bilang sebelumnya, aku ngga suka sama aturan.

Diam-diam aku hangout sama temen-temen tanpa bilang ke dia, lagipula untuk apa bilang? Dia hanya pasanganku. Orang tuaku saja mengizinkan aku pergi kemanapun tempat yang ingin aku tuju, sekalipun jaraknya jauh, tetapi jika aku bilang dulu ke dia pasti akan dilarang. Aku berpikir apa dia punya hak?

Apapun yang ingin ku lakukan, pasti ku wujudkan tanpa persetujuan dari dia. Dia ngga akan pernah tau apa yang aku lakuin dibelakang dia kalau ngga aku kasih tau, aku ngga perlu cemas karena aku pandai mengatur strategi.

Aku licik?

Jujur aku sendiri merasa begitu, karena pada saat itu aku hanya ingin memiliki kebebasan.

Sebenarnya membutuhkan waktu yang ngga singkat juga untuk menyadarkan dia bahwa aku udah ngga mau lagi sama dia, apa dia terkejut dengan keputusanku yang terkesan tiba-tiba?

Sangat, sangaat terkejut. Bahkan aku masih ingat, dia ngga percaya kalau yang bilang itu aku. Setau dia, aku orang yang ngga mungkin kayak gitu.

Katanya, aku mengingkari janji. Janji untuk terus bersamanya.

Aku lebih menyayangkan kondisi tubuhku dari pada dia, dengannya aku selalu-tersiksa baik fisik maupun mental. Dan aku selalu menyebutnya sebagai "Penyakit".

6 bulan setelah itu dia masih mengejarku, dia masih berusaha menyadarkanku bahkan meyakinkanku bahwa cuman dia yang terbaik buat aku dan cuman dia yang bisa menerima kekuranganku.

Hmm, waktu itu aku harus melakukan berbagai banyak cara dan berpikir keras untuk menghentikan dia.

Kalau memang aku banyak kurangnya lantas mengapa masih juga dikejar?

Sampai-sampai aku membohongi dia kalau aku sudah memiliki penggantinya, semata-mata supaya dia berhenti dengan semua tindakan bodohnya.

Nyatanya, dia lebih dari bodoh. Dia justru memperburuk suasana yang dimana aku sudah ingin berdamai dengan keadaan.

Banyak orang yang terlibat kala itu, aku juga harus menanggung malu serta rasa ngga enak sama orang-orang yang membantuku.

6 bulan itu, aku menghadapi banyak drama. Sampai di titik aku pernah mempunyai niat untuk mengakhiri hidup, padahal sebenarnya aku tau itu bukanlah solusi yang tepat.

Tapi, waktu itu semuanya terasa berat, mereka yang membantuku ngga sepenuhnya ikut campur karena aku juga ngga mau terus terang menjelaskan secara detail. Ada beberapa hal yang seharusnya ngga mereka tau.

Dan, ini bagian terakhir. Bagian yang paaaling buat aku bahagia.

Dia sudah mendapatkan tuan putri barunya.

Ada rasa lega di dada setelah tau hal itu, diuji 6 bulan ternyata ngga sia-sia sampai di sini. Aku ikut bahagia dengan kabar itu, memang sudah waktunya dia kembali ke mode awal. Memulai kisah lagi.

Hehe, aku gapapa. Aku masih suka sendiri walaupun yang dia tau, aku sudah berpawang.

Aku juga masih mau meng-upgrade diri lebih baik lagi, mau lebih banyak merenung dan intropeksi diri, sebelum dipertemukan dengan seseorang yang ditakdirkan untukku dan kembali memulai kisah baru.

Dulu, pikiranku belum cukup dewasa. Untuk sekarang, aku juga masih berusaha.

Aku bercerita tentang masa lalu bukan karena aku ngga bisa lupain dia tapi cuman mau mengenang betapa hebatnya aku dulu, hehe.

Cerita ini bukan berisi kalimat penenang tapi berisi kalimat bebas yang terbentang.

DiaryTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang