Peraduan

69 3 13
                                    

%%%

Kakiku melangkah gontai keluar gedung kampus setelah menyelesaikan 2 SKS siang ini. Ditanganku jam menunjuk pukul empat lebih dua puluh. Aku mempercepat langkah karena langit pun sepertinya tidak bersahabat sore ini.

Dan, tepat saat Indekosku tinggal lima puluh meter lagi, hujan pun mengguyur dengan derasnya. Untung saja ada Alfamart penyelamat diriku yang kebetulan sedang dilanda flu. Kulirik sekeliling ada beberapa remaja kampus yang kalau tidak salah, mereka suka buat onar dibuktikan seringnya masuk akun gosip kampus. Termasuk tiga perempuan disana.

Aku memilih duduk di kursi bagian barat yang diisi oleh dua bapak ojek. Begitu duduk aku hanya diam, memandang hujan seraya mengeratkan sweter cardiganku. Namun sayup-sayup kudengar suara tawa yang asalnya dari segerombolan tadi. Tawanya menarikku untuk menengok, dan begitu kepalaku menoleh, semua pasang mata disana sedang menatapku.

Mataku sontak membulat dan bertanya-tanya, apa yang salah denganku? Apa badanku ada sesuatu? Apa rambutku bau dan tercium sampai sana? Semua pemikiran negatif itu terus berputar dikepalku sampai mereka semua pergi ketika hujan mereda. Aku pun bangkit dan berjalan perlahan sampai Indekos. Hal tadi membuatku kepikiran sampai malam tiba dan tertidur.

%%%

Rentetan bunyi dihpku begitu menganggu di jam enam pagi dan di saat enak-enaknya tidur. Begitu kubuka lockscreen ternyata pesan itu dari Uti, teman baikku sejak SMP.

Uti: Levaaaa!!!
Sumpah ini keterlaluan BANGET.
Cepet bangun kebo.
Gue syok nih, apalagi lo.
Buka akunnya kak Fernandi @fernan.di787
Ada lo disana Le😢😢

Tanpa ba-bi-bu aku segera membukanya. Perihal tidak memfollow tapi melihat instastory-nya itu bodoh amat. Sekarang rasanya napasku terkecat. Di layar sana aku sedang di vidio diam-diam, yang kemarin memakai sweter cardigan, celana jeans, dan rambut tergelung sanggul. Caption yang dibuat tak jauh-jauh dari objektifikasi perempuan atau bahkan ini lebih parah hingga membuatku tak bisa berkata-kata.

Caption: "Yang mau nih, mbak cantik dengan badan pas, sem*g, cakep. Kuy di order masih virgin lah pastinya hahaha."

What the f*ck!!!

Tanganku langsung gemetar. Kuletakan hp sembarang seraya menarik napas mencoba tetap tenang. Sekarang pertanyaanku adalah, aku sedang mengalami pelecehan? Apa itu termasuk? Apa, aku berhak melapor?

Ditengah kebingungan itu, Uti menlefon dan segera kuangkat.

"Halo ... Tiii." Suaraku bahkan ikut bergetar menahan sesak dalam dada.

"Leva. Kenapa? Kok bisa kejadian? Kemarin darimana aja kamu, Le?" tanya Uti lembut, yang membuatku cukup tenang.

Aku menceritakan semuanya detail. Setelahnya tanpa sadar air mataku mengalir. Rasanya tidak adil, hanya duduk saja di depan minimarket, aku mendapat pelecehan? Bahkan aku tidak 'memancing' yang kata stereotip itu seperti baju terbuka, atau mengedipkan mata mungkin.

Aku hanya diam, DIAM memandang hujan, meneduh, dan- ... aku semakin terisak sampai akhirnya Uti bilang ingin menemui dan menemaniku. Aku mengiyakan dan berharap aku berani melapor, mungkin paling utama pada keluargaku.

%%%

"Halah, kamu ngada-ngada. Makanya apa-apa itu liatin sekitar. Jadi tau ada yang vidioin kamu. Kamu kemarin pakai baju apa emang? Nggak kebuka-buka kan? Makanya cepet pakai jilbab dong, Ndu, Ndu. Nggak bisa nyontoh kakakmu sih."

Suara omelan ibu di seberang tak mampu kujawab. Tangisku makin menjadi kala tau bahwa ibuku ternyata tidak percaya pada anaknya. Rasa sakitnya makin bertubi-tubi menyerang kala ibu mengomel lagi.

PeraduanTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang