Dua Musim_Episode 1

7 2 0
                                    

Selamat menikmati. 

reading, writing and inspiring. 

so, jangan lupa kasih masukan ya... ^^ pojok sebelah kiri nganggur minta pencet. Terimakasih.. 

---------------------------------------------------------------------------------------------------------------------

" Dunia gak berporos hanya pada satu titik. Sadari. Masing-masing punya kenyataan di setiap kehidupannya. –Hanan Aurora-"

Hanan turun dengan cepat, nafas memburu serta degupan jantungnya yang tak beraturan tak di pedulikan oleh Hanan. Satu yang Hanan ingin tau sekarang, kejelasan Salman. Ia melewati pintu utama pondok dengan cepat, tatapannya mengedar fokus mencari Salman.

Terdengar suara gelak tawa segerombolan lelaki di tempat tongkrongan biasa, Hanan melangkah cepat, nafasnya memburu marah.

"Salman!" panggil Hanan berteriak.

Seketika semuanya diam melihat Hanan serentak, Salman bangkit berdiri menarik tangan Hanan menjauh dari teman-temannya. Rahang Salman mengeras, terlihat sekali ia tidak menyukai cara Hanan yang memanggilnya seperti itu.

"Apa-apaan lu Nan?! Gua udah bilang kan, jangan ngelakuin hal kaya gitu!" Hanan berdecak memalingkan muka. Malas sekali, niat untuk memarahi malah di marahi.

"Lu denger gua kagak?!" mata Salman menajam, mencengkeram bahu Hanan.

"Lepasin." Balas Hanan. Cengkraman Salman melemah. Menyadari aura Hanan yang berbeda, ada yang tidak beres.

"Are you okay?" Salman memegang kepala Hanan menepuk-nepuk pucuk kepala Hanan lembut mencoba menenangkan amarah Hanan.

"Lepasin." Tekan Hanan sekali lagi. Salman diam.

"Lu percaya sama gua ga si, Man?. Lu percaya sama gua kagak?!" emosi Hanan meluap. bentakan yang di berikan oleh Hanan cukup berpengaruh pada Salman, wajah Hanan merah padam.

Salman terdiam. Ia mulai mengerti arah pembicaraan ini, sudah jauh jauh hari Salman menyiapkan mental jika Hanan bersikap seperti ini, Ia sudah menduga dari awal Hanan maupun kakaknya Hanin alias saudara kembar Hanan mereka akan sama-sama memberontak.

"Tau apa lu tentang gua Man? Kita ga sedeket itu untuk ukuran lo ikut campur dalam peraturan hidup gua. Lo terlalu egois buat menentukan semuanya. Kenapa si Man?" nafas hanan terengah, air matanya menetes bahkan beberapa pasang mata Ustadz maupun santri yang melihat reka kejadian mereka tak Hanan pedulikan. Ia sudah terlalu muak dengan semua peraturan-peraturan rumah yang menurutnya bullshit.

"salah satu alasannya gua lakuin ini semuanya buat-"

"gua nglakuin ini semua buat lo! Demi kebaikan kalian! Basi Man! Basi!. Apa pernah lo pikiran kita Man, pikirin gua sama Hanin yang ngejalanin semua peraturan-peraturan itu? Gak di rumah, gak di pondok sama aja!" Hanan kembali menangis deras.

Salman memandang Hanan lembut, ia meneguhkan hatinya, berusaha menekan emosinya dalam-dalam.

"Hanan dengerin gua dulu..." ucapnya sayang. Ia berusaha menepuk-nepuk pucuk kepala Hanan jika Hanan tak menepis tangan Salman. Bahkan, mereka sudah berpindah tempat demi menghindari kesalahpahaman warga pondok.

" Dari dulu, gua maupun Hanin gak pernah di kasih kesempatan buat memutuskan semuanya sendirian. Semua keputusan-keputusan itu selalu yang menentukan ayah bunda, mamah papah, eyangku, eyang kita, ami ami gua, aunty, uncle, abang abang gua. Gua kira Man, gua kira dengan gua disini, makin jauh dari rumah gua bisa belajar untuk menentukan sebuah keputusan. Tapi apa?! Apa Man?!" salman masih terdiam. Bahu Hanan bergetar.

DUA MUSIMTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang