harsa: pulang tidak pernah jadi tujuan

110 11 22
                                    

Selain suka cello, lo suka apa?

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Selain suka cello, lo suka apa?

Kalau begitu, jawabannya akan jadi banyak sekali. Gue suka sama Yuki sejak rambutnya masih dikuncir dua dan pakai rok merah di bawah lutut. Gue suka sama sate padang yang sering mangkal di deket gapura atau kadang-kadang pindah ke pos satpam. Gue diam-diam menyukai gimana hidup bisa jadi sebebas ini ketika gue memutuskan untuk pergi dari rumah.

Tapi nggak ada yang bisa mengalahkan rasa suka gue sama cello. Kecintaan gue pada musik, hal-hal yang sering dibilang Mama tidak masuk akal dan cuma buang-buang waktu. Kendati Mama membunuh mimpi anak sulungnya sendiri, atau mungkin juga mimpi adik-adik gue.

Cello, buat gue itu sudah seperti hidup. Nggak peduli gimana kalimat kamu nggak bisa hidup dengan musik, coba sedikit lebih realistis mencoba menjatuhkan gue setiap saat.

Anehnya ketika gue bermain dengan cello yang dibelikan Mama ketika usia gue masih tujuh tahun, gue merasa hidup. Rasanya kayak sebuah distraksi dari kehidupan itu sendiri, rasanya seperti lagi berada di tengah-tengah orkestra kelas dunia.

Sampai kemudian, kehidupan itu direnggut oleh pemberinya sendiri. Yah, gue nggak menyalahkan Mama juga. Soalnya dibanding cello segede gaban yang harganya di atas dua puluh juta, ekonomi keluarga jauh lebih penting dari hobi atau bahkan sebuah mimpi yang sering dianggap sebelah mata.

Pada awalnya, mungkin gue sedikit marah. Tapi lambat laun, seiring waktu yang berjalan, gue mulai bisa mengerti kalau nggak semua hal bisa dipaksakan. Kadang, harus ada pengorbanan untuk hal-hal berharga lain yang ingin dipertahankan.

Siang ini, di pelataran fakultas kedokteran yang lebih ramai dari biasanya, gue pura-pura menulikan telinga saat Yuki kembali bertanya. "Lo kapan pulangnya sih, Sa?"

Well, sebenarnya ... gue nggak berencana untuk pulang. Sejak Papa lebih sering mabuk-mabukan dan memukul Mama tiap ada kesempatan, rumah jadi terasa seperti neraka yang tidak pernah alpa dari teriakan dan suara bantingan barang.

Serius deh, mabok tuh gunanya apa? Tiap kali Papa pulang dengan aroma alkohol yang bikin gue sakit kepala, jantung gue selalu bertalu hebat dan berusaha mengurung diri di kamar sampai amarah Papa mereda. Iya, gue sepengecut itu.

"Kapan-kapan," gue menjawab asal. Yuki berdecak mendengar kata-kata dari mulut gue. Dia tuh demen banget manyunin bibirnya kenapa ya, gemes banget jadinya.

Cewek itu sebenarnya udah dari jauh-jauh hari ngajakin balik, konon katanya perjalanan jauh yang ditempuh pake kereta kelas ekonomi bakal berasa VIP kalau ada seseorang yang menemani. Ya salah banget sih dia ngajakin orang yang cuma pulang setahun sekali pas lebaran kayak gue ini.

"Sa, ada telpon tuh."

Gue segera mengangkatnya ketika melihat nama Lala tertera di layar panggilan. Beda kasus sih kalau yang nelpon si kulkas dua pintu. Mau ditelpon sampai kebenaran Hitler mati di Garut terungkap pun kayaknya nggak bakal gue angkat.

Kuas PatahTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang