seperti biasa bintangnya jangan lupa*
Apa yang hilang pada suatu hari dan direnggut oleh masa ketika Harsa masih sangat muda? Apakah gelas-gelas berkaki yang dahulu sering bersembunyi di balik etalase kemudian berpesta dengan saling melukai satu sama lainnya? Atau denting piano nyaring yang lantas memecah hening pada suatu malam ketika Mama dijajah oleh gerilya air mata?
Harsa menolak mengingatnya. Sampai tubuhnya dirambati oleh dingin marmer dan telinganya dipenuhi suara tawa. Laki-laki itu terbaring di sebuah mimpi asing, di tengah-tengah sebuah pesta kecil.
Rasanya sesak di sini. Apakah mimpinya mencoba untuk membunuh dirinya sendiri? Harsa mulai kesulitan bernapas. Tempat ini pernah begitu familiar di memorinya. Di sudut tempurung kepala seorang anak yang bahagia. Sampai pada suatu hari ketika langit mendung dan semuanya tidak baik-baik saja, Mama meraung sambil menangis di depan Papa. Laki-laki itu tidak banyak bicara. Harsa tidak terlalu mengingat apa yang dikatakan Papa sebab otaknya mematri sebuah sekuen yang lebih sering menjarah isi kepalanya daripada lamunan siang harinya.
Sebuah vas pernah hancur menabrak tembok bersama titik-titik air mata yang mengalir turun. Butuh waktu lama setelah hari itu buat Harsa mengetahui kalau perasaan Mama jauh lebih berkeping dan retak dibanding sebuah vas yang tidak lagi utuh.
Laki-laki itu mulai tidak bisa membedakan garis batas sebuah imaji. Kakinya tidak melayang dan kulitnya diserbu dingin. Proyeksi dirinya bukan serangkaian ilusi ketika seorang anak kecil menabrak tubuhnya lalu kembali berlari dan tertawa. Tahun berapa dia terlempar hingga Lala masih seorang balita yang belum lancar bicara? Ketika tubuhnya akhirnya terjerembab ke sofa lantaran Hasta yang dia kenal jarang membuka mulut dan memanggilnya dengan cara yang hampir Harsa lupakan, laki-laki itu mulai bisa mengingat kembali lembut beludru yang dahulu pernah menjamahi tangannya. Betapa hidup pernah jadi begitu halus dan lunak seperti serat-serat untaian kapas.
Tubuhnya merasakan nyeri luar biasa ketika anak kecil yang tadi menabraknya membawa suara tawa seolah yang baru saja didengarnya adalah nada minor paling menyedihkan sealam semesta. Apakah itu benar-benar dirinya? Sebab dia tak pernah mengingat dengan baik sosok Harsa yang dikelilingi hal-hal prestisius. Dia tidak benar-benar ingat apa ia bahagia di masa kecilnya atau malah sebaliknya, dia tidak akan mengingat betapa lebar tawanya ketika ia masih sangat muda. Harsa tidak akan mengerti mengapa dirinya menyeretnya kembali ke tempat ini sebagaimana ia tidak pernah mengerti luka-lukanya yang dia biarkan berdarah bertahun-tahun lamanya.
Refleksi dirinya yang ada di marmer lantas tersenyum, mengatakan kalau sudah saaatnya ia kembali. Lalu begitu saja, ia ditarik kembali untuk menjalani mimpi buruk absolut saat rintik gerimis terakhir meninju bumi selayaknya ranjau yang meninju medan perang.
*
Bisakah seseorang terbiasa dengan nyeri yang merambat seiring dengan rasa sakit yang menjelma sebagai rutinitas harian, dan kemudian melupakan bahwa sakit maupun luka sejatinya adalah sebuah sinyal kehidupan seseorang? Jantungnya berdenyut lara, selaras dengan darah di wastafel yang diguyur air keran. Gerimis meredam segalanya, seperti sebuah tepuk tangan meriah di penghujung orkestra. Kini, nyeri itu tak lagi berpusat di satu titik. Sialnya, laki-laki itu pandai menghitung-hitung kapan kiranya ia akan segera kehilangan detik.
Katanya, kalau seseorang meninggal, ia akan mulai mengingat fragmen-fragmen memori sebagaimana seorang sutradara membuat sekuens layar kaca. Tapi bukankah kematian datang secepat seorang penulis mengakhiri kalimatnya dengan sebuah titik? Hasta sedikit berharap, dia tidak perlu mengingat apa-apa ketika dia sekarat. Dia tidak perlu mengingat bagaimana Mama akan terduduk lesu di sofa ruang tengah setiap kali perempuan itu menghadapi sejumlah struk tagihan dan hutang-hutang yang selalu menunggak saban akhir bulan. Dia tidak perlu mengingat bagaimana Harsa mendapat memar dan luka setiap kali Papa pulang dengan menanggung kegagalan seorang pria. Atau Lala yang tidak tumbuh semestinya lantaran hidup dengan suara cerca.

KAMU SEDANG MEMBACA
Kuas Patah
Ficção AdolescenteLagu itu nggak pernah selesai, begitu pula dengan kertas-kertas yang selalu berakhir pulang ke tempat sampah. Yang selesai, cuma kita. 𝐜𝐚𝐬𝐭: 𝐲𝐚𝐧𝐚𝐧, 𝐲𝐮𝐪𝐢, 𝐲𝐨𝐮𝐧𝐠𝐡𝐨𝐨𝐧, 𝐫𝐲𝐮𝐣𝐢𝐧, 𝐲𝐞𝐣𝐢, 𝐲𝐞𝐨𝐧𝐣𝐮𝐧, 𝐣𝐮𝐲𝐞𝐨𝐧 start: 2...