Part A (Him)

105 20 8
                                    

Menyebalkan.

Aku menatap tanpa harapan ke arah kanvas di hadapanku. Belum puas, aku melempar benda pipih itu hingga melesat ke arah pintu ruang seni, menimbulkan suara debuman keras yang kuharap tak didengar siapapun.

Patah. Kulihat begitulah keadaan bingkai kanvasku. Patah, seperti harapanku yang baru saja dihancurkan.

Aku menyingkirkan seluruh palet-paletku hingga benda itu jatuh berserakan ke lantai, menodai lantai putih ruangan ini dengan percikan tumpahan cat.

Aku benci.

Aku kesal dengan keadaan ini.

Sialnya tak ada satupun yang mampu memahamiku. Tak ada satupun yang mau mendekat atau melihat diriku.

Seolah aku adalah monster. Seakan aku adalah hantu.

Dengan kekesalan yang masih membuncah, aku bangkit dari bangku yang kududuki. Kuhampiri cermin yang tergantung di sudut ruangan.

Kutatap rambut hitam panjangku yang modelnya tak pernah berubah sejak aku kecil. Lurus tanpa tambahan potongan apapun. Lalu wajahku yang tak pernah terpoles apapun. Bahkan saat gempuran produk-produk kecantikan sudah menjamur dimana-mana. Dan oh shit, kenapa aku harus menuruti perkataan Ayah untuk selalu memakai kacamata dengan alasan radiasi? Miris. Sungguh miris sekali.

Aku menghela napas. Kutatap ruangan ini. Bahkan keberadaan ruangan ini di sekolah pun tak luput karena campur tangan Ayah. Kurasa kuasa ayahku atas diriku seakan sudah melebihi Tuhan.

Dan hei, aku tak seperti yang kalian bayangkan.

Jika kalian membayangkan hidupku indah seperti di drama--karena aku adalah putri salah satu orang terkaya di Korea--maka kau salah. Atau buang jauh pikiran itu jika kalian kira aku melalui hari-hari dengan penuh kebahagiaan. Hidup tidak seideal itu, bahkan berdasarkan taraf kebahagiaan kurasa hidupku berada di bawah standar.

Aku memungut ranselku yang tergeletak di lantai. Alarm di ponselku telah berbunyi, artinya aku harus segera masuk kelas.

Kutatap kembali diriku di cermin. Walau hariku selalu terasa buruk kuharap ada sedikit hal baik hari ini.

Riuhnya lapangan olahraga menjadi hal pertama yang menyapaku begitu aku keluar dari ruang persembunyianku. Aku menepi ke balkon dengan kepala menengok ke bawah. Rupanya sedang ada pertandingan basket antar kelas. Dari lantai tiga tempatku berdiri tidak terlalu jelas siapa yang tengah bertanding disana. Namun melihat euforia para gadis aku yakin yang bermain pastilah bintang basket sekolah kami.

Aku segera menuju gedung jurusan IPA dimana kelasku berada dan entah mengapa teman kelasku sedikit lebih ribut dari biasanya.

"Hei Betty! Kau pasti senang kan? Ayahmu baru saja terpilih jadi ketua Komite Perwakilan Orang Tua."

Aku menoleh pada Yuna, si sumber suara usai meletakkan tasku di bangku. Gadis berambut ikal itu kini menatapku sinis.

Kuhela napasku pelan. Aku bahkan tak tahu bagaimana bisa Ayah terpilih sebagai ketua asosiasi menyebalkan itu. Dan sumpah, persetan dengan itu semua. Aku sama sekali tak peduli.

"Setelah ini guru-guru pasti akan semakin sayang padamu," sindir Jihyo yang tengah duduk di atas mejanya.

Aku menelan saliva kasar. Seperti biasa, diam dan menjaga pertahananku sendiri adalah jalan satu-satunya yang bisa kulakukan.

"Aish kalian ini. Berhentilah mengganggu Hara."

Aku kian menundukkan kepala saat suara itu mendekat padaku. Suara sosok yang sangat kubenci di kelas ini.

GUITARISTTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang