Lentera Kembar

255 40 2
                                    

Baginya lentera adalah senyuman yang muncul di penghujung hari. Senyum yang menyampaikan kehangatan mentari senja yang akan bersembunyi di balik cakrawala. Ia ada disana, di balik jendela berbingkai putih, dibatasi oleh selembar kaca yang seolah memisahkan dunia mereka. Sosok itu adalah lentera hidupnya, alasan kenapa ia masih bisa tersenyum meski mengangkat ujung bibir saja terasa sulit baginya.

Lentera itu masih disana, redup sesekali namun tetap berjuang untuk tetap menyala terang. Ranjang pesakitan itu menjadi bukti atas tangan yang hanya mampu terulur tanpa sanggup menggapai. Namanya Gempa dan ia berharap lenteranya takkan pernah meninggalkannya. Karena baginya, lentera tak hanya sebuah lentera, namun sebuah penunjuk atas masa depan yang tak terlihat.

Angka sepuluh tersemat di dirinya. Waktu yang berlalu lembat akhirnya mencapai angka sepuluh juga. Namun tak ada yang berubah dalam kehidupannya. Kehidupan kecil Gempa masih berkutat antara ruang putih, pria berjas putih dan sang lentera yang sesekali menengok di balik jendela ataupun pintu bercat putih. Dan meski di antara rasa sakitnya, Gempa merasa ia tidak bisa untuk tidak tersenyum karenanya. Masih ada sang lentera, masih ada alasan. Dan rasanya Gempa masih ingin terus berjuang sedikit lebih lama.

Saat itu di penghujung musim hujan dan Gempa terjebak di dalam rumah sambil menatap tetes demi tetes air yang jatuh dari langit. Sepasang irisnya memandang jauh, entah memandang apa. Kemudian sang lentera datang, cahayanya tampak lebih terang dan terasa sangat hangat. Sampai Gempa tak sanggup menahan diri untuk tidak tersenyum karenanya. Ingin bermain di luar sana, adalah apa yang ia utarakan pada sang lentera. Sesuatu yang ia tahu tak mungkin terjadi, tapi ia harap bisa ia lakukan walau sekali. Sang lentera meredup sesaat, sebelum kemudian berpendar terang dan membukakan pintu untuknya. Gempa melangkah ragu, namun debaran dalam dadanya juga tak bisa diajak kompromi. Apakah boleh? Dan genggaman hangat di tangannya seakan menjadi jawaban atas keraguannya. Ya, ia berhak. Setidaknya kali ini ia berhak untuk merasakan apa yang ingin ia rasakan. Berhak melakukan apa yang ingin ia lakukan. Tanpa memikirkan ruangan putih yang akan menyambutnya esok ataupun omelan ayah serta tangisan ibu yang akan menanti. Sekali saja, Gempa ingin menjadi seperti anak lainnya, seperti lenteranya.

Esoknya, tak ada lagi lentera yang menemaninya ketika ia kembali ke ruangan putih itu. Ayah juga tidak ada, hanya ada ibu yang sedang mengupas apel merah di samping ranjang putih itu. Wajah ibunya terlihat lelah, senyum tidak seindah biasanya. Gempa jadi bertanya-tanya dalam hati. Apakah ia hanya merepotkan orang tuanya? Apakah keegoisannya hanya merepotkan ayah dan ibu? Membuat ayah harus bekerja lebih keras dan membuat ibu lebih sering menangis daripada tersenyum. Apakah seharusnya ia menyerah saja? Berhenti menjadi egois dan berhenti menjadi beban bagi ayah dan ibu serta lentera kesayangannya? Pertanyaan itu berputar-putar di benaknya sampai ia tidak menyadari kehangatan yang melingkupi tangan mungilnya ketika sang lentera menemuinya. Dan seketika pikiran itu buyar dan yang bisa ia lakukan hanya tersenyum tipis sebelum rasa kantuk menjemputnya dan kegelapan menyapanya.

Semua tak menjadi semakin baik setelahnya. Tahun-tahun berlalu dan Gempa semakin kehilangan kebebasannya. Yang bisa ia lakukan hanya duduk diam di rumah atau menginap di ruangan yang bau obat-obatan yang amat dibencinya. Lenteranya masih ada bersamanya, menguatkannya untuk tetap bertahan. Tapi entah kenapa, bahkan untuk memikirkannya saja terasa sulit. Bayangan dirinya yang bisa berlarian dengan bebas di luar sana terus menjadi bayang-bayang yang menjadi angannya. Ya, hanya angan karena tidak ada hal lain yang bisa ia lakukan kecuali hanya berbaring dan menahan diri agar tidak membuat setiap sel dalam tubuh lemahnya kelelahan. Sang lentera masih ada di sampingnya, namun tidak dengan ayah dan ibu. Ayah terkadang hanya datang untuk menengok, setelah itu ia pergi untuk mencari lembar kertas untuk membayar sewa ruangan putih yang memuakkan itu. Ibu pun sama, hanya saja, wanita yang selalu tampak lelah itu cukup lama menghabiskan waktu dengan duduk diam di samping ranjang besinya seraya menggenggam jemarinya yang kian mengurus. Hanya diam, kemudian dengan seulas senyum kecil, ia pergi. Dan Gempa sendirian lagi. Saat itu Gempa tau, tidak ada hal yang baik-baik saja. Semua justru menjadi semakin buruk. Dan itu terjadi karenanya.

Lentera KembarTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang