Thirty Days Away from You

328 27 1
                                    

Pagi itu masih sama dengan hari-hari sebelumnya. Penuh oleh ketenangan juga udara beku.

Namjoon mengalihkan pembatas tipis yang menyelubungi mata, berkedip lekas-lekas, pun menggosok sudut-sudut matanya dari kotoran yang lekat. Manik kelam itu menemui langit-langit kamar yang berwarna suram. Manakala Namjoon beranjak duduk, hal-hal di sekelilingnya masih tetap sama. Namjoon bisa mengenalinya meskipun pengelihatannya tak sebaik dulu. Selimut yang sewarna permukaan laut, letak jendela yang membelakangi matahari terbit juga gorden tipis sewarna langit yang sedikit tersingkap. Yah, mungkin bisa dibilang kalau Namjoon seorang maniak biru.

Namjoon menarik kakinya turun dari ranjang, membungkusnya dengan sandal tidur berbentuk koala biru. Sementara tangan kanannya langsung meraba-raba permukaan nakas, mencari sesuatu. Mendapat sebentuk kacamata, Namjoon mulai mengenakannya. Segala sesuatu yang tadinya buram kini terlihat sedikit lebih jernih.

Masih berbalut selimut, Namjoon mendekati jendela. Musim dingin tengah menciptakan serbuan angin yang membuat dunia membeku dan berwarna putih di bawah tumpukan salju tebal.

Segelas kopi panas berasap, penghangat ruangan yang menyala, dan jangan lupa untuk membebatkan pakaian serta selimut tebal pada tubuh. Semua itu perpaduan cocok untuk bermalas-malasan pada tiap-tiap pagi sembari bertahan melewati musim yang keras. Satu lagi, Namjoon hampir saja lupa. Bonsai kesayangannya. Jjin.

"Pagi, Jjin. Kamu tumbuh cepat sekali." Laki-laki itu menyapa bonsainya sejenak sebelum seteguk kopi melesak mengaliri tenggorokan.

Tegukan kedua nyaris saja menyembur daun-daun mungil milik Jjin. Kejutan rasa panas yang sedikit membakar bibir ditambah pula suara heboh bel pintu apartemen yang ditekan tidak sabaran dari luar. Namjoon jadi kehilangan pagi berkualitasnya karena tamu tidak berguna di balik pintu itu.

Siapa sih yang datang? Seingatnya, Namjoon tidak punya janji dengan anak-anak kampus atau jam mengajar dadakan pada hari-hari liburnya.

Lalu siapa?

Langkah Namjoon beradu malas dengan permukaan lantai, berderak tidak beraturan. Pintu bercat putih itu ditarik ke dalam tanpa minat.

Tepat ketika membuka pintu, matanya memindai sesosok anak laki-laki menjulang. Namjoon perkirakan, usianya baru masuk angka dua puluh. Namun dia sudah begitu tinggi. Sial. Berhadapan dengan anak itu, membuat Namjoon terlihat mengerdil.

"Papa sudah tampan sekali. Sepertinya papa tidur sangat nyenyak tadi malam." Anak tinggi itu menyeka lengan mantel untuk memindai arloji yang melingkar pada lengan putihnya. "Sudah siap untuk pergi?"

"Pergi? Pergi ke mana?"

Anak muda itu mendecak sebal dengan bibir mungil yang dibuat mengeriput. Tanpa disuruh—entah diterima atau tidak sebagai tamu—anak itu menerobos masuk. Dan Namjoon tidak mampu memblokade gerakan lincahnya, mirip lesatan seekor kelinci.

"Kamu ini tidak punya sopan santun sekali! Menekan bel pintu apartemenku berkali-kali seperti penagih hutang! Lalu sekarang masuk ke tempatku tanpa izinku?!" Namjoon mengomel dari pintu masuk hingga menyusul anak laki-laki yang seenak jidat menginvasi apartemennya tanpa sungkan.

"Siapa suruh papa mengganti kombinasi pintu? Soobin jadi repot kalau ingin masuk!"

Anak yang ternyata bernama Soobin itu benar-benar tidak ingin disalahkan. Tingkahnya mengingatkan Namjoon akan seseorang. Entah siapa itu. Dahi Namjoon muncul beberapa tingkatan ketika mencoba menggali ingatan.

A Thousand Versions Of YouTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang