Prolog

0 0 0
                                    


# Prolog
# Cerbung

Seorang gadis berjalan mondar mandir di depan ruang rawat sebuah rumah sakit. Menunggu dengan sabar dokter keluar untuk memberi sebuah kabar. Berharap kabar baik pastinya.

Adelia tak menghiraukan seragam sekolahnya yang kusut, karena kemungkinan sudah tak akan dipakai lagi. Dia baru saja lulus sekolah menengah atas. Bahkan surat kelulusan pun masih di genggamnya, sampai ke rumah sakit.

Niat hati ingin memberi kabar baik untuk ibunya, malah dirinya yang mendapat kabar buruk. Ibunya pingsan di ruang tamu, sampailah dia berada di sini.

Setelah beberapa menit, akhirnya yang ditunggu-tunggu keluar. Seorang laki-laki dengan jas putih dan stetoskop menggantung di lehernya muncul di balik pintu.

"Bagaimana keadaan ibu saya, Dok?"

Adelia langsung bertanya kepada dokter yang baru saja menginjakkan kakinya di  luar ruangan sepersekian detik.

"Mari ikut saya ke ruangan."

Sesampainya di ruangan dokter, Adelia menunggu dengan jantung berdebar-debar, melebihi saat dirinya menunggu pengumuman kelulusan.

Seorang suster masuk dengan membawakan hasil laboratorium yang langsung diterima oleh dokter. Dibacanya hasil lab itu selama beberapa detik. Kemudian dokter itu terlihat bernafas sebelum memberitahukan kebenarannya kepada anak dari pasiennya

"Sebelumnya Ibu Adik, terkena gagal ginjal akut. Yang terjadi pada ibu adik ini, kerusakan ginjalnya memburuk seiring berjalannya waktu yang disebut sebagai gagal ginjal kronis. Sebaiknya ibu Adik harus menjalani rawat inap untuk diagnosis selanjutnya. Mudah-mudahan tidak berkembang, sampai harus cuci darah."

Bagai disambar petir, mendengar penjelasan dokter barusan. Adelia tidak menyangka, ibunya menyembunyikan penyakit parah dari anaknya.

Berjalan dengan gontai, Adelia keluar dari ruangan dokter, duduk di kursi tunggu depan ruang rawat ibunya. Kepalanya menunduk dalam guna menyembunyikan air mata yang sudah tak bisa dibendung. Diremasnya surat kelulusan dan undangan jalur beasiswa yang menjadi impiannya.

Adelia hanya hidup berdua dengan ibunya semenjak dia masih bayi. Dia hanya tahu wajah ayahnya dari foto yang berada di kamar sang ibu. Di saat seperti ini, dia tak tahu harus mengadu pada siapa.

Menghapus air matanya, dia harus tetap kuat. Kemudian berjalan masuk ruangan untuk memberikan semangat pada ibunya. Setelah itu dirinya akan pulang, mengambil tabungan yang selama ini dia kumpulkan sedikit demi sedikit untuk melanjutkan kuliahnya, sekarang harus digunakan untuk biaya perawatan ibunya di rumah sakit. Tak apa jika itu untuk sang ibu.

Di tempat lain, seorang pria duduk di ruangan kantornya yang di dominasi warna putih dan hitam. Memerhatikan sebuah kalung dengan bandul biru berbentuk prisma hexagon, yang berada di genggamannya.

Arion Madava Abrisam, CEO dari perusahaan Abrisam, perusahaan turun temurun dari orang tuanya dulu. Pria tampan, dengan kulit putih, tubuh tinggi atletis, masih berusia 27 tahun, dan poin utamanya ialah masih lajang.

Seorang lagi berdiri di depannya, hanya terpisah sebuah meja kerja sang CEO. Aliando, menunggu apa yang akan diperintah oleh atasannya itu.

"Apa sudah ada titik terang?" tanya Arion kepada sekretaris sekaligus tangan kanannya itu.

"Maaf, belum ada, Tuan. Kemungkinan mereka sangat pandai menutupi jejak saat berpindah-pindah."

Aliando menunduk dalam, tak sanggup untuk menerima aura tekanan dari bosnya itu.

"Cari terus sampai dapat. Aku tak peduli, berapa uang dan berapa nyawa yang harus dikorbankan untuk mendapatkan dia."

"Baik, Tuan."

Aliando bergegas balik kanan dan keluar dari ruangan sang bos untuk menghubungi anak buahnya. Agar mereka segera mencari beberapa petunjuk keberadaan anak perempuan yang sedang dicari-cari bosnya.

Sementara itu Arion masih memandang kosong ke arah kalung itu. "Di mana kamu sebenarnya?"

Gadis Kekasih GelapTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang