Tak semua luka dapat sembuh seperti sediakala. Juga tak semua patah dapat disatukan menjadi hal yang sama. Buktinya, ada aku di sini. Mencoba melupakan setiap duka, mengobati setiap lara. Namun, tak juga aku benar-benar menjadi diriku seutuhnya. Diriku sebelum segalanya menjadi pedih.
Dari kejauhan yang bahkan tak tersorot oleh netra ini, ada mereka yang tengah berteriak. Memaki masa laluku. Mereka ulang tentang kenangan yang pernah ada, meski telah bersusah payah kulupakan.
Perlahan, seseorang mendekat. Dengan selusin puisi cinta, aku menjamunya. Memberi kasih yang teramat besar, bahkan melebihi kasih pada diriku sendiri.
Semesta memainkan sebuah nada. Langit lantunkan bahagia. Terbangkan kupu-kupu pada hati kita. Hingga, hari itu tiba.
Dengan tergesa-gesa, kau datang membawa segala yang pernah kita tukarkan sebagai hadiah. Kau memberiku seikat tawa dan aku memberikan kepingan hati yang merona. Lantas, kau pamit seusai berkata, "Maaf, kita harus berakhir."
Tak lama, gadis itu pun benar-benar pergi. Bayangnya menghilang bersama senja yang meredup. Lantas, seseorang lain mendekat. Sosok manusia yang kerap kupanggil Ibu.
Dengan cacian kesukaannya, ia hadir dalam tidurku. Ciptakan mimpi buruk yang memang awalnya telah parah. Menghadirkan berbagai masalah baru. Tentang aku yang tak bisa memenuhi ekspektasi mereka.
Beberapa dokumen ia lempar ke arahku. Dengan samar-samar, aku tahu itu pasti berasal dari sekolahku. Entah itu berharga ataupun sulit didapatkan, yang pasti sederet prestasi itu tak ada artinya di mata Ibu. Tak peduli dengan keringat dan tangis di baliknya.
"Kalau Ibu bilang begini, yah begini!" bentaknya suatu malam. Aku yang saat itu lelah pulang dari suatu perlombaan hanya bisa pasrah saat melihat piala yang kubawa remuk. Segala harapan dan bahagia pupus di tangan seorang Ibu.
---
Dua orang terhebat dalam hidupku. Mereka hadir dengan cara yang berbeda, tapi dengan akhir yang sama. Napas-napas pendek mereka berhenti di antara jemari tanganku.
Apakah aku senang setelahnya? Jelas. Euforia bergejolak ria di dalam jiwaku. Namun, di satu sisi, ada pula penyesalan yang hadir di pertengahan malam. Tangis menjadi selimut tidurku. Dan, aku kembali menjadi orang yang terlalu rapuh untuk dapat sembuh.
KAMU SEDANG MEMBACA
Terlanjur Rapuh Untuk Sembuh (Cermin)
Short StoryTentang ia yang terlalu luka, terjebak sepi, dan terlanjur rapuh. Terlanjur Rapuh Untuk Sembuh (Cermin) Zaski Zeet