1. Untuk Byakta

3 3 1
                                    

Song rekomendation : Tulus-Interaksi.

Menyeka peluh,  aku membiarkan jemariku bekerja sama dengan dahi, nafas gusar, kaki yang tak henti beradu dengan aspal, berlari sehat di malam hari. Ku rasa bukan lah pilihan yang tepat, tetapi tidak buruk juga, hanya mata rabun ku yang bersalah di sini. Tidak ditemani alunan musik, membiarkan suara dari mesin  kendaraan itu  menggantinya, sesekali jangkrik. Atau ciut cuit burung bersua.

Bukan apa-apa, hanya tentang bagaimana Bumantara berisi penuh dengan kilau chandra, pula bintang-bintangnya. Maksud hati hanya ingin kembali mengulas memori bab dengan Sang pemilik kata-kata paling indah,  jatuh hati pada seseorang yang bahkan aku tak tahu bagaimana rasanya menatap matanya atau menghirup udara di suatu tempat yang sama dengannya.

Aku benci mengakui ini, tetapi hubungan kami hanya sekadar layar elektronik, virtual. Tolong, jangan tertawa.                                                            
Lantas aku bersinggah, duduk di atas kursi taman putih dengan lampu taman samping nya, menengadah kepada langit, mengadu pada bulan. Semua kesibukan yang kulakukan selama dua tahun terakhir tidak pernah sekalipun menggeser dia dari peringkat teratas hal-hal yang paling ku pikirkan.

Bermula dari kejenuhan pandemi dua tahun yang lalu, membuat hidupku hampir 80% berada di depan layar. Mencoba bergabung dengan grup chat yang berisi orang-orang random, iseng, sekedar hiburan semata... namun justru menemukan dia.

Si pemilik kata-kata paling indah, Andromeda Byakta Trengginas.

~*~


"Sejak terbebas dari pandemi  satu tahun yang lalu, ekonomi Ihatra perlahan merangkak dari keterpurukan, dilansir dari–"

Membawa secangkir kopi, aku merotasikan bola mataku, kesal menyeruak tiap kali mendengar kata "pandemi" salah satu nasib terburuk seumur hidupku. Sudahlah pandemi, miskin, patah hati, tidak ada kerjaan dan mahasiswa. Aku tak tahu bagaimana bisa masalah hidup ku datang bertubi-tubi seperti ini.

Mengalihkan pandangan pada benda bundar yang menempel di dinding sana, aku  memperhatikan jarum kecil itu menunjuk,  ah... lima menit lagi harusnya mereka sudah sampai. Aku meregangkan otot-otot, mempersiapkan diri untuk kembali berinteraksi dengan teman-teman terdekat ku, Anna dan Shela, mereka ingin singgah untuk makan bersama.

Jujur saja citta ku derai bersama titik-titik harapan, aku tidak mengharapkan kehadiran mereka yang sekarang.

Harus ku akui kalau pertemanan ini cukup asing, terasa seperti ada garis panjang yang membatasi kami. Dulu mereka tidak seperti ini, awalnya kami baik dan saling mengisi. Tapi, semenjak kami melepas rok abu-abu kami, semua berubah. Aku hanya mengenal mereka yang dulu, saat kami masih duduk di bangku menengah.

Selama ini aku hanya mendekap gundah dalam bab lama. Setidaknya mereka masih hidup untuk membangkitkan ekspektasi lama ku, bukan?

~*~

"Ara, lu ga makan? Makan dong anjir, liat lu tuh kurus banget."

"Eng? Oh... iya."

Terbangun dari semesta yang kubuat sendiri, aku memandangi sekotak bento yang di bawa oleh Shela dan Anna, mereka membawa dua kantong besar berisi bento yang... entahlah sepertinya untuk pamer?  Eugh, sebuah kepastian yang selalu kuragukan demi menjaga nama mereka. Cukup lelah rasanya.

"Oh iya, Ra! Lu tau ga si anjir kemarin gue sama shela ngelabrak Rina! Hahaha" seru gadis itu yang diakhiri dengan tawa yang menggelegar. Terdengar lucu di telinga mereka.
Anna mengibaskan rambutnya. "Siapa suruh ingetin dosen kalau ada tugas, kayak... lu kalo mau caper, caper sendiri aja sono ke kantornya. Gausa di kelas, anjing? Alay banget jijik," ketus sahabatku itu berlagak jijik. Memutar bola matanya.

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Jan 16 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

Kita nantiTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang