Namaku Fadhil Abdul Ghani. Orang-orang biasa memanggilku Fadhil. Kata orang-orang aku adalah orang yang sangat aktif. Jika aku diam dalam keramaian, mungkin ada yang salah disana. Tahun ini usiaku menginjak 18 tahun. Usia transisi dari kanak-kanak kedewasa atau biasa disebut sebagai masa labil. Aku baru saja menyelesaikan pendidikan SMA ku di Kota Blitar dan melanjutkannya di Universitas Brawijaya Kota Malang. Ayahku menginginkanku untuk lanjut ke sekolah kedinasan, ibuku menginginkanku untuk mengambil teknik sipil. Namun aku tidak tertarik oleh keduanya. Hukum merupakan jurusan yang kuambil. Menurutku kemampuanku dalam berbicara dan suka berdebat merupakan acuan dalam mengambil keputusan masuk kedalam jurusan hukum.
Aku menemui teman-teman masa SMA-ku disini juga, ada sekitar 3 sampai 5 orang. Yang lainnya kukenal karena berada di dalam kelas yang sama.Aku adalah orang yang suka dengan kopi. Ya, kopi, senja, dan asap rokok di teras merupakan perpaduan yang sangat istimewa. Kalau kata orang-orang, ini adalah surganya dunia. Aku tidak berangkat dari keluarga terpandang, orang tuaku bekerja sebagai petani keduanya. Aku merupakan anak pertama dan mungkin yang terakhir juga karena mereka lelah untuk memproduksi embrio lagi untuk dibesarkan setelah aku. Selain berbicara didepan umum, menulis juga bisa dikatakan sebagai salah satu hobi yang kulakukan disaat dunia sudah bekerja dengan baik.
Di Kota Malang aku hidup sendirian. Sendirian bukan berarti sebatang kara. Teman-temanku berjarak 5 kilometer jaraknya dari tempat kosku. Yang satu lagi berjarak 3 kilometer. Seandainya kita tau akan melanjutkan di universitas yang sama, mungkin kita brefing terlebih dahulu dimana kita akan menginap. Mereka bernama Rian dan Fauzi. Keduanya memiliki hobi yang berbeda. Potret untuk Rian, dan traveling untuk Fauzi. Meski kita bertiga memiliki hobi yang berbeda namun jika disatukan akan menjadi perpaduan yang menarik. Dengan hobi travelingnya Fauzi bisa menentukan mana tempat yang bagus untuk berlibur. Rian dengan kemampuan potretnya mampu menjepret bagian-bagian menarik dari pegunungan, dan hobiku menulis yang akan merangkum cerita hari itu. Dan terbitlah cerita dengan judul "Pegunungan Cantik di Tempat Pemandian."Kami memang selalu bersama kemana-mana. Bahkan sering disebut juga sebagai 3 serangkai. Orang-orang mengira kami ini saudara, bahkan tak sedikit juga yang mengira bahwa Fauzi dan Rian adalah saudara kembar. Tak heran jika ada anggapan seperti itu. Mereka sudah bersama sejak menginjakkan kaki di bangku sekolah dasar. Satu kelas selama 12 tahun, dan ditambah lagi kuliah di universitas yang sama. Yang menjadi pertanyaan dalam benakku, apakah mereka tidak ada rasa yang terpendam? Tidak menutup kemungkinan jika persahabatan bisa merubah cara pandang seseorang terhadap cinta.
Ngomong-ngomong soal cinta, dari ketiga temanku, aku adalah orang paling tidak beruntung dalam percintaan. Bisa dibilang sebagai pecundang dalam hal cinta. Bagaimana tidak, dalam perihal cinta ketampanan dan kemapanan merupakan modal. Dan aku kurang dalam keduanya. Tapi tak apa, kalau kata orang-orang tua dahulu, carilah perempuan yang bisa mengerti bagaimana cara membahagiakannya dengan caranya sendiri. Entah orang tua mana yang mengatakan itu, yang pasti aku suka kata-kata itu.
Jum'at. 28 Februari 2009. Hari ini kelasku kosong karena dosen sedang ada urusan mendadak. Sangat menyenangkan sekali bukan menjadi orang yang serba ada, dia bisa membatalkan kepentingan orang banyak untuk memenuhi kepentingannya. Tapi cukup membuatku senang, karena aku bisa lebih leluasa dan lebih lama untuk mendekati Winda.
Ya, Winda Agustiani. Seorang wanita tulen setengah tomboi tapi tidak tomboi, hanya setengah saja. Menjadi pusat perhatianku untuk pertama kalinya aku masuk ke kampus ini. Kalau kata orang Jawa setiap dilihat orangnya "nyenengne." Sudah hampir setahun aku menjalani hidup sebagai mahasiswa masih belum juga kudapatkan nomor WhatsAppnya. Setelah kampus selesai dia istirahat dimana. Kemana arah langkah kakinya menuju ketika istirahat, kapan Tuhan menciptakannya, kapan ia terlahir. Aku belum mengetahui sama sekali tentangnya kecuali aku menyukainya ketika pertama aku melihatnya.
Winda duduk di bangku tengah, tidak terlalu ambis dan tidak bodoh. Aku berinisiatif menghampirinya, bertanya tentang apa yang sebenarnya Bapak Dosen lakukan sehingga harus meninggalkan jam kuliah.
"Winda ya?" Tanyaku sambil berjalan perlahan mengambil kursi didekatnya.
"Hmm, heeh." Dia menjawab dengan wajah yang santai, melirikku sedikit dan melanjutkan membaca wattpadnya dengan tangan kiri menyangga kepalanya waktu itu.
"Itu wattpad?" Tanyaku lagi.
"Iya, ini wattpad. Kenapa?" Jawabnya lagi dengan fokus masih dengan bacaannya.
"Gapapa sii. Kamu suka genre apa?" Aku terus bertanya, pikirku kapan kesempatan ini akan terulang lagi jika tidak kuselesaikan sekarang.
"Semuanya." Jawaban darinya yang lagi lagi begitu singkat.
"Owww. Okeee, aku duluan ya." Aku pamit dengan otak yang terus berputar memikirkan topik apa yang harus kutanyakan dan akhirnya aku menyerah.
Payah sekali, dalam percintaan aku memang sangat payah sekali. Padahal jika dia suka dengan wattpad harusnya aku mudah untuk mendekatinya. Ceritakan saja bagaimana indahnya musim kemarau yang begitu panas kering ketika bisa mendengar senandung suaranya. Kenapa aku tidak bercerita tentang busuknya bunga sakura jika didekatkan denganmu. Kenapa aku tidak mengatakan bahwa hangatnya musim dingin di Eropa sana ketika bisa melihat senyumanmu. Ahh payah!