"Kau marah?" Anata bungkam, tangannya masih memperbaiki perban yang mengendur. "Kan aku ga kenapa-napa" Jeonghan melanjutkan ucapannya, menatap Anata yang masih sibuk membebat siku kanannya. "Luka begini memang kelihatannya sepele tapi kalau kau tidak bisa menahan diri sembuhnya lama" perbannya dililit dari atas siku ke jari-jari tangan, sekalian agar dia berhenti memainkan tangan kanannya keluar dari arm sling. "Bu dokter kan menangani saya dari bertahun-tahun lalu, masa ga hapal" Jeonghan menghadiahi Anata sebuah senyuman. Jari telunjuknya menyentuh hidung Anata dengan sengaja.
"I speak as your girlfriend now" Saut Anata sembari memotong sisa perban, mengikatnya rapi, segera mengambil gendongan yang Jeonghan taruh asal di meja konsultasi. "Aku kan ga kenapa-napa, cuma copot perbannya" bibirnya mengerucut, menyebalkan. "Kan aku udah bilang tangan stay di arm sling, jangan keluar, apa susahnya si gausah dipake yang kanan, toh fansmu pasti maklum kalau gerakanmu ga maksimal, toleransiku sampai pundakmu gerak, gausah ngeluarin tangan" Jeonghan mendengarkan dengan baik, dia menghela nafas, mungkin sedikit merasa tidak enak mendengar repetan nada tinggi pacarnya barusan. Matanya memerhatikan perban yang baru diganti, dalam hati menilai kinerja pacarnya yang cekatan dan rapi.
Tadi Anata hampir menjerit melihatnya melakukan encore dengan tangan bergelantung bebas di luar sling, padahal sudah konsultasi ke dokter lain dan diberi jawaban sama tapi laki-laki itu seolah 'lupa sakit' di atas panggung. Dia bisa tertawa-tawa sambil mengayunkan tangan yang baru dioprasi 1 Minggu lalu tanpa beban. Dan sekarang laki-laki itu duduk di kasur pemeriksaan, tidak ingin mengakui rasa nyeri yang sejak tadi dia rasakan.
"Sikunya nyeri kan? bilang aja, malam ini dosis obat nyerinya ku tambah biar tidurmu nyenyak" Dia sengaja tidak menatap gadis yang berdiri dihadapannya menyiapkan arm sling, harus diakui bahwa tindakannya menghasilkan masalah kecil di otot. Tapi sepertinya Anata tidak juga mengalihkan pandangan atau melakukan tindakan lain seperti memakaikan arm sling sebagai penutup tindakan medis malam ini. Kini Jeonghan memberikan tatapan melas.
"Aku lapar" Jeonghan mengusap perutnya. "Aku ngga ikut makan sama yang lain karena langsung kesini, ayo makan" Bibirnya mengerucut dengan aksen lirih seperti anak kecil mengeluh. Menghiraukan topik yang Jeonghan ciptakan, Anata melepas kancing arm sling yang baru ia ambil, melingkarkannya ke leher Jeonghan.
Tangan sehat laki-laki itu merengkuh pinggang Anata, memeluknya dengan satu tangan lalu mengistirahatkan dagunya di pundak. "Aku gapapa, nyeri sedikit, jangan khawatir" Jeonghan melepaskan pelukannya dalam hitungan detik, netranya menatap bagaimana Anata melakukan tugas sebagai dokter. Anata memperbaiki ukuran arm sling yang mengendur, memastikan benda itu menyangga tangan Jeonghan tidak terlalu kendur maupun kencang. "Segini?" Jeonghan mengangguk. "Ga usah sok melas, aku masih marah" Gadis itu meninggalkannya di kasur pasien, membuang sampah perban dan melepas jas praktik, tatapan sayu milik Jeonghan ternyata tidak bekerja. "Iya... aku minta maaf" Jeonghan membuang nafas panjang. "Besok tangannya stay di arm sling?" masih ada konser hari kedua, Anata harus memastikan Jeonghan tidak melakukan encore gila. "Cium dulu" Jeonghan mengerucutkan bibirnya lagi, kali ini diikuti tatapan mata yang menunjuk ke bibirnya.
"Oke tangan stay di arm sling" Simpulnya setelah mendapat kecupan singkat, tubuhnya kemudian melompat dari kasur mengikuti langkah Anata yang lebih dulu keluar ruangan, tersenyum menang.