1. Rumor

0 0 0
                                    

Elice menutup mulutnya rapat saat mendengar langkah kaki mendekat. Degup jantungnya meningkat dua kali lipat dari biasanya. Ia bahkan bisa merasakan keringatnya mengalir, padahal udara malam ini cukup dingin untuknya. Tiba-tiba saja ia menyesali keputusannya untuk pergi sendirian ketempat ini.

"Gue yakin kalo dia lari kesini. Cari dia sampe ketemu!" Teriak suara berat itu, membuat Elice semakin panik. Ia berusaha meraih handphonenya dengan susah payah disaku celana. Seluruh badannya bergetar ketakukan.

"Please, please, please!" Ucapnya sambil mengetik sesuatu di handphonenya dengan susah payah.

"Lo ngapain ditempat gue?"

Jari Elice terhenti saat mendengar suara itu. Suara yang membuatnya berakhir disini, dan terjebak situasi ini. Laki-laki menyebalkan itu, Sian Lee.

"Sejak kapan ini jadi tempat lo?" Balas suara berat itu dengan nada meremehkan.

"Sejak lo babak belur ditangan gue?" Jawab Sian terdengar menyebalkan.

"BANG**T!"

Buagh!

Elice mengintip dari tempatnya bersembunyi. Sian yang terlihat sibuk melawan empat orang disekelilingnya. Tapi dia terlihat santai, dan dengan mudah memberikan pukulan balasan pada orang-orang itu. Disaat seperti ini, ia akui kalau Sian terlihat keren. Mengesampingkan sifat menyebalkan dan keras kepalanya.

"Sampe kapan lo mau diem disitu?" Ucap Sian yang kini sudah berdiri didepan Elice dengan wajah dingin.

"Lo gak apa-apa?" Elice bertanya ragu. Sambil memastikan kalau laki-laki didepannnya memang baik-baik saja.

Sian mendengus kesal, kemudian berniat berbalik pergi. Sebelum sssuatu menahannya dan membuat dia berbalik.

"Sian!" Elice menahan kaki laki-laki itu dengan tatapan memelas."Kaki gue lemes. Gak bisa berdiri!" Ucapnya hampir menangis.

Laki-laki itu berdecak sebal."Nyusahin!"

Elice berakhir diatas punggung Sian. Memeluk leher laki-laki itu dengan erat. Jaga-jaga kalau anak itu tiba-tiba berubah pikiran dan berniat menjatuhkannya. Tentu saja Sian melakukannya dengan terpaksa. Tak mungkin dia meninggalkan seorang gadis seorang diri disana. Tempat itu berbahaya.

"Lo ngapain ngikutin gue? Kalo gue gak sadar, lo bisa aja udah jadi mayat sekarang." Ucap Sian dengan dingin dan kasar. Laki-laki itu sepertinya tak bisa bicara dengan lembut.

"Emangnya mereka orang jahat?" Tanya Elice dengan ragu sambil berusaha melirik ekspresi Sian.

"Terus kalo mereka orang baik, ngapain lo kabur?" Tanya Sian balik.

"Itu, soalnya muka mereka serem."

Sian mendecih."Sejak kapan orang yang wajahnya serem selalu jahat? Dan apa lo pikir semua orang yang wajahnya ganteng itu baik?" Elice bisa mendengar Sian mendengus sebal didepannnya."Seriously, sampe sekarang gue gak percaya 100% sama orang yang bilang, jangan menilai orang dari wajahnya. Buktinya lihat orang yang wajahnya serem aja mereka langsung negative thinking, kan?"

"Ya gak gitu juga." Elak Elice membuat Sian memutar matanya malas."Tapi tetep aja. Gak ada salahnya berhati-hati, kan?"

"As always, orang-orang selalu mencari pembenaran untuk setiap ucapan mereka."

Elice mendengus sebal. Ia memilih menghentikan obrolan ini. Tak ada gunanya berdebat dengan seorang Sian. Si keras kepala dan berandal sekolah.

Sebuah mobil berhenti didekat mereka. Elice mengenali mobil itu, kemudian menepuk pundak Sian untuk menurunkannya.

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Jul 09, 2022 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

More than SianTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang