Bagi sebagian orang, sikap penyendiri masih dipandang aneh. Memangnya kenapa jika ingin melakukan segalanya sendiri? Toh, kita juga terlahir dan akan menghadapi kematian seorang diri.
Tidak suka terlalu bergantung pada orang lain.
—itu aku.
Sebelum mengenalmu. Sebelum kamu memaksa masuk ke dalam hidupku. Memaksaku turut menyertakan namamu dalam lembar kisahku.
Aku mandiri. Terbiasa melakukan segala hal seorang diri.
Bukan aku tak butuh orang lain, tentu saja aku butuh. Aku juga hanya manusia biasa. Aku juga perlu bersosialisasi pada yang lain. Namun sebelum aku sempat mendekat dan bersosialisasi, mereka lebih dulu menjauhiku.
Maka darinya, aku mulai mandiri, berdiri di kaki sendiri, lalu menutup diri.
Menjadikanku tak ingin bergantung dan bersandar pada pundak yang lain.
Karena ku pikir, jika aku mulai bergantung pada yang lain, melakukan segalanya sendirian akan terasa sulit.Benar saja.
Kamu mulai datang, kemudian memberi harapan dengan berkata bila tak ada yang salah dengan berbeda dari mereka. Tidak ada yang salah dengan membagi keluh kesah, tidak ada yang salah dengan jatuh cinta.
Begitu katamu.
Aku mulai menjadikanmu tumpuan. Lalu membuatku percaya jika semuanya bisa di titik beratkan pada pundakmu.
Hingga lupa bagaimana caranya berjalan di atas kaki sendiri.
“Sendiri aja?” begitu sapamu kali pertama kita jumpa di pantai, lalu kamu tiba-tiba saja mendudukkan diri tepat disebelahku.
Kala itu, aku masih mengabaikan sapaanmu. Deburan ombak di pantai sudah terlanjur menenggelamkan fokusku.
“Hei, saya tanya... kamu sendirian?” tanyamu sekali lagi sembari mengibaskan kelima jemarimu di depan wajahku. Berusaha merebut atensiku.
“Saya?” tunjukku pada diri sendiri.
“Memang siapa lagi yang saya ajak bicara?” kamu terkekeh dengan menunjukkan senyum mu yang begitu menawan.
Hanya butuh seperkian detik untuk membuatku terpana karena tiba-tiba diserang dengan senyuman yang begitu rupawan.
Sialan, aku terpesona.
Tanpa sadar telah mengutuk senyumanmu dalam hati.
Tolong lain kali kalau ingin mengobrak-abrikan kewarasanku karena senyumanmu itu, permisi dulu ya.
“Kamu sering kesini?” sekali lagi kamu kembali memulai konversasi.
“Tidak juga. Hanya sesekali.”
“Sendirian?”
Aku mengangguk sebagai jawaban.
“Suka banget sama pantai?” lagi, ku jawab dengan anggukan.
Bagiku, pantai itu tempat paling nyaman untuk menelantarkan segala beban. Carut-marut pikiran yang kalut, senantiasa akan hanyut terbawa arus laut.
Jadi... ya, aku menyukai pantai. Sangat.
“Saya kesini karena dipaksa sama teman. Tuh lihat—” ujarmu sembari menunjuk ke belakang, lalu pandanganku turut mengarah ke sana sesuai pintamu. Terlihat sepasang kekasih dengan hawa merah muda di sekitarnya yang sudah bisa dipastikan sedang dimabuk asmara.
“—saya dipaksa sama mereka cuma buat jadi tukang foto, merekanya asik pacaran, saya nya jadi nyamuk.” dengus sebalmu menjadi awal kisah panjang yang akan kamu ceritakan kala itu.
KAMU SEDANG MEMBACA
Renjana Melankolia | BRIGHTWIN ✔
Short Story-- renjana /rên•ja•na/ n. rasa hati yang kuat (rindu, cinta kasih) -- melankolia /mè•lan•ko•lia/ n. kelainan jiwa yang ditandai oleh keadaan depresi --------------------------------------------------------- A BRIGHTWIN FANFICTIO...