Lelaki tua itu duduk termenung, melihat halaman rumah yang dipenuhi rumput hijau melalui sebuah jendela. Sesekali ia tersenyum, membuat kerutan di wajahnya tertarik ke atas.
"Aku selalu mengharapkan ini, duduk berdua di sore hari bersamamu, orang yang paling ku sayang, Jasmine." ia terus menerus tersenyum, sembari melihat wanita yang paling ia cintai duduk disampingnya.
Mereka menggenggam tangan satu sama lain, menikmati suasana sore di pedesaan yang asri. Alunan musik jazz menemani mereka. Sebuah lagu yang telah menemani dua sejoli itu sejak awal hingga saat ini. Jonathan berdiri, mengajak Jasmine untuk berdansa, dialuni dengan lagu jazz kesukaan mereka. Mereka hanyut, hanyut akan kebahagiaan. Sampai akhirnya lagu itu berakhir, dansa mereka pun harus dihentikan.
"Aku harus pergi, tubuh tua ini membuatku lelah hanya karena melakukan sedikit gerakan dansa. Aku akan ke kamar. Membaringkan tubuhku." Jasmine tersenyum, kemudian perlahan pergi meninggalkan suaminya. Lelaki itu hanya membalasnya dengan senyuman.
Beberapa waktu berlalu, terdengar suara seorang pria. Memanggil ayahnya beberapa kali dengan lantang sembari mengetuk pintu, "Ayahhh!!!"
Jonathan pergi, membuka pintu untuk menemui anaknya, Michael. Michael terlihat masih mengenakan setelan kantornya, dengan dasi yang sudah tak begitu rapih.
"Aku membawakan makanan ini untukmu." ia menyodorkan barang bawaannya kepada Jonathan.
"Ini dua porsi, kan? Aku tak mau jika kau hanya memberiku satu porsi saja. Bagaimana dengan ibumu?"
"Ayah, bagaimana aku harus mengatakannya." batin Michael. Ia tersenyum getir, "Iya, ini dua porsi. Untuk ayah dan ibu. Baiklah aku harus segera pergi, ada sesuatu yang harus kukerjakan." ucapnya.
"Hey, apa kau tidak mau menemui ibumu terlebih dahulu?" tanya Jonathan.
"Tidak. Aku harus segera pergi. Aku harus pulang ke rumah." Michael pergi, memasuki mobilnya kemudian menghilang karena jarak. Mereka memang tinggal terpisah sejak lama. Jonathan juga tidak mempermasalahkan hal itu. Sudah biasa anak memilih hidupnya sendiri.
Pria itu mengemudikan mobilnya, matanya lurus menatap ke arah depan. Tanpa sadar, air mata menetes, membasahi pipinya. Ia menyekanya menggunakan dasi kantornya. "Kuharap ini segera berakhir."
"Kenapa makananmu selalu tidak kau habiskan? Bahkan makanan itu tidak terlihat berkurang dari sebelumnya." tanya Jonathan.
"Kau ini. Kan memang porsi makanku sedikit. Harusnya kau sudah paham. Kita sudah bersama dalam waktu yang lama." mereka berdua terkekeh.
***
Hari-hari pria tua itu hanya ia habiskan dengan bersantai, menikmati hari tua dengan orang terkasihnya. Sekelebat ingatan muncul, membuat Jonathan meringis kesakitan sambil memegangi kepalanya. Selalu dan selalu, ingatan ini muncul. Ingatan tentang momen dimana ia menggenggam sebuah tangan, sebuah hal yang sampai saat ini membuat ia mengalami hal mengerikan ini tanpa disadari.
Jasmine dengan sigap menolong suaminya. Memberikannya perhatian yang dirasa membuat sakit Jonathan membaik.
"Ayo, kita istirahat saja. Aku akan menemanimu." Jasmine menuntun suaminya menuju kamar mereka. Membiarkannya mencoba untuk beristirahat. Ia menarik selimut, kemudian menyelimuti suaminya dengan penuh cinta
***
"Relakanlah aku. Aku harus pergi."
Jonathan terbangun dengan keringat bercucuran, air mata membasahi pelupuk matanya. Ia tak kuasa menahan itu semua tatkala bermimpi ditinggalkan oleh istrinya, Jasmine.
"Ayah, ayah kenapa?" Michael panik, melihat kondisi ayahnya yang kian lama membuatnya semakin tersiksa.
"Michael? Kenapa kau disini? Dimana ibumu? Aku harus bertemu dengannya." Jonathan panik, ia menelusuri setiap sudut ruangan, mencari pujaan hatinya.
"Ayah, kumohon, sadarlah..." Michael terisak. "Ibu, ia sudah tiada sejak lima tahun lalu."
"Apa yang kau katakan?! Kenapa kau mengatakan itu? Setiap hari aku bersamanya. Bagaimana mungkin itu terjadi?!" bantah Jonathan.
"Ayah, kumohon. Ibu sudah tiada. Semua itu hanya hayalanmu saja. Kau selalu menganggap ia ada disini. Bahkan kau tak ingat sama sekali saat dimana dokter secara rutin memberimu perawatan, perawatan untuk menyembuhkanmu!" air mata mengalir deras, membasahi pipi Michael dengan ganasnya. Hatinya pilu, tatkala harus menyampaikan hal seperti ini kepada ayahnya.
"Tidak, tidak! Kau bohong!"
Michael memeluk erat ayahnya, menenggelamkan lelaki tua itu ke pelukannya. Mereka sama sama terisak, suaranya pilu, membuat sesiapa yang mendengarnya bisa merasakan perasaan itu.
Kenyataannya, semua yang dikatakan Michael adalah kebenaran. Jasmine telah tiada sejak lima tahun lalu. Memori yang selalu membuat Jonathan kesakitan saat mengingatnya adalah momen kepergian Jasmine. Hari dimana ia pergi karena sakit yang ia derita. Saat itu, Jonathan terus menggenggam tangan istrinya hingga nafas terakhirnya. Jonathan kacau, karna kepergian Jasmine, ia mengalami sebuah depresi. Ingatannya tentang kematian Jasmine hilang, menurutnya, Jasmine masih disini, menemaninya.
***
Jonathan duduk menatap jendela, hal yang memang sudah biasa ia lakukan. Namun sekarang ia telah sadar, karena Michael telah menjelaskan semua nya. Jonathan tau betul, mengapa Michael tak memberitahunya sejak awal. Anaknya itu hanya tak mau melihat ayahnya menderita, itu saja.
Di tengah lamunannya, ia mendengar suara lirih memanggilnya, "Jonathan..."
Lelaki itu menengok, matanya membelalak tatkala melihat istrinya. Ia tampak begitu cantik, dengan gaun putih dan mata biru nya.
"Jasmine, aku tau ini hanya hayalanku. Kumohon, pergilah, agar aku bisa melupakanmu." lelaki itu terisak, sambil sesekali menyeka air matanya.
"Tidak, aku benar-benar disini. Tapi, tidak untuk selamanya. Aku hanya memiliki sedikit waktu. Aku hanya ingin menyampaikan bahwa aku mencintaimu, sampai saat ini. Jika kau merindukanku, putarlah lagu jazz yang biasa kita gunakan untuk berdansa. Dengan begitu, kau akan selalu mengingat momen dimana kita bahagia bersama." Jasmine tersenyum, kemudian secara perlahan tubuhnya menghilang, meninggalkan Jonathan sendiri di ruangan itu.
Jonathan terduduk, ia masih terisak. Sesaat kemudian, ia bangkit, berusaha memainkan lagu jazz kesukaannya dan Jasmine.
***
"Ayah!!!" Michael memanggil ayahnya terus menerus. Ia heran, kenapa sama sekali tidak ada jawaban dari dalam.
Ia mendobrak masuk, mencari ayahnya karena khawatir. Dan benar saja, ternyata Jonathan sudah tidak bernyawa. Michael menangis tersedu-sedu, sembari memeluk tubuh ayahnya.
Michael berusaha menghentikan tangisnya, ia meletakan kepala ayahnya di pangkuannya. "Setidaknya, ayah sekarang sudah bahagia karena bisa bertemu ibu." ia tersenyum, sembari melihat wajah ayahnya yang penuh dengan kebahagiaan.
Sejak saat itu, Michael dan anak istrinya menempati rumah itu. Terkadang, saat sore terdengar alunan musik jazz dan tawa dari ayah dan ibunya. Mereka tidak takut, karena mereka tau, itu adalah Jonathan dan Jasmine.
Ini hanyalah sebuah lagu sederhana, namun lagu ini akan selalu hidup dengan kenangan di dalamnya.
***
The End