13. Bisnis Gelap Distrik Kedua

5 2 0
                                    

Dentum musik mengalun keras menggetarkan jantung-jantung yang berdetak cepat. Sorot lampu berwarna-warni, juga sinar laser yang mengaburkan mata siapa pun yang tak sengaja memandangnya. Perempuan-perempuan muda dengan pakaian minim berpesta sambil menenggak minuman-minuman fermentasi malt.

Malam ini, bertepatan dengan akhir pekan. Malam dimana banyak orang melepaskan kepenatan mereka setelah bekerja dengan hiburan-hiburan dan hamburan uang. Memperkaya para penguasa lahan-lahan kegelapan kota.

Seorang pria sedang duduk santai sambil menghisap sebatang cerutu kuba. Rambutnya disisir rapi ke belakang, mengkilap berlapis gel rambut berharga fantastis. Celana jeans-nya dipadukan sepasang sepatu kulit ber-sol keras. Bagian atas tubuhnya dibalut kemeja hitam rapi berlapis jas berwarna senada. Di kantong kiri jas yang ia kenakan terdapat sebuah sapu tangan berwarna merah darah.

"Ayo, jangan malu-malu, Sayang. Malam ini adalah milik kita. Hahaha," tawanya yang biasanya menggelegar kini tereduksi hingga level terendah, dikalahkan dengan alunan musik elektronik yang dimainkan seorang disk jockey.

Senyuman dan tawa, juga dentingan gelas-gelas yang saling beradu menambah syahdu. Tiga perempuan muda berpakaian minim dengan lekuk tubuh yang kentara menyambut belaian tangan dari si empunya tempat. Roy, pengusaha kaya pemilik klab Black Clouds & Thunder.

Ia sudah lama merintis untuk bisa mendirikan bisnis di bernama Black Clouds & Thunder. Bahkan jauh klab malam ini sendiri ada. Ia adalah seorang pensiunan perwira yang berhubungan langsung dengan sultan. Secara tidak langsung, ia berada di lingkaran terdekat monarki.

Dua dekade berlalu, Roy masih tetap sama. Ia tak banyak mengalami perubahan, seolah-olah ia menemukan sebuah ramuan penghambat penuaan pada tubuhnya. Ia masih saja kekar, berperawakan tegap dengan wajah yang cenderung tidak sangar. Terlihat lebih muda dari rekan-rekan bisnisnya.

Penampilan Roy saat ini adalah buah dari egonya di masa muda. Tugas dan kepentingan militer membuatnya tidak bisa menjadi dirinya sendiri, tidak bisa menikmati masa mudanya yang sangat menyukai Elvis Presley. Ketika ia sudah pensiun, egonya kembali.

Di pojok ruangan yang temaram, beberapa muda-mudi asik bercengkerama sambil tertawa. Sesekali mereka saling berciuman dan melumat satu sama lain seolah tak ada rasa malu di antara mereka. Sloki demi sloki minuman tertuang, menghangatkan tubuh-tubuh yang dibalut pakaian minim dengan belahan dada terbuka.

Tak jauh dari meja mereka terlihat gerombolan pemuda berjaket kulit. Sebotol Bacardi bertengger gagah di atas meja bundar. Asap rokok berfilter terhembus mengisi paru-paru yang semakin lama semakin menghitam dan menciut.

"Lihat yang ber-dress merah, sepertinya legit," salah seorang diantaranya berbisik sambil tersenyum licik. Rambutnya yang bergaya mohawk lurus disisir kesamping. Menampakkan cukuran tipis di bagian tepi. "Baiklah, aku mau yang baju biru," sahut seorang lagi sambil terus memandangi seorang gadis berbaju biru berdada menantang. Ia terlihat lebih rapi, seperti pekerja kantoran yang sering menjadi alas kaki para investor dan pemilik perusahaan.

Mereka berdua saling berbisik, mengatur rencana. Sudah satu minggu ini birahi mereka tak mendapatkan pelepasan dahaga. Sudah tentu kemolekan tubuh gadis-gadis muda yang sedang pesta tentu bisa menjadi solusi. Hanya saja mereka tak mungkin bergerak di tempat ini. Membuat onar sama dengan mencari mati.

"YOOOO!!!"

Teriakan menggema bergemuruh terdengar bersaing dengan dentuman sub-woofer. Geliat tubuh menari dan berjingkrak semangat disertai sorak-sorai ketika track andalan dari House of Pain diputar sang DJ. Musik berjudul Jump Around memecah memeriahkan malam.

Cloak & DaggerTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang