Brid(g)e

3 0 0
                                    

   
    Evolusi. Percayalah, itu dimulai dari orang-orang gila. Yang pemikirannya tak pernah selaras realita. Yang imajinasinya terang-terangan menembus batas kemustahilan. Kegilaan mereka adalah pondasi sebuah evolusi, dan terkadang kecelakaan kecil adalah tonggak awal mulanya.
     Serupa, hobi adalah pondasi sebuah bakat, dan terkadang kesempatan kecil adalah jalan awal menuju puncak.
    Terobosan teknologi dalam dunia hiburan, VR-MMOFPS. Berbasis Virtual Reality dalam permainan Massively Multiplayer Online, kategori First-Person Shooter. Dengan perangkat bernama Bridge, membawa dimensi virtual selangkah lebih dekat ke kenyataan. Memungkinkan pemainnya merasakan sensasi visual nyata. Bahkan kabarnya, dewasa ini, fitur aroma, sentuhan, serta rasa sakit akan segera diaplikasikan.
    Hingga kini ratusan hingga ribuan VR-Game telah dirilis, dan di antara semua, bahkan mengalahkan kategori-kategori game lain, GO.NE adalah game FPS terbaik, terlaris, dan menduduki puncak setidaknya hampir setengah abad ini.
    Game FPS, permainan baku tembak, GO.NE. Gun Online - New Era. Membebaskan pemain mengembangkan variasi senapan, senjata, dan armor mereka sendiri, dan tidak mengharuskan pay to win adalah dua faktor utama game ini diminati oleh setiap kalangan masyarakat dan usia.
    Di sisi lain dari kebebasan yang ada, game ini memiliki sistem ranking, dengan reward besar untuk 40 pemain teratas. Bukan sembarang reward, setingkat dengan peringkat, setingkat pula uang yang diterima per bulan. Ya, reward berwujud uang. Alias, gaji.
    Tetapi jangan khawatir, posisi peringkat berubah setiap seminggu. Ada kompetisi tersendiri untuk memperebutkannya. Sebuah tantangan survival yang berlangsung 4 hari 4 malam, atau sekitar 8 jam di dunia nyata. Bertahan hidup di sarang monster. Mati berarti kehilangan poin, dan memburu monster menambahnya.
    "Waktunya makan malam," bisikku sembari menepuk pundak Allen. Sadar akan kontak dari luar, Allen melepas helm bridge. Memutar mata, lalu berkedip sekian kali, cara Allen kembali ke realita.
    "Basuhlah muka lebih dulu," lanjutku kemudian pergi ke ruang makan. Mempersiapkan alat makan, nasi, dan sayur, cukup waktu sampai Allen datang. Wajah serius, arah mata semu tak menentu, tanda bahwa pikirannya masih bertarung ria. Bahkan saat aku menyodorkan sepiring nasi beserta ikan kesukaannya, Allen menyantapnya tanpa mengucap apa pun.
    Aku tersenyum. Wajah Allen yang sedang berpikir keras selalu tampak lebih tampan, lebih manis. Menarik paksa mataku untuk terus menatapnya. Sosok pria yang dunia ini labeli sebagai 'orang gila'. Tetapi bagiku, pria pecandu game ini adalah kekasih tercinta, yang beberapa bulan lalu melamarku. Allen Arthur, suamiku.
    Seperti inilah dia. Sekali waktu akan membisu, adalah saat dia memikirkan strategi permainannya. Sekali waktu akan lantang bercerita, adalah saat dia menyelesaikan tantangan sulit. Sekali waktu akan kaku kikuk, adalah saat aku menggodanya. Dan sekali waktu akan manja, adalah saat dia lelah menjalani kesibukannya.
    Cuek, dingin, tidak peduli, anti sosial. Sejumlah cap dari orang-orang. Dan ya, memang seperti itu sifat dan sikap Allen. Kepada dunia luar. Sebab hanya dua hal yang Allen pedulikan, mati memperjuangkannya pun rela ibarat kata, adalah aku, dan gamenya.
    Baginya memainkan GO.NE bukan semata hiburan, malah sudah menjadi pekerjaan tetap. Percaya dan harus percaya, penghasilan Allen sebulan setidaknya menyamai pebisnis-pebisnis besar. Mungkin lebih. Uang bukan masalah kami ketika Allen menempati posisi pertama di ranking. Posisi yang Allen terus pertahankan di dua tahun terakhir ini.
    Mengambil nafas dalam, menghembusnya perlahan. Mengulanginya dua hingga tiga kali. Tersungging senyum puas, "Semoga cahaya bulan menerangi."
    Cara Allen menyelesaikan berpikirnya. Dan ketika itu terucap, kemenangan mutlak akan didapatnya. Baik dalam game, atau kehidupan.
    "Amin," sahutku.
    "Hei-ya." Sapaan khas milik Allen.
    "Hei juga."
    "Riasanmu terlihat berbeda."
    "Ya?"
    Sembari menatapku lembut, "Bibirmu terlihat lebih, ranum. Se-ranum merahnya, rona cinta."
    Ini dia, peluru kata memabukkan yang ditembakkan tiba-tiba. Senjata terbaik Allen di percakapan-percakapan kecil semacam ini, yang selalu dan selalu berhasil melelehkan hatiku.
    "Si- siap untuk besok?" tanyaku mengalihkan bahasan, membuat Allen tersenyum lepas.
    "Ya. Tuntas sepenuhnya. Meski update terbaru merubah banyak aspek, aku siap. Prediksiku sudah mengantisipasinya."
    Jenius gila. Menang bahkan sebelum permainannya dimulai. Membuatku kadang berpikir apakah mata coklat kemerahannya mampu melihat masa depan.
    "Kompetisinya siang bukan?" Aku melanjutkan pembicaraan.
    "Yup, jam 1."
    "Hanya untuk mengantarku ke rumah sakit, aku masih tak percaya kamu sampai membuat developer memundurkan jam kompetisi."
    Allen tertawa kecil. "Tidak ada yang lebih penting bagi seorang ayah selain menyapa buah hatinya. Karena yang kutahu, tiada permata yang lebih indah dari senyum istriku, dan tiada musik yang lebih membahagiakan selain suara anak kita."
    Ah- bertahanlah jantungku. Jangan sampai berdegup lebih kencang dari ini atau aku akan berakhir mimisan, yang mana pasti tidak baik untuk kesehatan janin di perutku.
    "Aku akan bantu mencuci. Pelan-pelan saja selesaikan makanmu." Merapikan meja, lalu berlalu ke dapur, meninggalkanku yang pasti merah padam ini. Bahkan setelah bertahun-tahun berdampingan dengannya, mentalku masih belum cukup kuat berhadapan dengan sisi romantis Allen.
    Nekat namun bisa diandalkan. Memperlakukanku layaknya ratu, memperhatikanku hingga hal-hal kecil. Allen tahu setiap gelisahku tanpa kuceritakan. Dia hanya perlu menatap tajam ke mataku dan disertai obrolan kecil. Tingkat analisanya tidak terbatas pada strategi, tetapi juga psikologi manusia. Allen tahu kapan aku bohong, kapan aku kelelahan, hingga kapan aku bosan. Nyatanya, hanya Allen seorang yang memahamiku. Dan tidak bermaksud tinggi hati, hanya aku seorang yang memahaminya.
    Tidak terbayang Allen adalah sosok penyayang nan lemah lembut, sedang kesan pertamaku padanya dulu adalah sebaliknya. Dingin, keji, licik, kasar. Pertama kalinya aku menjadi pemain ranking di GO.NE dan satu tim dengannya. Tetapi dia dengan tanpa rasa dosa meninggalkanku di rawa beracun, dimana itu adalah sarang monster-monster mengerikan. Sendiri melarikan diri dan tidak sekalipun menoleh.
    Setelahnya, aku mengirim pesan pribadi ke akunnya. Mengatai dan memberikan sejumlah umpatan, seperti, "Kau tidak pantas menjadi pemain atas jika ahli membuang rekanmu. Setidaknya pemain amatir lebih tahu cara menghargai."
    Tidak lama sampai Allen membalas pesanku. Balasan yang membuatku malu teramat malu.
    "Maaf telah meninggalkanmu. Dari nama akun dan cara bermainmu, aku menduga bahwa kamu perempuan. Meski kamu menyembunyikannya, aku tahu bahwa kamu masih sangat ketakutan menghadapi monster-monster itu. Aku hanya berharap kamu tidak memaksakan diri dan secepatnya log out. Terlebih pada permainan yang saling membunuh ini, jangan menjadi terbiasa. Banyak efek tidak baik ke kehidupan nyata."
    "Sebagai permintaan maaf, aku akan mengirimkan sejumlah koin."
    "Jika kau bermain GO.NE demi uang, aku kenal beberapa teman yang membuka lowongan pekerjaan."
    Kali pertama aku kebingungan, di mana harus aku taruh mukaku. Kali pertama aku tahu bahwa manusia sempurna itu ada. Serta kali pertama aku jatuh cinta padanya.
    "Tidak perlu koinmu, terimakasih. Hanya kenalkan aku dengan seseorang yang bisa mengajariku cara menghadapi rasa takut."
    "Aku sendiri akan coba membantu. Boleh aku tahu namamu?"
    "Lyana."
    "Salam kenal. Saran pertamaku, kamu harus waspada untuk tidak memberikan identitas aslimu ke orang asing. Dengan kecanggihan teknologi, satu informasi bisa membuka informasi yang lain, bukankah begitu, Nona Alyana Misa?"
    Cara Allen unik, tidak bisa ditebak, aneh, dan bersyukur waktu itu aku memahami niat baiknya.
    "Ya, kau benar. Aku tidak akan tanya darimana kau tahu nama lengkapku, tapi aku telah belajar tentang kewaspadaan."
    "Begitu juga dengan rasa takut. Mengesampingkan desain monster yang sangar dan menjijikkan, kamu takut pada monster karena kamu tidak tahu kapan, berapa, dan darimana mereka muncul. Tiba-tiba datang dan mengejutkanmu, membuatmu panik. Mencipta rasa takut dari pikiranmu sendiri. Dan, cara menghadapinya adalah waspada. Ketika waspada, instingmu akan bersiap pada kejadian apa pun. Dengan bersiap, setidaknya mengurangi keterkejutan dan kepanikan, juga ketakutan."
     Setiap kalimatnya inti dan padat. Salah satu ciri dasar kejeniusan. Pilihanku cuma satu, yakni semakin kagum padanya.
    "Nama akunmu Arthur, boleh aku memanggilmu begitu?"
    "Silahkan."
    "Kau keren, Tuan Arthur."
    "Hormatku padamu, Nona Lyana. Kamu orang pertama yang berkomentar seperti ini."
    "Bagaimana yang lain? Ah, biar aku tebak. Mereka menyebutmu, gila?"
    "Benar."
    Ya, sebab jenius dan gila itu satu paket, tidak terpisahkan. Mawar indah karena memiliki duri. Lucunya, waktu itu aku begitu tertarik dengan kegilaan Allen. Ingin mengenalnya lebih jauh, ingin tahu batas jeniusnya. Ingin menaklukkan sosok jenius tiada tanding tersebut.
    Meski kemudian tujuanku justru menyerangku sendiri. Kini akulah yang Allen taklukkan. Aku mendapatkan hati Allen, tetapi Allen mendapatkanku sepenuhnya. Hati, pikiran, raga, bahkan jiwaku. Mereka katakan sebagai, 'melawan musuh yang salah'.
    Yah, meski begitu, aku telah 'mencintai orang yang tepat'.
    Lebih dari cukup untukku.
    Lebih dari cukup untuk mengeluarkanku dari hidup sengsara, dan memberikan kebahagiaan.
    Serupa, harapan adalah pondasi sebuah cinta, dan ketulusan adalah proses evolusi menuju kebahagiaan.
   
____
   
   

Brid(g)eTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang