Arsenio Jenggala Gridenth Adelard

29 4 1
                                    

Jika hidup di ibaratkan sebuah permainan maka Jenggala akan kalah lebih awal, jika hidup di ibaratkan olimpiade matematika maka Jenggala akan menjadi orang pertama yang tersingkirkan, jika hidup itu di ibaratkan sebuah labirin maka sudah di pastikan Jenggala akan tersesat di dalamnya.

Jenggala memang termasuk orang yang pintar dalam bersosialisasi tapi terkadang rasa inscure selalu menghantuinya setiap saat, berdiri di antara banyak orang yang terlihat jauh lebih kuat di bandingkan dirinya sendiri membuat Jenggala memilih untuk mundur. 

Banyak yang bilang cobalah percaya pada dirimu sendiri untuk menghadapi semua rintangan di depan sana, tapi pada kenyataannya Jenggala tidak pernah percaya pada dirinya sendiri. Duduk di antara barisan para pemimpin sangatlah sulit, walau faktanya Jenggala selalu berhasil mengimbanginya, mungkin benar apa kata orang Jenggala bukan tidak mampu, ia hanya tidak berani untuk melangkah jauh ke depan sana.

Jenggala kali ini berdiri di antara barisan bunga yang melambangkan kesakitan. Dandelion, daffodils, lily putih dan anyelir merah pucat sudah berada di sisi kanan dan kirinya, saling berlomba siapa yang memiliki wangi paling harum. Jenggala memilih mendekat ke arah dandelion bersama senyum yang mulai terbit dari bibir manisnya, dandelion memang terlihat sederhana namun makna di dalam bunga kecil itu sangatlah luas, dandelion selalu di sandingkan dengan kehidupan yang keras penuh perjuangan dan penderitaan namun akan terlihat tegar dengan caranya, Jenggala selalu menanamkan makna dari bunga berwarna kuning itu ke dalam dirinya, walau sekarang ia hanya menyerah dan mengikuti alur yang sudah takdir tentukan

"Arsen sayang mau bunga apa?" Jenggala tersentak kaget dalam lamunannya saat mendengar ada suara lain di sekitarnya, raut wajah terkejutnya langsung berubah lebih manis saat melihat siapa lawan bicaranya, wanita yang mungkin usianya jauh di atasnya sudah berdiri di hadapannya dengan senyum yang begitu manis

"Aku mau dandelion aja Bun"

"Selalu dengan bunga yang sama"

"Karena sampai detik ini dandelion masih bunga yang paling bagus menurut aku" Jenggala menjawab dengan suara yang begitu lembut, seseorang yang di panggil Bun itu pun ikut tersenyum sambil mulai merakit bunga yang Jenggala pesan

"Dandelion selalu di sandingkan dengan kerapuhan, tapi di balik rapuhnya dandelion dia memiliki ketegaran di dalamnya. Dandelion juga sering di sandingkan dengan kesendirian, tapi kesendirian dandelion juga menyimpan sebuah keberanian yang kuat" Jenggala mengangguk menyetujui ucapan bunda, Jenggala memang memanggilnya bunda karena usia wanita di sampingnya yang seumuran dengan ibunya, dan juga bunda juga yang memintanya untuk memanggil dengan seperti itu

"Arsen mau sejahat apapun semesta membuat takdir, kamu harus tetap menjadi seseorang yang kuat, kita memang tidak akan mampu melawan takdirnya tapi setidaknya kita pernah berusaha, walau hanya berakhir dengan kekalahan" Jenggala hanya diam saja mendengar ucapan bunda, suara bunda yang merdu dengan kata-kata penguat di balik bunga dandelion rasanya begitu tenang, walaupun kata-katanya terkesan sederhana

"Arsen"

"Iya bun"

"Bahagia itu memang penting Arsen apalagi bisa membuat orang di sekitar juga bahagia, tapi nggak selamanya kebahagiaan orang itu baik untuk kita" Jenggala hanya tersenyum bersama anggukan di kepalanya, ia akan terus mengingat kata-kata itu sampai semesta memberikan titik terakhirnya. Karena mungkin kedepannya nanti Jenggala akan sangat membutuhkan kata-kata penenangan yang jauh lebih panjang, ia tidak pernah tau kapan titik menyerahnya atau seperti apa ia menyerah nantinya, karena yang Jenggala tau saat ini hanya jalani saja hidup sampai ia merasa lelah pada kejamnya dunia

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Aug 26 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

DandelionTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang