Pelawak (HoH - extra)

1 0 0
                                    

 
    Tanpa ambisi, tidak bertenaga, mudah menyerah, pemalas, tukang melamun, mata sayu, kurus, tidak terurus, dan banyak lagi. Pria hidup tak niat mati enggan yang pertama kutemui. Tatapan kosong di mana dan kapan pun. Bukan pendiam, memang bicara saja malas. Bukan gelandangan, memang mandi saja tak mau.
    Menyedihkan.
    Lawanku di babak tiga puluh dua besar, di pertandingan HoH. Hope of Heroes, ajang pertarungan terbesar sejagat semesta. Bernama Odin. Yang kemudian aku tahu, bahwa partisipasinya di arena bukan hasil seleksi, melainkan koneksi dengan developer.
    Waktu itu sulit bagiku mendapatkan informasi mengenai Odin. Riwayat pertandingan nihil, kemampuan pun kelemahannya tidak ada yang tahu. Kenalanku yang merupakan petarung veteran HoH pun tak tahu menahu tentang pria jangkung ini.
    Aku memaksimalkan kewaspadaan, memasang kuda-kuda bertahan, bahkan sebelum lonceng pertandingan dibunyikan. Setidaknya sekian menit kemudian, Odin sedikit pun tidak bergerak, apalagi bergeser. Aku tetap bertahan, bukan tipeku menyerang duluan. Jangan ambil risiko.
    Beberapa penonton yang awalnya serius menyaksikan kami mulai pergi, kecewa. Meninggalkan cibiran serta tatapan cemooh atas betapa tidak bermutunya pertarungan kami. Ya, ya benar. Dari ratusan petarung yang aku lawan, baru kali ini aku benar-benar merasa dibodohi.
    Berhenti berpikir atau mengkhawatirkan apa, aku berlari maju. Mengepalkan tinju untuk Odin yang masih tak tampak merespon. Sendi kakiku bersiap melompat mundur, jika-jika muncul serangan tak terduga. Meskipun kemudian bersyukur pukulanku setengah tenaga. Sebab rasa bersalah lalu menghampiri.
    Odin terpental jauh. Tengah wajahnya seketika biru lebam. Aku yakin tulang hidungnya patah, banyak darah keluar dari sana. Sebentar meringis kesakitan, lalu pingsan di tempat.
    Baru saja, aku menghantam orang awam. Laki-laki biasa. Orang biasa.
    "Halo." Salamku setelah setengah hari kemudian Odin terbangun di ruang medis. "Maaf. Aku tidak tahu kalau kau bukan petarung."
    "Tidak apa. Salahku, aku pikir akan menang mudah."
    Tunggu. Bagaimana seorang tanpa kemampuan bela diri, yang dipukul setengah tenaga saja remuk, berharap memenangkan ajang pertarungan bergensi dan elit?
    Pria ini pelawak.
    "Pukulanmu sangat keras. Kau pasti menjuarai pertandingan."
    "Maaf untuk itu. Dan sepertinya mustahil aku menang, banyak petarung kuat yang ikut. Aku hanya ingin mencari pengalaman tahun ini." Para petarung dengan kekuatan di luar batas nalar, dan kemampuan yang tidak terikat hukum alam. Para monster.
    HoH adalah pertandingan besar yang pesertanya diwajibkan siap mati. Begitu namamu masuk sebagai petarung, baik bertarung di Koloseum ataupun bukan, tidak ada hidup aman. Jika tidak mati di arena, maka di luar. Oleh lawanmu, atau orang-orang yang tidak suka atas kemenanganmu.
    Dan ya, justru salah bila aku merasa bersalah. Seharusnya dia tahu kekejaman HoH begitu memasuki arena. Beruntung lawan pertamanya adalah amatir sepertiku. Sebab nyatanya, beberapa petarung akan tetap membunuh lawannya, meski sudah kalah atau menyerah sekalipun.
    "Sebagai permintaan maaf, aku bisa mentraktir makan siang."
    "Baiklah. Terima kasih."
    Sungguh? Tanpa penolakan, mengiyakan tanpa basa-basi? Aku ralat, pria ini bukan pelawak. Tetapi, pelawak handal.
    Ah, aku benci diriku yang terlampau berhati lembut ini. Repot kalau bertemu orang yang tidak tahu malu, tidak sadar diri, terlebih yang bermuka polos nan bodoh seperti laki-laki tak berotak- hah, tenanglah aku, tidak sopan mengumpat atas orang yang lebih lemah.
    "Boleh tahu, dari mana asalmu?"
    "Aku pengelana."
    "Bagaimana kau bisa masuk seleksi HoH?" Ketat dan selektif, memilih berdasar kekuatan sekaligus ketenaran. Standar tinggi, berkelas, ajang bagi orang-orang yang dahsyatnya sudah terbukti. Bahkan aku tahu bahwa aku hanya serangga lemah di sini.
    "Temanku developer."
    Itu kali pertama aku sadar betapa idiotnya pria ini.
    Sejenak mengalami kejadian komedi tidak buruk juga. Makan siang selesai, berpisah dengan tuan pelawak, aku kembali ke realita pertarungan.
    Andromeda Gonza. Lawanku selanjutnya, di enam belas besar.
    Berasal dari salah satu negara di benua Alium, umur 30 tahun. 864 pertandingan resmi, 603 kali menang, 261 kali kalah. Ditambah pertandingan tak resmi berjumlah ribuan. Lawan dengan riwayat yang wajar di HoH. Tidak memiliki kekuatan psikis, atau ilmu hitam maupun putih. Masih manusia normal, yang berlatih mati-matian menguatkan fisik. Dibumbui kecerdasan dan jam terbang yang rutin, Gonza adalah juara tinju selama 10 tahun berturut-turut di negaranya.
    "Bisa berhadapan dengan Raja Tinju adalah suatu kehormatan bagiku." Salam kagumku, sebelum lonceng dipukul.
    "Pakai tinjumu dan jangan mulutmu, nona muda."
    Aku tersenyum. Beginilah suasana HoH yang seharusnya. Kejam, keji, aroma darah, api ambisi, mata amarah, niat membunuh.
    Buas.
    Baiklah, diriku. Bukan pilihan bagus untuk bertahan, segi fisik dan daya pukul jelas-jelas kalah. Keputusan terbaik adalah menyerang.
    "Aku Alla Laika. Kepada penjaga dunia bawah, Hidra. Kepada tonggak rasa sakit dan penderitaan, Algea. Biarkan daku menjadi penganut setia dari darahmu yang beracun," bisikku selirih mungkin. Mantra rahasia dari kekuatanku.
    Berlari maju, tanpa peduli pertahanan, aku fokus ke kelemahan Gonza, telinga sebelah kiri. Berbalik dan memutar tubuh, tanpa gerakan tipuan, kakiku sekuat tenaga menendang ke telinga kirinya. Dasar petarung veteran, kakiku dengan mudah ditahan, ditangkap. Sedang tangan kanannya sudah berjarak satu milimeter ke kepalaku.
    Sesuai dugaan. Hantaman dari petinju kelas dunia rasanya begitu nikmat.
    Mengabaikan rasa pusing, kembali melesat maju. Jelas sempoyongan. Kali ini diawali gerakan tipuan, hantaman ke tenggorokannya. Begitu ditangkis, tanganku yang satu lurus mencoba menusuk telinganya. Gonza menghindar, melangkah mundur, sembari menarik lenganku yang entah kapan dia cengkeram. Membawaku ke arahnya dengan kepalan tangan siap menyapa perutku.
    Mual tak terkira. Membuatku berpikir lebih baik menyerah. Tetapi, tidak. Justru ini baru awal. Pertandingan yang sebenarnya baru dimulai. Ya, ketika seonggok darah termuntahkan dari mulutku, memberi warna merah cerah di tangan Gonza. Inilah seranganku.
    Sekuat tenaga melompat mundur, nyeri di perut menyebar ke setiap ujung tubuh. Sial, jangankan berdiri tegak, bernafas saja tersendat.
    Tak apa. Aku hanya perlu menahan kesadaran selama beberapa detik lagi. Atau paling lama beberapa menit. Senjataku sudah berada di sasaran. Dan daripada mengulur waktu dengan permainan fisik, aku lebih memilih beradu mulut.
    "Hei Tuan Gonza, sepertinya ini terlalu berat untuk petarung pemula sepertiku. Setidaknya biarkan tenagaku kembali, toh anak buah anda tidak memberiku waktu istirahat sejak pagi."
    "Aku bilang pakai tinjumu. Dan jangan samakan aku dengan orang kotor yang suka bermain di belakang. Jangan gunakan mulutmu untuk menyerang reputasiku, nona."
    Gonza melangkah maju, membuatku hanya berharap pada waktu. Aku benci tipe otot yang tidak mau diajak bicara. Beruntung, langkahnya kemudian terhenti. Mencengkeram dadanya, sembari mengerang kesakitan, sembari menahan rasa sakit.
    Kekuatanku, rasa sakit dan penderitaan.
    Tidak lama hingga Gonza ambruk. Tak sadarkan diri, dinyatakan pingsan. Sebab saat ini hanya aku yang tahu, bahwa Gonza, mati.
    Seorang tak dikenal, dengan kekuatan tak diketahui, membunuh Andromeda Gonza dengan cara yang tidak terdeteksi. Aku yakin obrolan orang-orang nanti hanya akan semacam itu. Obrolan yang akan terus dibicarakan hingga aku memenangkan pertandingan ini.
    Hasil pertarungan diumumkan. Nama Alla Laika disuarakan nyaring. Baru setelahnya, aku melepas kesadaran, membiarkan diri ikut pingsan. Nyeri dan pilu di tubuhku semakin menjadi-jadi.
    Selanjutnya adalah kelengahanku. Yang aku katakan sebelumnya, begitu memasuki arena, tiada hidup aman. Dan sayangnya, saat ini aku di posisi tidak aman.
    Begitu terbangun, bukannya di ruang medis resmi, alih-alih di sebuah gudang. Tangan terikat, kaki terikat, tubuh dirantai ke tiang besi. Sejumlah orang berdiri, berjongkok, dan beberapa duduk di kursi, kesemuanya memandangiku seolah boneka mainan.
    Sial. Preman cecunguk yang kuatnya keroyokan. Pun sejak pagi mereka mengintaiku diam-diam. Mungkin mencari informasi tentangku, tapi pastinya mereka tidak mendapat info apa-apa. Kekuatanku tersembunyi. Tadinya sengaja aku abaikan, akan sangat repot mengurusi mereka. Lebih efektif kalau langsung ke pimpinannya bukan?
    "Aku pikir Gonza bukan orang yang main belakang, ternyata sama saja." Cibirku membuang ludah.
    "Gonza? Sepertinya kau salah paham, jalang." Dari balik para preman jalanan, sebuah suara muncul. Suara yang tak asing, begitu juga dengan wajahnya.
    Zigfrids. Petarung semi final tahun lalu. Salah satu petarung yang pasti membunuh lawannya.Namun bukan dia yang menjadi puncak ketakutan saat ini, melainkan bos-nya. Zigfrids hanyalah tangan kanan.
    "Mumpung lidahmu masih utuh, katakan, dimana Tuan Rex."
    Ya, itu dia. Rex, Raja dari para Raja. Pemenang HoH tahun lalu. Yang entah mengapa, tahun ini tidak muncul.
    "Mana aku tahu, dungu! Kalaupun tahu sudah pasti aku akan menjauhinya!" Tidak ada mangsa yang rela hati datang ke rumah predatornya.
    Sial. Sial. Sial! Aku memang siap mati. Tetapi di arena, di Koloseum. Bukan di tempat seperti ini, bukan oleh orang seperti ini, bukan ditonton dengan cara seperti ini. Apalagi untuk disiksa habis-habisan, aku belum siap.
    Membuka paksa mulutku, rahangku tidak cukup kuat untuk tetap mengatup. Kuku jari Zigfrids kuat mencubit lidahku, menariknya paksa keluar. Gigitan gigiku tidak berdampak, meninggalkan bekas di kulit jarinya pun tidak.
    Monster tidak pernah bermain-main. Terbukti pada pisau yang Zigfrids atungkan.
    Aku bilang apa, aku hanya serangga lemah di sini. Percayalah, rasanya benar-benar sakit ketika lidahmu dibelah dua. Aku pernah mengalaminya. Barusan.
    Masih dengan pisau yang sama, sebuah tusukan di dada. Sengaja dijauhkan dari organ vital, agar tidak langsung mati. Tidak ingin hiburan mereka cepat padam.
    "Kau menangis, tetapi tidak menjerit. Ayolah, belum pernah aku dengar jeritan dari wanita tanpa lidah." Ucapan Zigfrids meledakkan tawa, tawa mereka, juga tawaku.
    Tiada kegiatan lain bagi seorang sekarat, kecuali ikut tertawa dan sabar menunggu ajalnya.
    Aku hanya berharap, remang gudang ini mau menjadi saksi, bahwa Alla Laika pernah hidup, pernah berjuang, dan pernah menyerah di sini. Remang yang seketika menjadi gelap.
    Gelap gulita, kelam hitam, menjadikanku serasa buta. Lebih gelap dari malam, lebih gelap dari mata yang terpejam.
    Seolah adalah kegelapan itu sendiri.
    Masih terasa hawa keberadaan Zigfrids di depanku, juga beberapa preman di sekitarku. Yang ajaibnya, bersama kegelapan yang datang, suara mereka tidak terdengar. Aneh bila mereka tidak rusuh, panik, gempar, atau apalah itu.
    "Halo. Aku belum berterima kasih untuk makan siang tadi."
    Perlahan cahaya kembali. Menampakkan sosok baru di hadapanku. Odin.
    Pemandangan merah mawar terlukis di seluruh ruangan. Mengalirkan air kental yang derasnya menyamai Sungai Merah. Namun di antara semua pemandangan indah ini, pandangku tertuju ke wajah Zigfrids. Wajah penuh dosa yang tak lagi menyatu dengan tubuhnya. Tergeletak, melotot di lantai.
    Pahlawan datang?
    Ya, si pahlawan pelawak datang. Tuan pelawak handal.
   
____
   
   

Pelawak (HoH - extra)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang