Malam ini, kurasa debaran - debaran yang ambigu. Suara perbincangan dua orang di ruang tamu menggema sampai di kamarku, menambah suasa hatiku tak menentu.
Hari setelah aku mantap menerima lamaran Mas Khalid untuk menjadi pendampingku, keluarga dari pihak Mas Khalid mengusulkan pernikahan harus dipercepat mengingat statusku seorang janda yang ditinggal mati oleh suami. Dimana status janda di kampung terlihat begitu tabu. Setelah menentukan hari pernikahan yang begitu alot, kedua pihak keluarga akhirnya saling setuju.
"Cie Mbak Mira, yang bentar lagi pakai baju pengantin lagi. Eakk.. Dipanggil Ibu itu loh ke ruang tamu." Lila dengan cengiran khasnya muncul di ambang pintu kamar. Benar- benar ya, kelauan adik tengilku, senang sekali godain Embaknya. Untuk sayang. Tak taukah dia kalau Embaknya sibuk menormalkan detak jantung dari tadi.
"Sudah siap Mir?" Pertanyaan dari Tante Liana, ibu dari Mas Khalid menyambut kedatanganku di ruang tamu.
"Sudah Tante."
"Eh, jangan panggil tante Mir. Panggil saja Bunda, bentar lagi kan jadi anak perempuan bunda."
"Ia Taaa...n. Em, ia Bun."
"Nah, gitu dong. Yaudah Bu Yura, aku ijin ngajak nak Mira keluar malam-malam."
"Silahkan, Mbk Lin. Aku titip salam ke nak Khalid, maaf tidak sempat mengunjungi ketika Akhirulsunnah di pondok."
"Tenang aja Mbk. Yang penting ada calon istri datang."
"Hahaha,"
''''
Sejurus kemudian, mobil yang kami tumpangi melesat membelah jalanan alun - alun Grati. Melewati beberapa warung angkringan dipinggir jalan. Perjalanan diiringi lagu Tulus, hati- hati di jalan, membuat atmosfer di dalam mobil begitu hening.Lelaki yang biasanya disapa Cak Qodier oleh Bunda menghentikan mobil di depan rumah warga. Bunda menarik pergelangan tanganku menebus keramaian orang - orang bertransaksi jualan. Suara musik hadroh menggema disepanjang penjuru. Sepanjang jalan menuju gerbang pondok dihiasai oleh para penjual beraneka ragam, mulai aksesoris, fashion, dan segala macam buah tangan.
Pesantren Miftahul Ulum Salaffiyah bukan hanya sebagai pondok tempat tugas bagi Mas Khalid. Tetapi, pondok Salaffiyah dijadikan tempat pilihan Mas Khalid untuk mengabdi selama tiga tahun ini, tentu setelah lulus dari pondok Sidogiri.
Dhalem Gus Ali terletak di samping kanan Mushola santri putra. Yang mana setiap tamu sowan ke dhalem beliau pasti dimanjakan oleh kegiatan rutinitas santri mengaji dan menunaikan ibadah.
Aku tak pernah menyangka, setelah satu tahun menjanda bakal menikah lagi dan parahnya calon mempelai laki - laki itu adalah sahabat dekat almarhumah suamiku. Dan sekarang aku menghadiri akhirulssanah di pondok pengapdiannya. Padahal, jarak pondok dia dan rumahku tak begitu jauh, bisa ditempuh puluhan menit.
Degup jantungku mulai berpacu ketika sekelabat melihat peragai Mas Khalid berjalan dari samping dhalem Gus Ali bersama dua lelaki sepantarannya. Mereka menghentikan langkah ketika lelaki bersarung hijau berdehem memberi kode untuk berpaling kearah dhalem lewat jendela.
Nunduk, Mir! Sembunyi? Otakku memyeruak instruksi. Sayangnya, kepala dan mata tak bisa diajak kompromi. Ia malah terpaku. Padahal, menatap yang bukan mahrom adalah salah satu bentuk zina mata.
Pesona lelaki tatapan teduh ini tak bisa elakkan lagi. Dikaruniakan keindahan fisik di atas rata rata. Dengan wajah ke timur tengahan, hidung bengir, bibir ranum semerah tomat mampu membuat orang dibius oleh ketampanannya.
Selepah dari aksi tatapan kilat, aku meminta izin ke Bunda untuk pergi ke belakang, alias kamar kecil.
Bu Nyai memerintah para khodimah untuk mengatarkanku ke kamar kecil. Aku berjalan dengan lutut menekuk melewati para tamu dan Bu Nyai. Sampai di ruang tengah aku berjalan berdiri dengan Mbk khodimah berada di belakangku.
"Mbak, sampai disini saja. Tolong tunjukkan dimana arah kamar kecilnya."
Awalnya mbk khodimah tidak sejutu dengan peritahku, mengingat titah bu Nyai itu amanah. Tetapi, aku memaksa dan meyakinkah bahwa aku ingin mencari udara segar. Dengan berat hati mbk khodimah menyutui lalu menunjukan arah ke kamar mandi.
"Ning jalan terus aja, melewati perpustakaan, terus belok kanan, begitu tiba di pertigaan, belok kiri. " Ucap Mbak Khodimah.
Aku melangkah dari ruang tengah, melewati beberapa para khodimah yang tersenyum ramah.
Entah apa yang kulamunkan membuat salah mengambil langkah. Napasku memburu ketika menemukan pintu besar dengan ukiran kayu jati yang sedikit terbuka. Tiba tiba rasa penasaraku menggerogoti pikiran. Pelan tapi pasti aku melangkah menuju pintu.
"Bukan kah, dulu kakak menaruh rasa padaku?"
Samar samar aku mendengar suara perempuan berbicara.
"Kenapa sekarang kakak menolak perasanku."
"Kenapa Kak..???"
"Apakah karena perempuan dengan status janda itu, membuat kakak berpaling dariku."
Deg
Di dalam ruangan itu kulihat hanya ada dua manusia berdiri di sana. Seorang lelaki berdiri membelakangiku dalam balutan baju batik seragam asatidz persis yang Mas Khalid kenakan tadi. Sarung warna hitam dan postur tubuhnya tak bisa dielakkan bahwa lelaki di depanku Mas Khalid. Tunanganku.
Mas Khalid terdiam. Nyata sekali kalau pernyataan dari perempuan bergamis maroon membuatnya tak bisa berkutip. Punggungnya tertunduk kebawah. Kepalanya mendongak ke depan, melihat perempuannya berlinangan air mata. Rahangnya mengeras, lalu berkata, "Nduk jangan nangis!"
Perempuan yang tak kutau namanya semakin terisak-isak tak kala Mas Khalid mengatakan begitu.
Seharusnya kata - kata seperti itu hanya untukku.
Aku segera lesap, melangkah mundur ke balik tembok dan tanpa sengaja aku menjatuhkan figura. Tanpa memungguti serpihan pecahan figura aku segera berlari mencari toilet tempat teraman untuk menumpahkan gelisah.
Haruskah aku mengalah.
Aku usap air mata dan keluar dari kamar mandi ketika ada yang mengedor pintu. Tak kala dibuka, terpampanglah wajah kekhawatiran Bunda. Beliau langsung memelukku dan mempertanyakan alasan lama di kamar mandi. Lalu aku mengatakan kalau tadi tersesat setelah meminta mbk khodimah diantar sampai di ruang tamu menggingat aku ingin lihat di sekitar pondok. Untungnya Bunda percaya dengan alasanku, beliau langsung mencubit kedua pipiku dengan gemas.
KAMU SEDANG MEMBACA
Jodoh Kedua Mira
Teen FictionAmira Ayu, seorang janda yang ditinggal suaminya meninggal selepas 7 bulan menikah dan memberikan wasiat tentang seorang suami buat Amira. Lelaki tersebut tak lain, sahabat karib Khalid ketika berada di pondok. Akan kah, Amira menerima wasiat Khalid...