-LEEN-

27 4 9
                                    


Selamat membaca!


Rasanya sudah lama, mungkin sepuluh menit, atau dua puluh menit, atau tiga puluh menit, atau entah. Sepasang netra menatap nyalang pada ruang yang acapkali menyeretnya pada kesunyian panjang. Sebab  gaduh di dalam kepala tak mau mencumbu udara. Untuk sekadar merambatinya agar tercipta suara.

Irasnya tak lagi secerah kala mengamati riuh gemintang meramaikan angkasa. Surai hitam panjang dibiarkannya menjuntai menutupi semimik wajah pucat dengan gurat-gurat kekalutan yang cukup kentara.

Kertas-kertas bekas coretan lirik lagu yang sedang coba dibuatnya berserak di lantai. Sedang senar-senar gitarnya memilih menyerah dalam pangkuan. Terdiam, tanpa petikan melodi dari jemari lentik milik gadis itu, Leen.

Sedari dulu Leen menyukai musik, mungkin tepatnya musik adalah pelariannya ketika keadaan sedang tidak baik. Namun kini ia sedang tidak ingin diusik, oleh apapun, oleh siapapun. Dia hanya butuh sendirian untuk sementara waktu.

Mengusap wajahnya yang terlihat kacau. Leen menyingkirkan gitar di pangkuannya itu ke ruang kosong di sebelahnya. Dia kemudian beranjak dari sofa di kamarnya menuju balkon. Awan kelabu nampak menghiasi langit malam ini. Tak lama setelah Leen sampai pada tembok pembatas balkon, gerimis halus mulai turun.

Marah, sedih, kecewa, malu, benci, Leen tak tau pasti mana yang mendominasi perasaannya saat ini. Yang pasti, dia sudah merasa menjadi manusia paling menyedihkan sejak kejadian beberapa hari yang lalu. Ah, kejadian itu.

Leen mencoba kembali pada momen itu.

Jam istirahat pertama hari itu, Leen menghabiskannya di ruang musik. Berdiskusi dengan teman-teman satu ekskulnya sebentar, lalu melatih vokalnya dengan lagu yang baru ia hafalkan. Menjadi anggota ekskul musik kurang lebih selama satu semester, dia sudah berteman baik dengan seorang cowok dari kelas lain.

Cowok baik yang tak segan tidur sedikit larut hanya untuk menemani Leen mengamati langit malam. Cowok baik yang selalu sabar mengajari Leen berlatih vokal. Cowok baik yang tak banyak protes ketika Leen meminta bantuan.

"Kenapa sih, Leen? Mukamu kayak yang lagi nyembunyiin sesuatu gitu, atau, ada yang pengin kamu bilang ke aku tapi kamu ragu?" Tanya Liam, teman Leen, sembari menghentikan kegiatannya menekan-nekan tuts piano. Ruang musik kembali sepi setelah diskusi tadi selesai. Dan hanya menyisakan mereka berdua saja di sana.

Leen yang duduk tak jauh dari cowok itu berdeham canggung. Menyadari ketidakfokusannya, dia lantas meminta maaf.

"Sebenernya aku lagi deg-degan banget," Leen menyentuhkan sebelah tangannya ke dada kiri. Senyumnya mengembang perlahan.

"Akhirnya hari yang aku tunggu tiba. Pengumuman seleksi anggota Mading bakal diumumin sebentar lagi. Semisal aku diterima, puisiku akan dipajang di mading, lalu dibaca banyak orang. Rasanya pasti super happy!" Leen hampir berteriak di kalimat terakhir saking senangnya.

Ketika mendengar ekskul Mading mencari anggota baru. Leen dengan semangatnya mendaftarkan diri. Kemudian melaksanakan syarat-syarat yang ditentukan itu tanpa mengeluh sama sekali. Salah satu syarat yang diberikan adalah membuat puisi, yang sebelumnya sudah Leen kumpulkan. Dan dia sangat berharap puisi itu berakhir di mading bersama puisi-puisi yang lain.

"Ekspektasimu terlalu tinggi," ada nada sinis disana. "Yakin banget bakal diterima?"

Leen tertegun mendengarnya.

"Kamu yang tiba-tiba ikut daftar ekskul lain itu bikin aku bingung. Apa musik nggak cukup buatmu?" Liam menyorot mata Leen dengan jengah. "Atau jangan-jangan kamu masuk ekskul yang itu cuma biar bisa deket sama Rei? Cowok badung yang kamu suka itu, bener?"

Supaya dekat dengan Rei katanya? Tidak. Leen bahkan tak pernah berpikir sampai sana. Selain menyukai musik sebagai pelariannya, dia juga suka menulis untuk mencurahkan isi hatinya. Bergabung dengan anak-anak Mading dimaksudkannya untuk ajang pengembangan tulisan-tulisannya. Dan kenapa Liam mendadak seperti merendahkan kemampuannya?

"Nggak, Liam! Aku berani daftar murni karna aku suka nulis, bukan seperti yang Liam bilang. Musik udah lebih dari cukup, tapi-,"

"Lalu kenapa nggak disini aja, nyanyi, main musik sama aku, sama yang lain."  Liam memotong ucapan Leen.

"Kenapa sih Liam nggak terima kalau aku masuk ekskul Mading? Cuma karena ada Kak Rei di sana dan itu buat kamu marah? Kamu masih punya dendam ke dia soal berita waktu itu?" Berita tentang Liam yang merokok di gudang sekolah membuat perseteruan di antara dia dan Rei.

"Enggak!"

"Terus kenapa? Kamu boleh benci seseorang, tapi kamu nggak bisa nyuruh aku buat membenci orang yang kamu benci juga!"

Liam boleh saja membenci Rei karena masalah mereka dulu. Tapi Liam tak boleh seenaknya menyuruh Leen untuk menjauhi apalagi membenci Rei, kan? Itu tidak adil.

Leen berniat meninggalkan Liam yang terdiam dengan wajah memerah. Dia tak tahu alasan yang sebenarnya kenapa Liam seperti tak suka dirinya masuk ekskul Mading. Kenapa Liam marah? Kenapa Liam bisa menuduh dengan begitu mudah?

Pintu ruang musik dibuka dari luar sebelum Leen sempat meraih gagangnya. Kepala seorang cowok berambut cepak menyembul dari sana, terlihat sedang mencari seseorang. Leen mengenalinya, dia adalah orang yang menjadi  bahan perdebatannya dengan Liam barusan. Dia Rei, ketua ekskul Mading.

Melihat orang itu Leen kembali merasa deg-degan. Rasa kesalnnya terhadap Liam menguar. Dia menduga-duga banyak hal.

Ada apa ya Kak Rei sampai mencariku?

Rei yang sudah menemukan orang yang dicarinya lantas memberitahukan maksud kedatangannya. Dan ya, Leen diterima ekskul Mading! Dia tanpa sadar bersorak senang. Lalu menyampaikan rasa terima kasih ketika Rei memberinya selamat.

"Nah, saya udah bawa puisi buatan kamu yang akan ditempel di mading. Saya cuma mau bilang ke kamu, kalau mulai sekarang puisi ini udah bisa dipajang." Rei menyodorkan segulung kertas yang dibawanya. Leen mengambilnya dengan wajah berseri dan antusias tinggi. Tak ada yang lebih menyenangkan dari usahamu yang mendapatkan hasil!

"Ini mau ditempel sekarang, kak?" Rei mengangguk. "Waah ... makasih banyak kak, aku senang maksimal!"

"Yaudah, saya pamit mau tempel ini dulu ya?"

Leen yang hendak mengangguk jadi urung ketika Liam yang datang dari arah belakangnya merebut paksa kertas itu. "Leen mengundurkan diri!" lalu suara robekan kertas berbunyi nyaring.

Marah! Leen marah sampai-sampai dia menangis. Cowok baik itu melukainya. Cowok baik itu menyakitinya. Ingatkan Leen untuk tidak menyebutkan 'cowok baik' lagi lain kali. Karena Liam sudah tidak pantas, bukan?

Leen terhenyak, dia tersadar dari lamunan ketika hujan turun semakin deras dan membasahi tubuhnya. Sakit. Dia kembali menangis untuk yang kesekian kalinya. Dengan alasan yang sama. Dia merasa sedih diperlakukan buruk oleh seseorang.

Dalam kepala, Leen mempertanyakan beberapa hal. Kenapa Liam bisa setega itu menghancurkan karyanya? Puisi itu, untuk membuatnya saja Leen harus menyetel perasaannya sedemikian rupa agar mendapatkan feel (rasa). Liam mana tahu. Cowok itu! Leen ingin sekali meneriakinya dengan kata paling kasar se-planet ini kalau mau. Menyebutnya ratusan kali jika perlu. Tapi Leen tidak ingin mulutnya kotor oleh kata-kata sampah. Hah!

Jadi beberapa hari ini dia menghindari cowok itu. Tidak bertegur sapa atau berlatih di ruang musik seperti biasa. Mengabaikan pesan-pesan yang Liam kirim juga menolak panggilan telepon. Dia masih kecewa. Teramat kecewa.

Apakah Leen sudah memaafkannya? Tentu. Tapi untuk kembali menemui cowok itu lagi, Leen masih butuh waktu. 


Selesai.

Tanpa Warna (Cerpen) Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang