Hari ini adalah hari yang ditunggu Lan Zhan setiap bulannya, hari bersua dengan Ibunda. Tangan mungil bocah itu menggenggam perkamen kecil, jalannya cepat teratur, tetapi dadanya menggebu-gebu seperti genderang perang. Kakak laki-lakinya, Lan Huan, sudah menunggu di depan ruang Kepala Sekte untuk meminta ijin kepada Ayahanda.
Usai meminta ijin mereka bergegas menuju Rumah Gentian. Tempat terasing yang dipenuhi perdu berbunga biru itu tak ubahnya kuil bagi kedua bocah Lan. Ada kedamaian yang menanti. Lan Huan mengetuk pintu. Tak lama sebuah wajah cantik nan enerjik mendongak dari balik celah, betapa bahagianya mereka bertiga berpelukan bersama. Mereka bermain permainan ala Relung Awan, permainan yang tidak berisik atau menimbulkan kegaduhan.
"Ah, padahal Ibu ingin bermain petak umpet dengan kalian," keluh Madam Lan sambil menggoyangkan wayang kupu-kupu di depan lentera kotak. Lan Zhan segera mendekap Ibunda, bermanja-manja dalam pelukannya.
"A Zhan beltemu Ibunda saja sudah senang," ucap Lan Zhan khas anak-anak. Madam Lan balas memeluknya erat, tangan kirinya terentang mengajak Lan Huan ikut dalam pelukan.
Lan Huan yang hari itu berusia tujuh tahun menceritakan kegiatannya di sekolah juga soal murid sekte tamu yang saling berkelahi. Madam Lan tertawa karena Lan Huan senang dengan keributan seperti itu, bahkan katanya ia ingin ikut berkelahi. Mungkin ketenangan Relung Awan ini terlalu memekakkan jiwa kanak-kanaknya.
Kini giliran Lan Zhan. Hari ini dia memamerkan kemampuan membacanya yang baru saja dipuji oleh paman. Dia menggelar perkamen kecil di atas meja, sebuah manuskrip Buddha tentang Karma dan Samsara.
"Hendaklah manusia tidak belgembila dalam hal duniyawi," pungkas si putra kedua, diikuti helaan napas tanda lelah.
Lan Zhan bertanya pada Ibunda, "Ibunda. Apa itu Samsala?"
Sang Ibunda menjawab, "Samsara artinya kelahiran kembali."
"Jadi kita setelah mati telus nanti kita lahil kembali?"
"Kurang lebihnya seperti itu," balas Madam Lan, tak begitu yakin.
"Nanti A Zhan jadi anaknya Ibunda lagi?" Lan Zhan menatap dalam-dalam mata Ibunda.
"Ahaha, Ibu berharap seperti itu juga, nak." Madam Lan mengelus-elus ubun-ubun kedua putranya.
"Ngomong-ngomong, Ibu pernah merasakan bagaimana rasanya lahir kembali." Madam Lan bercerita dengan wajah sendu dan senyum tipis, menatap dalam netra emas leleh putra bungsunya.
"Ibunda ingat kehidupan Ibunda sebelumnya?" tanya Lan Huan. Madam Lan menggeleng pelan.
"Bukan lahir kembali seperti itu. Tapi, lahir kembali menjadi manusia yang utuh, manusia yang tidak terkekang emosi dan nafsu duniawi."
"Oh, ya? Kapan itu? Dan bagaimana rasanya?" cecar Lan Huan. Senyum Madam Lan melebar, ia merangkul kedua putranya erat, membenamkan hidung di atas pundak mungil secara bergantian.
"Saat Ibu melahirkan kalian berdua, rasanya Ibu juga terlahir kembali menjadi manusia yang bebas tanpa nestapa."
Lan Huan dan Lan Zhan tidak mengerti apa yang dimaksud Ibundanya saat itu. Namun, yang pasti mereka bertiga merasakan satu hal yang sama. Satu hal yang selalu ingin dirasakan untuk selama-lamanya. Kebahagiaan.
***
Kala itu, Lan Zhan berusia enam tahun. Keluarga intinya berkumpul tanpa kehadiran Ayahanda. Tampak raut tak mengenakkan dari para tetua dan juga paman kesayangan mereka, Lan Qiren. Beliau mendekat dan mengabarkan sesuatu.
"Kalian tak perlu lagi berkunjung ke Rumah Gentian. Ibunda kalian ... sudah tiada."
Lan Huan berusaha keras membendung isak tangis, Lan Zhan tak mengerti apa itu tiada. Ia masih saja menyambangi Rumah Gentian sebulan sekali. Menunggu pintu terbuka dan wajah yang dirindukannya menyapa bak pendaran sinar di waktu fajar usai malam mencekam. Namun, hingga larut, hingga ia tak sengaja tertidur di teras, pintu itu tak pernah terbuka.