Ada satu tempat favorit Zia di Gereja ini. Ruangan berbahan kayu jati dengan interior yang terbilang sedikit klasik. Warna asli dari jati nya di biar kan mengusang termakan waktu. Di dalam ruangan itu ada sebuah patung wanita cantik yang di percayai oleh agama Zia(Katholik). Di sudut kiri dan kanan ruangan terdapat dua jendela yang terbuka lebar , di setiap jendela nya di gantungi bunga anggrek berwarna ungu dan putih .
Tidak banyak yang masuk ke ruangan ini,hanya sebagain orang yang ingin tenang mengadu kepada TUHAN,termaksud Zia. Bangku favorit Zia berada di sisi kiri di dekat jendela,Zia biasa berdoa sambil menikmati hembusan angin dari jendela yang akan beradu manis dengan siulan burung-burung di gereja.
Tiga tahun yang lalu Zia tidak sengaja menemukan ruangan ini saat hendak menjemput ke dua anaknya di sekolah Minggu, yang kebetulan ruangannya terletak di samping ruangan Ibadah utama. Dan pada akhirnya selama tiga tahun Zia selalu mampir ke ruangan ini untuk berdoa dan sekedar mengeluh pada Tuhan nya_mungkin.
"Zia." Suara yang memanggilnya dengan lembut itu milik Edrea Pranadipa. Seorang wanita cantik yang Zia temui dua tahun yang lalu. Yang tidak sengaja duduk menangis tepat di bangku favorit Zia.
"Apa kabar kak?" Zia mengelus lembut tangan Rae, saat wanita itu menepuk pundaknya. Wanita itu ikut duduk di sampingnya sambil melipat ke dua tangannya dan melakukan hal yang sudah dua tahun mereka lakukan bersama di ruangan ini_Berdoa.
Zia tersenyum sekilas ,saat melirik ke arah Rae yang sudah menutup ke dua matanya. Wanita berdres hitam itu selalu bercerita tentang seseorang yang sampai detik ini tidak pernah Zia tahu namanya tapi Zia tahu ceritanya.
Luka yang coba Rae sembuh kan hanya tentang seseorang yang selalu Rae panggil dengan sebutan "si bodoh". Kenangan yang di tinggalkan begitu membekas di kehidupan Rae hingga setiap minggunya selalu ada cerita baru tentang sosok yang membuat Zia sangat penasaran seperti apakah rupanya. Dari cara Rae bercerita seakan menjelaskan ada rindu yang ia balut dengan cinta untuk sosok yang selalu ia tangisi di setiap minggunya.
Dulu tepat di bulan ke enam Zia mengenal sosok Rae ,ia memberanikan diri untuk bertanya tentang sosok yang selalu Rae cerita kan kepada nya,"si bodoh ini cowok kak?" Tanpa mau membuat Rae tersinggung Zia bertanya dengan nada sedikit bercanda. Wanita cantik itu hanya mengangguk dan tersenyum sambil tersipu malu.
"Dia tunangan kakak." Zia menelan ludahnya dengan pelan ,ada rasa bersalah di tatapan Zia saat mata mereka bertemu. Binar di mata Rae saat mengucap kata tunangan membuat Zia yakin ,cinta mereka belum benar-benar usai.
"Sudah sangat jauh Zi,tapi hatinya terlalu rapuh untuk menerima kenyataan dan akhirnya memilih untuk pergi." Pergi yang Rae maksud adalah perpisahan yang belum pasti dan masih ragu-ragu,"kalau dia mau percaya, mungkin dia bisa melewati ini semua bersama kakak." Senyum getir dari bibir Rae membuat hati kecil Zia tersakiti.
"Kakak gak pernah coba buat cari dia?" Diamnya Rae membuat Zia mengerti , mencarinya mungkin salah satu usaha terberat yang sudah Rae coba berkali-kali.
"Gimana kak,ada kabar dari "si bodoh"?" Dan hari ini Zia coba kembali bertanya apakah penantian Rae sudah berakhir? ,Gelengan pelan yang Rae sertai dengan senyum mungkin cukup untuk menjawab pertanyaan Zia. Untuk kesekian kalinya Zia meraih tubuh itu untuk ia dekap," semoga penantian kakak benar-benar ada hasilnya", penguat berupa kata-kata juga kali ini Zia ucapan kan tepat di dekat telinga Rae. Bahu Zia terasa basah lagi ,tanganya mengusap pelan lagi bahu yang kini sudah sedikit bergetar.
Suara tangisan yang terdengar samar-samar membuat langka kaki dari sosok yang hendak masuk terhenti begitu saja. Pandangan nya berhenti tepat di sebuah bangku yang di duduki oleh dua orang wanita yang saling berpelukan. Ia mengedarkan pandangannya keluar ruangan barangkali ia dapat mengetahui ruangan apa yang kini sedang ia pijak. Karena tidak mendapatkan jawaban Rendra pun segera pergi dan mencari tempat yang tadi hendak ia tuju.
KAMU SEDANG MEMBACA
Dua Soreku |NCT 18+
RomanceWangi sore sudah tertelan oleh pahitnya kehidupan ,aku bahkan sudah lupa kapan terakhir kali aku benar-benar menikmati sore ku. Sore ku kini hanya tentang keringat yang aku curahkan untuk menimbun kelayakan akan masa depan anak-anak ku. Tidak,tidak...