1

20 1 0
                                    

Banyak hal yang dapat dipercayai seseorang untuk menentukan cinta dalam kehidupannya terlebih untuk bagian pasangan. Tidak sedikit orang yang percaya bahwa jodoh ada di tangan Tuhan, ada juga orang yang yakin dengan kecocokan zodiak bahkan orang jawa zaman dulu juga percaya jika seseorang akan menikah kita harus lihat dar perhitungan weton. Ini semua tergantung dengan sudut pandang seseorang terhadap orang lain yang dia percaya sebagai jodohnya, begitu pula cerita ini. Ini tentang sudut pandangku yang percaya bahwa semua orang akan mendapatkan jodoh yang terbaik, entah itu dari orang tua, lingkungan atau yang paling banyak dicari adalah cinta. Hingga suatu hal merubah sudut pandangku mengenai semuanya.

Aku bukan orang percaya dengan adanya cinta, yang aku percaya adalah semua oarng punya porsi topiknya masing-masing. Pacar, menikah atau memiliki seorang anak saja tidak pernah ada dalam rencana ku atau bahkan sekedar terlindas di pikiranku. Ketika seseorang yang mendapatkan begitu banyak cinta saja tidak dapat menjelaskan bagaimana rasanya cinta, lalu seperti apa itu cinta? Apa ia membahagiakan atau malah membuat kesengsaraan? Kata orang cinta itu manis dan membuatmu melupakan segala kesedihan mu, beli saja es krim kalo begitu. Ia juga manis dan membuatmu melupakan segala kesedihanmu ditambah ia dingin dan bisa ditambah dengan topping. Sesederhana itu yang selalu aku pikirkan. Jika benar cinta itu nyata, mungkin aku tidak akan berteman baik dengannya. lihat saja kehidupanku sungguh membosankan. Banyak hal yang harus aku lakukan, tapi tidak satupun yang membuatku bahagia ataupun membuatku sedih. Semua monoton, aku harap aku bisa membangun pabrik eskrim dimasa depan. Haha. Hayalku sudah diambang batas, aku harap aku bisa segera tidur untuk melupakan segalanya. Segala hal yang membuatku sengsara, aku benci mengatakannya tapi mari kita mulai bagaimana aku menjalani kehidupan ini.

Panggil saja aku Nat, aku memiliki 4 kaka laki-laki dan 13 adik. Jika hal yang terlintas di kepala adalah ayahku rajin, maka lupakan. Lagi pula bagaimana seseorang yang sudah lama mati bisa menjadi seseorang yang rajin. Aku saja yang sudah 15 tahun tidak pernah mengenalnya, bahkan untuk mendengar suaranya saja tidak. Bahkan hal terakhir yang ibu ceritakan tentang ayah adalah bagaimana ia sangat terlihat tampan dengan setelan jas dan koper disaat meninggalkan ibu yang tengah mengandungku 2 bulan. Ayah macam apa yang tega meninggalkan putrinya bahkan saat putrinya belum lahir ke dunia. Ngomong-ngomong tetang ibuku, apa ia lelah telah melahirkan 18 orang anak? Aku rasa tidak.

Sialan, sekarang aku ingat seperti apa rupa ibuku yang membuatku merinding. Bagaimana tidak, hal terakhir yang aku ingat adalah bagaimana cara ia tertidur di rumah lebih tepatnya di ruang tengah, mukanya sangat cantik sebelum air keras disiram padanya. Aku lebih suka ibu memakai daster seperti biasanya dibandingkan dengan kain kafan. Sejak saat itu aku benci bagaimana bau kamper, aku juga mulai membenci warna kuning. Aku mulai benci bagaimana cara orang menatap kasihan padaku. Aku benci semuanya. Aku dipindahkan ke sebuah panti asuhan dan bertemu kaka dan adik baruku. Jika ada yang bertanya kenapa aku tidak tinggal di rumah saudara ya karena tidak ada satupun saudara yang datang, bahkan hingga jenazah ibu dimakamkan tidak ada yang datang menjemputku. Sungguh bodoh, apa yang aku harapkan? Apa aku berharap ada seseorang yang akan datang dan memelukku seraya berkata "aku sudah disini, kamu tidak akan sendiri Nat, ada aku. Tidak apa ibu sudah lebih baik, ia tidak lagi sakit sekarang" Bodoh. Aku rasa tidak ada gunanya lagi aku berharap pada manusia, sudah jelas bahwa memang tidak ada yang menginginkanku walau aku hanya sebatang kara, jawaban sederhana yang aku dapatkan dari sini adalah aku tidak akan berguna bagi siapapun.

Aku bertemu banyak orang di panti asuhan, seperti yang telah ku jelaskan bahwa ada 4 orang laki-laki yang lebih tua yang mewajibkan aku memanggil mereka semua abang. Jangan lupakan 13 adik manis yang menyambutku dengan senyuman yang merekah dan si bayi yang masih terlelap digendongan ibu panti yang sedang berdiri di tangga ikut menyambut kedatangku kesini. Sekali lagi, aku beci ini. Aku benci keramaian, aku benci dimana aku harus memulai semuanya dan bertemu dengan orang baru. Ini diperburuk dengan aku yang diharuskan pindah sekolah ke tempat yang lebih dekat dengan panti asuhan. Aku benci ini, mereka mulai mendekatiku dan berbicara padaku. Aku benci ini. Beruntungnya aku, ibu panti memanggilku dan menunjukan dimana letak kamarku. Kamarnya tak begitu luas, mungkin sekiat 3x3m dengan lemari kayu disudut ruangan dan kasur single bed disampingnya. Diujung lainnya terdapat meja belajar dan kursi. Yang terlintas di dalam pikiranku adalah tidak buruk untuk tinggal di panti. Aku menaruh tas yang berisi buku pelajaran dan beberapa potong pakaian dengan seragam. Tidak banyak memang, lagi pula aku tidak tahu apa yang akan panti sediakan untukku. Jadi aku hanya membawa barang yang aku butuhkan. Aku berbalik dan mengatakan terimakasih kepada ibu panti. Ibu hanya menyuruhku beristirahat dan memanggilnya dengan sebutan mamah Leo. Aku menggangapnya sebagai perkenalan, sekarang yang aku harapkan adalah bagaimana aku menghindari sesi perkenalan dengan anak yang lain karena aku sangat membencinya.

Eskrim Where stories live. Discover now