Rigel pikir dengan Karina mendatanginya ke kantor—tempo hari, hubungan mereka sudah bisa dikatakan baik. Tapi ternyata tidak. Situasi rumah tangganya masih sama; dingin. Bahkan Karina jadi lebih pendiam dan cenderung menghindarinya. Meski begitu, Rigel tetap tidak menyerah. Enam bulan saling diam—hanya bicara kalau ada perlu atau sedang melakukan itu, kini saatnya ia perbaiki hubungannya dengan Karina.
Ia tidak ingin kapalnya tenggelam.
Ia harus tetap mengendalikan kapal itu agar berlayar menuju masa depan.
Napasnya dihela berat ketika lift yang mengantarkannya ke lantai dasar terbuka lebar. Di ruang tengah, Tasya duduk di sofa sambil menonton kartun favoritnya, sedang di samping si bocah, ada Karina yang dengan telaten menyuapi. Rigel tersenyum tipis, kakinya diayun mendekati anak dan istrinya lalu duduk di dekat si bungsu. "Putri Jelita-nya Papa sudah bangun?" Tasya mengangguk tanpa menoleh. Atensinya terpusat pada tayangan kartun. "Sudah mandi?" tanyanya lagi.
"Sudah, Pa," jawab Tasya, kemudian menoleh pada sang ibu. "Kenyang, Mi."
"Baru tiga suap, Natasya. Tambah lima lagi," decak Karina.
Buat Tasya cemberut. "Perut aku sudah penuh, Mi. Tidak muat lho."
"Ya udah, tapi hari ini nggak boleh makan es krim," tegas Karina.
"Iih kok gitu?" Tasya makin cemberut, "Ya udah deh," pasrahnya.
Karina kembali menyuapi si bungsu dengan sabar.
Diperhatikan Rigel dalam diam. Sebelum Karina hadir, Rigel sering gonta-ganti pacar sampai dicap playboy. Dari zaman SMP sampai kuliah, mungkin sudah lebih dari seratus cewek yang dia pacari, tapi gaya pacarannya dulu nggak sebebas anak zaman sekarang—yang oleng dikit mainnya diatas ranjang. Dan setelah lulus S2, Rigel bertemu Karina di salah satu acara talkshow.
Saat itu, Karina—yang viral setelah kemenangannya di ajang Miss Celebrity—datang sendirian, sementara Rigel yang mendampingi kakeknya, Hanung Widjadja—yang notabenenya mantan Gubernur DKI Jakarta, mendadak terpesona akan kecantikan si Miss Celebrity. Lalu dia iseng meminta pin BB Karina ke salah seorang kru di acara talkshow tersebut, dan yeah ... si playboy pun beraksi!
Sayangnya, Karina nggak seperti cewek-cewek yang dia kenal biasanya.
Karina cuek banget!
Dichat hari Senin, balesnya Senin depan.
Ditanya lagi apa, balesnya pake emoticons.
Bener-bener bikin penasaran!
Karena itu, Rigel jadi semangat untuk mengumpulkan banyak fakta tentang Karina. Dan jalan satu-satunya adalah mendekati Milla, meski dompetnya harus terkuras karena setiap satu informasi yang keluar dari mulut Milla, jelas ada bayarannya. Misal bakso sepaket es teh dan camilan. Mie ayam sepaket kuota. Dan masih banyak lagi.
Sampai kemudian ....
Ck, lamunan Rigel buyar begitu seruan Miguel menggelegar heboh. Bocah delapan tahun yang cita-citanya pengin punya mobil banyak itu menggayuh sepeda lipatnya menuju ruang tengah. "Ngueengg! Citttt!" Berhenti di deka sofa, pelototan Karina menyambutnya. Si bocah nyengir tanpa dosa. "Mami, aku boleh minta uang nggak?" tanyanya, "Di luar ada abang-abang siomay nawarin aku. Kasihan deh, Mi. Jidatnya keringetan."
Rigel menahan tawa.
"Aku mau siomay juga, Mi!" timbrung Tasya.
"Minta papa kalian. Mami belom gajian," ujar Karina.
Dengan kompak, sepasang kakak beradik itu berpaling ke si Papa. "Papaaaa ..."
"Ayok!" Rigel bangkit, menggiring kedua anaknya keluar selagi Karina misuh-misuh karena makanan si bungsu tinggal sesendok tapi bocahnya lebih milih beli siomay, dan si sulung yang dengan entengnya menggeletakkan sepeda sembarangan lalu ngacir ngikut si Bapak sambil nyengir lebar. "Nanti sepedanya dibenerin lagi ya, Kak? Sekalian minta maaf ke Mami," pesannya.
Miguel mengangguk, ibu jarinya teracung mantap. "Oke, Pa!"
Pria itu membiarkan kedua anaknya memesan siomay. Tak lupa ia pesankan juga untuk para karyawan di rumahnya. Dan setelah itu, ia ajak anak-anaknya masuk. Tepat ketika istrinya muncul dengan pakaian rapi. Memancing kerutan di dahi Rigel yang lantas menghentikan langkah seraya bertanya, "Yang, mau ke mana?"
"Aku ada janji sama Mbak Tari," kata Karina. "Titip anak-anak ya, Mas?"
"Aku temenin," putus Rigel.
Ditolak Karina lewat gelengan. "Nggak usah, Mas. Aku—"
"Mau sampai kapan sih kita kayak gini?" sembur Rigel.
"Apa?" balik Karina, sewot.
Rigel menggersah, atensinya disulihkan ke kedua anaknya—yang kini menunjukkan raut bingung. "Kakak sama Adek masuk dulu ya? Papa mau bicara bentar sama Mami. Nanti kita main lagi, oke?" Tanpa kata, dua bocah SD itu mengangguk lalu menjauh. Rigel mengembalikan tatapan dinginnya ke sang istri. "Coba telepon Tari, biar aku percaya."
"Apa sih, Mas! Nggak usah lebay deh! Biasanya juga nggak gini!" rungut Karina.
"Ya udah, kalau gitu biar aku yang telepon Dylan." Rigel merogoh saku celana untuk mengambil ponsel. Ia kontak nomor Dylan—sahabatnya—yang kebetulan istri Dylan adalah pemilik salah satu brand skincare terkenal. "Halo, Dy. Sorry ganggu. Bisa gue bicara sama Tari? Ck, nggak ngomong yang aneh-aneh kok." Sudut matanya melirik Karina. "Iya lah. Lo pikir apa lagi?"
Di ujung sana, Dylan memanggil istrinya.
Lalu ponsel berpindah ke Tari yang kemudian menyahut, "Ya, Gel?"
"Sorry mau nanya, lo ada janji sama istri gue?" tanya Rigel memastikan.
"Oh iya. Tapi agak sorean sih, soalnya Max lagi nggak enak badan, jadi nggak bisa ditinggal," balas Tari.
Rigel segera menyudahi percakapan—ditutup dengan ucapan terima kasih, lalu ia kantongi lagi ponselnya, dan beralih menatap Karina. "Kata Tari agak sorean. Jadi, sekarang mau ke mana?"
"Ada urusan, Mas!" cebik Karina.
"Bisa kalem nggak? Orang suaminya nanya baik-baik juga," omel Rigel.
Karina memutar bola mata. "Nggih, Yang Mulia! Maaf, salah."
"Aku temenin kalau gitu," putus Rigel, tak terbantahkan.
Memancing decakan Karina. "Mas!"
"Kalau kamu nggak jujur, aku ikut."
"Memangnya Mas selalu jujur sama aku?" tembak Karina.
"Hm?" Rigel mengerutkan alis, dihadiahi tawa sumbang Karina. Buat Rigel makin bingung. Meski kondisi rumah tangganya lagi nggak baik-baik aja, tapi Rigel nggak pernah bohongi istrinya. Rigel nggak pernah neko-neko di belakang Karina. Tapi, kenapa istrinya ngomong gitu?
"Nggak bisa jawab, 'kan?" Satu alis Karina terangkat, dibarengi senyum kecut.
"Aku nggak jawab karena aku nggak nyembunyiin apa pun dari kamu," tandas Rigel.
Dan tawa sumbang Karina berderai lagi. "Gitu?"
"Sayang," gumam Rigel.
"Stop panggil aku sayang!" ketus Karina, menuding dada Rigel dengan penuh emosi. "Karena yang ada di sini bukan aku lagi." Kerutan di dahi Rigel kian jelas terlihat. Karina menarik jarinya dari dada Rigel. Tatapan matanya menyiratkan pendar kecewa—yang tidak Rigel pahami apa sebabnya. "Kapal kita udah rusak, Mas. Udah nggak bisa diperbaiki. Jadi lebih baik kita tinggalin aja. Aku nggak mau tenggelam karena—"
"Kamu ini kenapa sih?!" sembur Rigel bingung.
"Harusnya kamu ngerti, kenapa aku begini," balas Karina, dengan mata berkaca-kaca.
"Justru karena aku nggak ngerti, makanya aku tanya!" dengkus Rigel. Ia selalu peka terhadap perubahan mood atau sikap istrinya—bahkan dari hal sekecil apa pun itu, tapi untuk pernyataan Karina barusan, ia benar-benar tidak paham. Walau ia sedikit menangkap adanya tuduhan di dalam kalimat tersebut.
Oh, wait.
Soal rencananya dan Alyssa.
Ck, tapi 'kan Karina tidak tahu tentang hal ini?
Jadi, apa yang membuatnya semarah ini?

KAMU SEDANG MEMBACA
Begin Again
RomantikDitulis ulang dengan versi baru Di tahun ke-10 pernikahan mereka, Karina mencium aroma pengkhianatan. Satu momen. Satu nama. Dan keyakinannya runtuh. Tapi saat kebenaran mulai terungkap, muncul badai yang lebih membingungkan. Fitnah menghantam. Masa...