"Bapak, Ekal juga mau mainan kayak punya Abas."
Bocah setinggi paha pria dewasa itu merengek. Tangannya berkali-kali menarik ujung kemeja lusuh milik Bapak. Kaki ringkihnya ia hentak-hentakkan ke tanah. Masih berusaha merengek tidak jelas untuk meluluhkan hati Bapak, agar dirinya mendapatkan segenggam mobil-mobilan yang baru saja dipamerkan oleh teman sebayanya.
"Iya nak, iya. Nanti Bapak belikan, ya? Ekal yang sabar dulu, Bapak mau cari uang buat beli mainannya ya nak?" seraya membelai penuh kasih pucuk kepala Ekal, Bapak tersenyum.
Ekal yang saat itu sudah diujung kesabaran saat membujuk Bapak, kini tangannya berhenti bergerak. Kepalanya spontan menghadap ke atas. Melihat laki-laki paruh baya yang nampak tersenyum menenangkan. Mata Ekal berbinar tatkala Bapak lagi-lagi mengangguk, meyakinkan Ekal untuk memegang kata-katanya.
"Pak, janji pulangnya bawa mainan buat Ekal ya, Pak?"
"Iya, Ekal. Bapak kerja dulu biar dapat uang, nanti beneran Bapak belikan."
Senyum Ekal merekah seketika. Raut wajahnya bahagia. Lalu meloncat-loncat kesana kemari, berteriak bahwa dirinya akan mendapatkan mainan baru sama seperti mainan milik Abas–teman sebayanya. Ekal selayaknya manusia tanpa beban yang tertawa sambil mengelilingi tubuh Bapak. Larinya nampak ringan, seringan kain jemuran milik Ibu yang diterpa angin dibelakang tubuh mereka berdua.
Sedangkan Bapak melihat anaknya begitu bahagia, ia juga turut merasakan kebahagiaannya. Tak peduli jika punggungnya sudah dirasa nyaris remuk sebab seharian ini memikul banyak barang jualan di pasar, Bapak tetap menyanggupi dirinya sendiri dan menjanjikan Ekal untuk membelikan mainan. Padahal, gaji sehari-hari nya hanya cukup untuk membeli satu kilo beras kotor. Belum lagi uang kontrakan yang telah menunjak. Apalagi lauk pauk yang hanya itu-itu saja. Bapak tidak mampu untuk membelikan Ibu dan Ekal makanan mahal seperti kepala keluarga di luaran sana. Terkadang hal ini membuatnya nelangsa, tapi Ibu selalu menguatkan Bapak dengan berkata bahwa dirinya dan Ekal tidak apa-apa. Makan apa saja, mau murah ataupun tidak ada harganya, yang terpenting Bapak pulang dengan selamat.
Ekal itu satu-satunya buah hati yang mereka punya. Mau serewel apapun Ekal, keduanya akan senantiasa bersabar. Jika Ekal minta ini, Bapak dan Ibu akan memberikannya dengan sepenuh hati. Jika Ekal sakit, Bapak dan Ibu akan menjaganya seperti satu-satunya barang paling mahal yang mereka miliki. Sebab menurut Bapak, Ekal adalah anugerah yang Tuhan percayakan padanya. Diberikan makhluk sempurna sebagai seorang anak pelengkap keluarga mereka.
Keluarganya memang bukan keluarga terpandang karena harta dan jabatan tinggi. Tapi bagi Ekal, Bapak dan Ibu sudah sangat keren dimatanya. Seberapa kuat juang Bapak untuk menghidupi dan mempertahankan keluarganya hingga detik ini. Atau seberapa hebatnya Ibu untuk memberinya kasih sayang yang sudah berkali-kali lipat lebih banyak daripada hari-hari sebelumnya.
Terlahir sebagai pemilik nama Hekal Prasadi. Lalu akrab dipanggil dengan nama Ekal sejak dirinya selalu mengoceh tidak jelas di umur tiga tahun. Ekal adalah kosa kata dari Hekal yang paling sering dirinya sebutkan saat itu. Maka dari sana, sudah diputuskan bahwa nama panggilannya adalah Ekal.
Sejak awal, Ekal sama sekali tidak berharap atau bahkan memilih keluarga ini untuk ia singgahi. Namun, Bapak pernah memberitahunya jika semua anak di dunia ini adalah hadiah paling berharga yang Tuhan berikan kepada masing-masing pasangan. Tuhan yang telah menentukan dimana seorang anak akan lahir dan dibesarkan oleh salah satu keluarga. Ekal yang dulunya enggan mengakui jika dirinya adalah anak Bapak–sebab Ekal kecil merasa malu ketika teman-temannya memamerkan orangtua mereka yang memiliki seragam polisi atau bahkan seragam dokter, kini berubah menjadi Ekal dewasa yang tidak akan pernah mengulang kebiasaan buruknya dulu.
Hidupnya, keluarganya, orangtuanya, apa yang dimilikinya, semuanya adalah kehendak Tuhan. Tak henti-hentinya Ekal merapalkan kata maaf dan senantiasa mendoakan keluarganya untuk diberi umur panjang dan kebahagiaan tiada tara. Masalah keuangan dan pekerjaan biarlah menjadi urusan terakhir. Asalkan, kedua orangtuanya bisa menemani Ekal sampai dirinya berhasil sukses dan membanggakan mereka. Ekal berharap orangtuanya bisa mengiringinya berjalan hingga titik akhir dalam hidupnya.

KAMU SEDANG MEMBACA
Nada Minor Ekal
Teen FictionDulu sekali, Ekal pernah mencaci maki dan tak menerima bagaimana dunia bekerja. Ekal pernah merasa kecewa, Ekal pernah merasa marah, Ekal pernah merasa lelah. Mengeluh sepanjang waktu dan selalu membenci hari esok adalah kebiasaannya. Muak jika diri...