"Rion dengar Ibu apapun yang terjadi nanti ketika Rion beranjak dewasa, Rion tetaplah anak kebanggan Ibu, Ayah, dan saudara saudara mu nak. Tetaplah menjadi Rion nya Ibu. Yang selalu menginginkan kedewasaan yang bebas seperti yang kamu inginkan"
******
6 Tahun kemudian.
Pagi ini dikediaman Wiratama sedang diberlangsungkan rutinitas pagi dikeluarga ini yang amat sangat wajib diikuti oleh seluruh penghuni rumah ini, yaitu sarapan pagi bersama. Terlebih sang kepala keluarga Abiyan Wiratama sedang ada di rumah saat ini.
Abiyan menatap kelima putranya satu persatu, memperhatikan gerak-gerik mereka saat memakan sarapannya masing-masing. Lambat laun pandangan Abiyan terarah ke salah satu putranya yang semenjak kepergian sang Ibu berubah begitu banyak. Bahkan pandangannya akan arti kedewasaan.
"Jadi selesai dari SMA kamu bakalan tetap melanjutkan untuk mengambil Kedokteran kak?" Tanya lelaki yang terlihat paling tua diantara yang lainnya.
"Nggak tau yah, lihat nanti saja keterimanya dimana. Kalau keterima kedokteran syukur Alhamdulillah, kalau tidak keterima yasudah cari yang lain"
"Ayah nggak memaksakan kamu untuk masuk kedokteran ya kak, kalau memang kamu mau dan mampi silahkan kalau kamu rasa tidak mampu tidak usah dipaksakan."
"Iya yah, Ion ngerti"
"Atau kamu mau seperti Abang mu kak? Mengambil jurusan ekonomi agar bisa satu kampus dengan Abang mu?"
Rion yang mendapat pertanyaan seperti itu dari sang Ayah langsung menoleh kepada Abangnya yang duduk tak jauh dari diri nya saat ini. Juna selaku yang di tatap pun hanya menaikan sebelah alisnya.
"Nggak deh yah. Kaka ga mau satu kampus sama Bang Jun, yang ada kaka nanti bukannya kuliah malah dirusuhin sama Bang Jun terus"
Arjuna Zerga Wiratama. Atau yang biasa dipanggil Bang Jun oleh keluarganya pun mengerutkan kening nya karena mendengar penuturan sang adik yang terpaut 4 tahun darinya.
"Kok Abang yang rusuh? Yang ada juga kamu yang rusuhin Abang kak. Eh.. Tapi gapapa biar Abang bisa jagain kamu pas OSPEK nanti. Dari pada kamu drop. Abang ga mau ah"
"Bener tuh kata Abang, nanti kaka sakit lagi, kalau sendirian di kampus terus kambuh gimana? Nanti Adek nggak ada temen main!"
"Eh ini bocil ikut ikut aja, ayo makan aja nanti telat kita. Shaka, Arkan, Kava makan nya cepet. Kaka ada jadwal piket, ini juga hari Senin nanti macet. Kaka tunggu diluar. Ayah, Abang, Ion duluan"
Abiyan hanya menggelengkan kepala nya melihat kelakuan putra keduanya yang selalu saja tidak mau dikekang olehnya atau saudaranya yang lain.
"Yasudah Shaka, Arkan, Adek cepet susul Kakaknya didepan. Arkan sama Adek nanti pulang nya nunggu Kak Ion sama Kak Shaka ya? Nunggu di dalem aja jangan diluar. Shaka pastiin si kakak makan nya sama obat nya dibawa. Inhaler nya juga kamu bawa satu buat cadangan"
Setelah mendengar perintah dari sang Ayah. Baik Shaka, Arkan, dan juga Kava segera mengangguk dan meminum susu mereka sampai habis lalu berpamitan kepada Ayah dan juga Abangnya.
"Assalamualaikuum... Berangkat ya Yah, Bang!" Teriak Kava sembari melangkah keluar serta melambaikan tangan kearas Ayah dan Abang nya.
Abiyan dan Juna yang melihat kelakuan sang bungsu pun hanya tertawa sambil ikut melambaikan tangan mereka.
"Yah... Apa ga sebaiknya Ayah di darat aja ga usah balik ke Laut? Kasian Adek-adek yah, kalau urusan rumah kan bisa bagi dua sama Abang. Apalagi semenjak kepergian Ibu, Rion jadi beda banget yah. Lebih banyak diem di kamar, bahkan kalau Ayah di laut dan Rion kambuh. Rion cuman diem didalem kamar ga ngasih tau Abang." Juna berucap khawatir sambil menatap penuh harap kepada sang Ayah. Karena jujur Juna tidak ingin Ayah nya kembali ke laut, karena Ia sungguh butuh sang Ayah untuk mendewasakn adik-adiknya.
Abiyan yang mendengar penuturan putranya hanya bisa tersenyum menenangkan ke arah sang putra sambil berkata
"Nggak papa ya Bang. Ayah masih ada 3 tahun lagi untuk kembali ke laut. Ayah masih sanggup nak, dan untuk adik-adik Ayah percaya Abang bisa. Sudah, kamu katanya ada kelas pagi, berangkat sekarang bang keburu macet. Lusa Ayah harus medical untuk keberangkatan Ayah bulan depan"
"Yaudah kalau itu mau Ayah, Abang berangkat yah. Assalamualaikum"
Setelah kepergian kelima putranya, Abiyan hanya bisa terdiam menatap kosong kedepan. Abiyan selalu berfikir setelah kepergian sang istri 6 tahun silam semuanya akan baik baik saja. Semuanya akan bisa ia kendalikan walaupun dari jarak jauh. Tapi nyatanya ia salah, bahkan ia baru tahu perubahan yang dialami oleh salah satu putranya.
Selama ini Abiyan hanya beranggapan bahwa Kava saja sebagai bungsu keluarga Wiratama tidak mempunyai masalah setelah kepergian sang Ibu. Sampai Abiyan lupa bahwa Ia masih memiliki anak yang lain, yang harus Ia perhatikan lebih karena sejatinya anak itu memiliki suatu kekurangan yang memang diberikan oleh sang pencipta.
Tidak mau larut dalam kesedihan. Abiyan segera membereskan perlatan makan yang tadi Ia dan anak nya gunakam untuk dibawa ke belakang agar bisa dibersihkan oleh sang bibi. Sambil bersenandung Abiyan masuk ke dalam kamar, dan terdiam beberapa saat sambil menatap salah satu figura besar yang terpajang di atas kepala ranjang nya.
"Seandinya kamu masih ada disini yan.... Kamu pasti akan bangga dengan Juna. Juna berhasil menjadi Abang yang baik untuk adik-adiknya. Rion berhasil menggantikan peran kamu di rumah, memasak, membuat camilan bahkan mengurusi Arkan dan Kava. Shaka anak tengah kita yang baru masuk SMA. Tapi yan.. Aku gagal, aku gagal menjaga Rion sebagaimana kamu menjaga nya dulu.."
Bersambung...
YOU ARE READING
FEAR
Teen FictionKetika kecil Arion selalu bermimpi untuk cepat - cepat menuju fase kedewasaan. Arion selalu bermimpi ketika ia dewasa nanti ia akan menjadi seseorang yang berguna. Berguna bagi keluarga nya , teman nya , sahabat nya , bahkan lingkungan sekitar dirin...