꧅ꦧ꧀ꦖ꧅
PESONA kerlip bintang dalam kegelapan seperti halnya cahaya yang menyilaukan insan. Hanya malam yang benar-benar gelap, pelita bertabur pendar bintang-bintang diantara belasan bulan. Hening malam damai nan sepi—hanya sepoi lembut angin sesekali menelisik di antara ranting-ranting pohon yang berbinar.
Dingin yang menyelimuti meninggalkan gadis kecil bergaun putih tipis memeluk dirinya sendiri. Entah apa atau siapa yang membuatnya berjalan lambat sendirian di tengah malam menelusuri hutan Ayem. Selain binar dari dua belas bulan juga jutaan bintang di langit, pohon-pohon Adamar tak kalah berbinar menjadi lentera jalan. Pohon itu tidak terlalu tinggi menjulang, di ujung rantingnya menyala-nyala binar cahaya kebiru-biruan. Kunang-kunang kuning-berpendar selalu berkerumun tak jauh dari ranting-ranting pohon Adamar menambah indah hutan Ayem.
Se-ekor kunang menghampiri si gadis mungil. Aiu mengangkat tangan kirinya, membiarkan kunang itu hinggap di telunjuknya. Ia mendekatkan jari di muka menatapi kunang lebih dekat. Nampak jelas mungil wajah Aiu bersinar diterang kunang, tipis bibir, elok sungguh rupanya. Ia mengangkat tangan kirinya tinggi-tinggi menentang langit. Kunang itu masih tetap hinggap di mungil jarinya.
" Bulan-bulan sungguh indah malam ini." Takjub Aiu terpesona oleh para bulan.
Gadis berambut keperakan itu tak berhenti memandangi Lun yang bertengger di gunung, bulan berwarna kebiruan yang teragung, ibu dari para bulan. Binarnya menjadi pelita di seluruh negeri di kala malam. Dari pandang Aiu, gunung pun kalah besarnya dengan sang Lun. Langit nampak gelap biru keunguan selagi ia memandanginya siluet dua ekor naga terbang tinggi beriringan. Aiu bersyukur dapat hidup di dunia indah yang penuh kedamaian ini, begitulah pikirnya.
" Tunggu jangan pergi!"
Kunang-kunang itu tiba-tiba terbang pergi meninggalkan si gadis mungil. Aiu seketika berlari mengejar setitik binar itu. Bertelanjang kaki berlari menginjak rumput-rumput basah berembun. Ia menyadari jika dirinya telah berada cukup jauh dari rumah di tengah malam yang dingin. Sementara itu si kunang itu berhenti di pucuk daun mungkin menunggu untuk dikejar. Aiu menghentikan langkahnya, ia berhenti sejenak mengamati sekitar. Gelembung-gelembung juga gemuruh deras sungai terdengar tak jauh dari balik batu-batu besar. Gadis berambut panjang itu menarik napas panjang, menghirup segarnya udara malam di Hutan Ayem ini. Aiu berkata pada dirinya bila ia sungguh bersyukur dapat hidup di Dunia yang indah penuh kedamaian ini, begitulah katanya.
Aiu menengok ke arah batu-batu besar lalu menghampirinya. Kunang-kunang tadi mengikuti si gadis perlahan dari belakang. Dengan hati-hati Ia memijak-kan kaki di batuan kecil, kemudian berpengangan di batu yang besar. Lembab dingin batuan itu meresapi kulit menembus ke tulangnya. Setelah memanjat beberapa batu dengan hati-hati sampailah Ia di puncak batu yang paling tinggi. Aiu tak dapat menahan dirinya berdecak kagum sambil berkacak pinggang dengan apa yang ada di depan matanya. Manis senyum terukir lebar sampai nampak gigi taringnya dibuat terpukau oleh kepermaian Sungai Derana. Lembut mengalir sungai itu berkilauan karena pendar pohon adamar dan sinar-sinar bulan. Di seberang nampak beberapa ekor rusa dengan tanduk-tanduknya yang besar meminum segarnya air bengawan. Tak habis pikir dirinya betapa jernihnya Sungai Derana, dari puncak batu tempat ia berdiri nampak ikan-ikan berbagai warna berenang berirama.
Mengambil ancang-ancang, dengan hati-hati ia melompat, mendarat di hamparan rumput yang lembut bagai kapas. Kunang-kunang itu kembali mendekat, setitik binar itu menyusul si gadis menuju sungai, lalu hinggap di atas daun teratai. Binarnya berkedap-kedip seolah mengajak dirinya untuk mengikutinya. Aiu menyeka keringat di dahinya lalu berlari kecil mendekati sang bengawan. Gadis itu bersimpuh di pinggiran sungai—dekat dengan daun-daun teratai bersama tetes air yang sesekali memercik.
Raungan rusa di seberang sungai mengejetkun si gadis kecil. Hewan bertanduk itu memijak-kan kedua kaki depan-nya ke dalam aliran sungai, lalu minum darinya perlahan. Aiu yang sedari tadi memperhatikan menadahkan tangan mencelupkan-nya ke air, sejenak ia mengigil dibuatnya. Ia mengangkat tangan perlahan, meminum air Sungai Derana langsung dari telapaknya. Air itu sungguh nikmat, dingin dan menyegarkan. Aiu yang tiba-tiba merasa kehausan menadahkan tangan-nya kembali dan meminum lagi beberapa kali.
Setelah puas dengan bibirnya yang basah. Ia bersandar dengan tangan dibelakang sambil mengusap mulut dengan punggung tangan kanan-nya. Terpejam matanya, kali ini gadis itu benar-benar lega, nampak berseri-seri wajahnya seraya sedikit ringan tertawa dengan napas cepat yang tak beraturan.
Mata si gadis dan rusa di seberang saling bertemu. Mereka berdua saling bertatap untuk waktu yang cukup lama tanpa bertukar sepatah kata. Si rusa pun mengalah menoleh kearah kawanan-nya dan berbalik pergi. Aiu yang penuh rasa ingin tahu kembali menatap beningnya sungai. Selain ikan-ikan kecil yang berputar nampak juga pantulan wajah nan elok. Polos wajah itu bulat lebar matanya penuh harapan, irisnya hijau berkilau bak zamrud. Tipis bibirnya—sedikit menganga mulutnya penuh rasa penasaran. Ia menyisir rambut kebalik telinga runcingnya dan menyibakan-nya kebelakang. Aiu sekali lagi hilang dalam renungan, ia hanya tak bisa berhenti bersyukur menjadi seorang inman di dunia yang tentram ini, begitulah renunganya.
Inman'nas, biasa disebut Inman, hanyalah manusia—makhluk yang rendah. Fisik mereka lebih lemah dari para buto. Dan para Alv jauh lebih cerdas dibanding mereka.
Tanpa alasan Aiu membasuh muka, megusapnya lembut. Segar rasanya. Ia juga membasahi rambut, menyisirnya dengan jemari yang basah.
Disaat gadis itu sedang hanyut dalam menyisir rambut, butir-butir air yang menempel di lembar daun-daun teratai itu perlahan-lahan bergerak. Tetesan-tetesan air bergulir, mengalir dalam pola. Kunang-kunang yang sedari tadi terdiam di daun teratai terbang dibuatnya. Setitik binar itu berkelap-kelip menghampiri Aiu lalu bersembunyi di balik pundaknya. Aiu yang asyik mencium wangi rambutnya tercengang dibuatnya. Air-air itu mulai menetes ke atas, ke udara. Tetesan air itu bergerombol berputar-putar lalu menyatu membentuk bulatan air. Lama-kelamaan tidak hanya butir-butir air yang hanya menempel di daun teratai, namun juga langsung menetes dari Sungai Derana. Pergerakan air itu makin lama semakin cepat. Tidak butuh waktu lama air yang semula hanya berbentuk bulatan mulai menampakan bentuknya. Tidak ada sedikit pun rasa takut pada gadis itu. Air-air yang bergerak secara ajaib malah membuatnya berdiri mendekat girang penasaran. Dalam kedipan mata sepasang sayap dari air itu membentang. Butir-butiran air berhenti berterbangan. Sesuatu dari air itu sudah membentuk sempurna. Se-ekor kupu-kupu dari air sebesar telapak tangan si gadis kecil. Jernih airnya, bening tubuh dan sayapnya nampak menembus TRANSPARAN.
꧃ꦆ꧃
Kupu-kupu Malam yang Basah
