1. Rara

125 13 8
                                    

Semburat sang jingga jatuh membias pada setiap sudut Bumi. Tampak mentari hendak menyembunyikan diri di peristirahatannya. Burung-burung mulai menepi ikut pulang menuju kehangatan keluarganya.

Di sana, dalam bangunan tua bernama Perpustakaan Bapusipda, seorang gadis dengan gamis bermotif kemeja tengah melebarkan matanya. Ia terbelalak dengan fakta baru yang ia temukan soal negaranya. Hampir saja meja ia geplak jika saja ia tidak lupa posisinya saat ini berada di Perpustakaan tertuan Jawa.

"Oh God! Really?" Berulang kali alisnya berkerut dan kepalanya mundur beberapa senti ketika fakta-fakta baru kembali bermunculan di layar matanya. "Oh my godness! Dunia harus tau soal ini! Gila sih ini! Sumpah!"

Lalu sebuah lemparan pulpen menjadi pengingat waktunya jika sore sudah hampir mau usai. "Lo ga mau balik, Ra? Udah sore nih! Gue mau nemuin anak istri gue! Please lah pulang sana! Besok ke sini lagi," pinta penjaga perpustakaan sekaligus partner belajarnya selama ini.

"Iya, gue balik bentar lagi tapi mau sambil bawa buku ini," jawab Rara dengan jurus nyengir kudanya yang selalu sukses meluluhkan hati sahabatnya itu.

"Iya, bawa aja sana sepuas lo asal jangan ilang aja."

Percakapan selesai di sana. Keduanya memutuskan untuk segera berkemas dan hengkang dari tempat favorit mereka itu. Panggilan rumah cukup menjadi ancaman bagi keduanya. Pasalnya, jika Rara telat ibunya tidak akan memberinya izin pulang malam lagi. Dan untuk rekannya: Dimas, mungkin akan menjadi petaka mengerikan jika istrinya murka saat suaminya pulang terlalu larut malam.

"Bye, Dim, makasih ya udah ngizinin gue berlama-lama di perpus," pamit Rara sambil melambai dan melangkah menjauh dari Dimas.

"Ya. Baik-baik lo di rumah, awas kena amuk emak lu." Dimas bergidik saat membayangkan jika karibnya itu pulang bersambut lemparan piring atau tutup panci ibunya, seperti dulu.

"Iya, bawel," dengus Rara sambil meleos.

Rara merekatkan jaket yang baru ia pakai ketika keluar perpustakaan. Napasnya terlihat menguap di udara ketika hawa dingin mulai bertabrakan dengan tubuh rampingnya. Tak berselang lama, langkahnya terhenti tatkala manik coklatnya menangkap bayangan bus yang mulai menghampirinya. Lantas ia bergegas menaikki bus dan memasrahkan tubuhnya dibawa raja jalanan itu.

Sepanjang perjalanan pulang, Rara tak berhenti merutuki negaranya. Ia tak habis pikir mengapa fakta sejarah ini harus disembunyikan dari warga negaranya. Padahal ini penting. Bahkan teramat penting.

"Sumpah, gue pengen balik ke masa kerajaan biar gue liat langsung kejadiannya terus gue catet langsung di depan petinggi-petinggi kerajaan!" Rara terus menggerutu sampai sebuah doa terlontar dari mulutnya yang tipis, "Ya Allah, jika aku berkesempatan memperbaiki sejarah, tolong izinkan aku masuk ke kehidupan sebelumnya saat sejarah ini akan dituliskan di buku."

Rara masih menggebu-gebu berdoa saat sebuah sedan merah tiba-tiba menabrak bus yang ia tumpangi. Seketika bus berhenti mendadak di tengah jalan yang cukup lenggang. Rara yang posisi duduknya di bagian belakang terselamatkan. Ia lantas terburu-buru hendak keluar bus lewat kaca yang berhasil dipecahkan oleh salah satu pengendara.

Saat Rara sudah di ambang kaca pecah, Indra penglihatan gadis itu menangkap bayangan anak kecil yang menangis ketakutan sendiri. Rara bimbang antara loncat turun dari bus atau berbalik menolong sang anak. Batinnya bergulat. "Gapapa, Ra, nanti juga bakalan ada yang nolongin." Namun kondisi semakin parah dengan penampakan percikan api yang muncul di ujung tempat duduk anak tersebut. Sontak Rara bergegas berbalik, berlalu lalu memeluk sang anak. Membawa gadis kecil berkerudung biru langit itu menjauh dari sumber masalah.

Rara bergegas menurunkan sang anak. Di ambang jendela yang semakin luas lubangnya, ia mendadak keram. Seluruh tubuhnya mematung. Rara panik. Gadis kecil yang ia selamatkan telah berpindah tangan pada tim penyelamat yang datang, sedangkan ia sendiri mematung terdiam di antara kepulan asap yang mulai bertebaran.

Tak terasa air matanya menguap. Gadis yang hari ini mengenakan kerudung coklat itu benar-benar terlihat kacau. Pandangannya buram terhalang kabut asap. Sayup-sayup ia melihat orang-orang yang berlalu menjauh darinya tanpa menyadari bahwa masih ada satu nyawa yang terjebak di antara kepulan asap yang semakin menguat.

"Ya ilahi... inikah akhir dari hayatku?" Rara benar-benar telah memasrahkan diri. Di belakangnya api mulai berkoar mengikuti arah minyak yang bocor dari kendaraan.

Tak lama dari itu....
Duarrr....

Terjadi sebuah ledakan. Rara terpental. Robekan dari gamis kemejanya tampak menyembul di antara api yang mendadak melakukan dentuman hebat. Namun anehnya, Rara menyaksikan apa yang terjadi pada bajunya itu. Ia seolah sedang berdiri di langit dan melihat tubuhnya digulung api. Rara tidak merasakan rasa sakit. Hingga saat pemadam kebakaran datang, pandangan Rara hilang. Ia mendadak merasakan kegelapan yang cukup menyeramkan.

Dalam kegelapannya gadis yang berubah menjadi mengenakan baju serba putih itu mendengar jeritan orang. Ia merasakan ada guncangan kecil dalam diri. Perlahan, Rara merasa napasnya menipis. Hingga dalam satu guncangan keras mata Rara terbelalak tiba-tiba.

Hah? Di mana ini?

Sayup-sayup terdengar orang-orang yang berlarian. Ia melihat penampakan manusia-manusia dengan pakaian aneh.

"Ayo cepat bawa obatnya!"

"Kabari Gusti Prabu jika Nyimas Rara Santang sudah sadarkan diri!"

Hah? Nyimas Rara Santang? Siapa?

Dalam kemelut kebingungan, Rara kembali merasakan matanya berat. Ia kembali tertidur dengan pemandangan terakhir laki-laki gagah bermahkota megah.

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Sep 07, 2022 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

RarasantangTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang