Prolog

117 14 7
                                    

"Sayang, kenapa buru-buru, sih?" Aku memberengut kesal. Kutarik lagi mendekat, wajah Shaka yang mulai menjauh. Jejak bibirnya yang beraroma mint segar masih terasa menempel di ujung-ujung bibirku. Bagaimana mungkin dia mau mengakhiri begitu saja?

"Kita kan baru mulai," protesku, memajukan bibir.

"Tapi, sekarang sudah hampir jam enam sore, V. Suamimu sebentar lagi pu--"

"Fu*k him!"

"--lang." Shaka meneruskan seraya berusaha mengurai kedua lenganku yang mengunci rapat lehernya. Namun, dengan cepat kutepis dan kini melingkari pinggangnya. "Lagian, kamu juga harus menghadiri gathering kompleks, kan?"

Pria yang lebih muda lima tahun dariku ini menaikkan sedikit alisnya, lalu melonggarkan pelukanku.

"Tapi, aku ... masih kangen," rengekku manja. Terdengar di telingaku sendiri, seperti suara anak kecil yang mainan kesayangannya akan diambil paksa.

"Tiap hari ketemu, kok masih kangen, sih?" Shaka terbahak, menjentik ujung hidungku dengan jarinya.

Aku membasahi bibir dengan lidah, lalu mengerling seraya merapatkan lagi pelukan di lehernya. Dalam desahan tertahan, aku berbisik, "Kangenku itu itungannya per detik, Sayang. Bukan jam, apalagi hari. Please, sekali aja."

Biasanya, pria lain akan langsung meleleh mendengar rengekanku. Akan tetapi, tidak begitu dengan Shaka.

Masih dengan senyum bersahaja, dia menjawab, "Aku nggak mau tertangkap basah sama suami kamu. Pergilah. Tetangga sudah pada siap-siap, tuh."

Shaka memang tidak mudah, tetapi jangan panggil aku Miss V kalau gampang menyerah.

Dengan cepat aku membalikkan tubuhnya. Kutabrakkan diriku sendiri, kembali ke pelukannya. Kaus oblong yang hampir dia kenakan lagi, kutarik paksa hingga terlepas dan jatuh ke lantai. Berjingkat, akhirnya aku berhasil mendekatkan wajah ke mukanya yang terlihat jauh lebih memesona dalam jarak pandang beberapa senti seperti sekarang ini.

"Sayang, pleaseee ...." Aku membulatkan mata, membentuk puppy eyes dan menatapnya lekat.

Hanya beberapa detik saling bertukar tatap, bibirnya membentuk selengkung senyuman kecil dan akhirnya merenggut bibirku yang menunggu penuh harap. Ciuman yang makin dalam dan bergelora, menggerakkan tangannya mengusap wajahku dengan lembut, turun ke leher, dan terus menyusup ke balik baby doll yang aku kenakan.

Tanpa sadar, satu desahanku lolos.

Perlakuan manis Shaka saat menyentuh, membuatku merasa jadi wanita terhormat, tersanjung. Selalu pelan, berirama, dan segenap rasa. Tidak pernah tergesa-gesa, meski dia tahu kalau waktu kami tak seberapa. Berbeda dengan Bagas, suami yang terpaksa aku nikahi demi mengejar harta. Tidak pernah ada cinta. Dia memperlakukanku tak lebih dari barang pertukaran, pelicin proyek yang saat itu sedang dikerjakan kliennya.

"Just a quick one, okay?" Shaka mendesis, mulai menciumi telinga, turun ke leher, dada ....

Aku hanya mampu memejam, menikmati sentuhannya, menelusuri setiap inchi dan lekuk tubuhku. Tak sempat mengiakan, tetapi senyum bahagia di bibirku, rasanya sudah cukup mengartikan semua.

"I am all yours, Baby," desisku, pasrah dalam rengkuhan Shaka yang kemudian membopongku ke ranjang. Sebentar lagi, kami akan menuntaskan apa yang telah kami mulai.

Penanda waktu di atas nakas sebelah ranjang telah menunjukkan angka setengah tujuh. Dengan sangat terpaksa, kulepaskan ciuman sekali lagi ke bibir Shaka sebelum akhirnya dia merelakan tubuh polosku terlepas dari pelukannya. Aku bangkit, lalu melenggang, bersiap-siap menuruni anak tangga loteng.

"Sampai nanti lagi, Sayang. I love you," pamitku, melepas kecupan di udara. Meski tak terdengar suara, tetapi aku masih bisa menangkap gerakan bibir lelakiku itu berucap 'I love you more.'

Lewat beberapa menit dari pukul tujuh, aku tiba di jalan utama kompleks, tempat diadakannya gathering malam ini. Developer Little Wood sengaja membuat acara untuk memperkenalkan para penghuni cluster. Hunian yang terbilang mewah di salah satu jantung kota Bandung, memang baru satu bulan kami tempati. Pekerjaan sebagai auditor keuangan propinsi membuat dia banyak menerima 'titipan'--you know what I mean--hingga mampu membeli rumah di kawasan elit ini. Tadi Bagas mengirimkan pesan akan pulang terlambat, tetapi tetap berniat mampir sebentar ke acara ini. Dia memintaku pergi sendiri dulu. Tidak masalah. Tanpa dia pun, aku tetap bisa menikmati, kok. Seperti biasa.

Melenggang penuh percaya diri bak peragawati di atas catwalk, membuat berpasang mata dan kepala terarah kepadaku, adalah keahlianku. Ditambah jumpsuit celana pendek hitam sedikit terbuka di bagian dada, tidak pernah gagal memantik perhatian orang di sekitar, termasuk pria yang istrinya tengah hamil. Kutaksir sekitar enam atau tujuh bulan usia kandungannya. Entahlah, rumah mereka sebelah mana. Aku tidak tahu persis. Yang jelas, peci hitam dan baju koko putih membuat pria itu terlihat sangat agamis. Meskipun begitu, dia tetap manusia biasa. Sejak aku masuk, matanya tidak pernah berkedip, malah seperti hampir keluar saat memandang. Dasar buaya! Aku melengos saat melewatinya.

Terus melangkah, aku tidak memedulikan tatapan sinis orang-orang. Pesta dan keramaian memang kesukaanku. Bertemu orang-orang baru selalu membuatku bergairah. Shaka tahu itu. Makanya, dia tidak pernah keberatan aku bergaul di luar rumah.

Acara sudah dimulai. Pak Yono, perwakilan developer mengambil ancang-ancang untuk memberi pengumuman. Alih-alih mendengarkan, perhatianku segera teralihkan pada sesosok wajah oriental yang sedang menikmati sepiring buah-buahan. Cowok berkaus putih dengan kemeja lengan tiga per empat warna senada itu terlihat canggung. Dia terlibat percakapan singkat dengan gadis remaja yang sempat terdengar sekilas di telingaku menyebutnya oppa Korea. Senyumnya manis. Ada lesung pipi kecil mengintip di atas bibir tipisnya.

"Hai." Sapaanku membuat dia mendongak. Aku mengulurkan tangan tanpa diminta.

"Valerie Vay," sebutku kemudian, melempar senyum terbaik yang aku punya. "Just call me ... Miss V."

Aku tergelak melihat matanya yang kecil seketika membola. Dia mungkin orang keseribu lima ratus atau lebih, yang terpana mendengarku menyebut nama itu.

"Daniel," balasnya singkat. Matanya kembali menekuri semangka dan nanas yang masih bersisa beberapa potong di piring kecil.

"Aku penghuni rumah nomor delapan," tunjukku dengan menggerakkan kepala sedikit ke arah rumah.

Daniel tidak menjawab. Dia hanya mengangguk kecil. Aku mulai bosan. Pancinganku sepertinya kurang berhasil pada pria satu ini.

Mataku kembali beredar dan mendapati pria lain tengah berjalan ke arah kami. Dia terlihat gagah dengan jambang dan kumis tipis. Rambutnya yang gondrong dikuncir ke belakang. Seorang anak perempuan kecil tak berhenti berceloteh dalam gendongannya.

"Awang." Dia mengulurkan tangan, seolah menyambut tanganku yang tadi tak dipedulikan Daniel.

Ah, pria ini simpatik sekali. Aku suka. Shaka satu-satunya lelaki yang aku cintai, tetapi sedikit bermain dengan pria lain, sepertinya akan sangat menyenangkan.

***

Ups, what happen aya naon eta ta? Semangat buat Shaka dan V. Semoga bisa sampai tamat, ya. 

The AtticTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang