Nice To See You

63 4 3
                                    

"Nanti malam aku nggak pulang. Mau ke luar kota." Bagas memakai kembali celana boxer-nya setelah mendorongku ke tempat tidur. Pagi ini dia kembali meminta jatah, padahal semalaman sudah memaksaku melayani dengan berbagai gaya. Apa dia peduli pada tubuhku yang letih dan butuh istirahat? Apa dia mau mengerti keinginanku untuk dipuaskan juga?

Nope. Tidak pernah! Aku pun tidak pernah meminta, apalagi memaksa.

Aku benar-benar harus puas saat dianggap tidak lebih dari manekin hidup. Diam saja saat diperlakukan semaunya. Di ranjang, aku hanya sebagai pemuas birahi. Bila dibawa ke pesta atau bertemu kolega, aku bagaikan boneka cantik untuk dipamerkan ke mana-mana. Lambang prestise seorang auditor sukses yang bisa membeli apa saja sesuka hatinya.

"Sampai kapan, Mas?" Aku beranjak dan membetulkan lingerie yang menutup asal di tubuh.

Bagas mengerutkan dahi, menatap sejenak sebelum akhirnya menjawab,"Sejak kapan kamu harus tahu urusanku? Mau pulang dua hari, seminggu, atau sebulan lagi, buat apa aku kasih tahu kamu?"

Bagas tertawa.

Aku mendengkus, memalingkan muka. Sekilas terlihat bayanganku sendiri di cermin besar sebelah tempat tidur. Kantung mata menebal, lebih dari biasanya. Wajah sedikit pucat dan acak-acakan. Sama sekali bukan seperti diriku beberapa tahun lalu sebelum mengenal Bagas.

"Jadi istri itu nggak usah terlalu kepo! Memangnya kamu mau ngapain kalau tahu kapan aku pulang, hah? Selingkuh?" Laki-laki cungkring berkulit legam dengan kaca mata tebal itu tergelak lagi.

"Memangnya ... masih ada yang mau sama pelacur macam kamu?" Dia mendekatiku yang berjongkok di tepi ranjang seraya merapikan bantal, guling, dan sprei yang berantakan. Dengan cepat dia menjambak sampai kepalaku terdongak.

"Kalau waktu itu tidak aku nikahi, kamu masih menggelandang saat ini. Aku yang sudah mengangkat derajatmu, juga ibumu. Ingat itu!" Bagas mengentakkan kepalaku.

Aku bahkan tidak sempat menjawab apa-apa sampai dia kembali mengancam dengan kata-kata tajam. "Jadi, awas saja kalau kamu sampai berani macam-macam. Do not even think about that!"

Mengetatkan rahang, kucoba menahan saja perasaan yang bergolak di dalam dada. Aku meneguk ludah. Jemari sudah mengepal di balik selimut yang akan kulipat. Bagas masih terus tertawa mengejek hingga dia selesai mengenakan kemeja kerjanya.

Bukan kali pertama Bagas memperlakukanku kasar begini. Namun, aku tidak punya pilihan selain menerima. Semua kata-katanya benar. Aku memang pelacur saat ketemu dia. Sebetulnya bukan pelacur jalanan. Aku lebih dikenal di kalangan terbatas sebagai teman tidur para pria kelas atas. Aku berpindah dari satu pelukan ke pelukan lain, hingga diperkenalkan dengan laki-laki ini yang akhirnya berhasil kurayu agar menikahiku.

"Siapkan sarapan! Aku berangkat sebentar lagi!" suruhnya, sambil menyeret koper kecil berisi beberapa potong pakaian keluar dari kamar.

Saking seringnya tugas ke luar kota, aku terbiasa menyiapkan perlengkapan Bagas, bahkan sebelum tahu jadwalnya. Ada dua koper yang bergantian dia bawa, besar dan kecil. Koper besar berisi lebih banyak baju untuk persiapan tugas satu hingga dua mingguan. Sedangkan yang kecil, biasanya cukup untuk beberapa hari saja.

Setelah menepuk-nepuk bantal yang sudah tersusun rapi, aku bergegas mengekornya. Tidak ada ciuman di kening atau pipi layaknya suami yang akan meninggalkan istri. Bagas berlalu begitu saja dengan mobil sport kesayangannya. Dia menyisakan sekerat roti bakar berisi selai cokelat nutella dan setengah cangkir kopi pekat manis, sisa sarapannya di meja makan.

Aku pura-pura melambai ke arah mobil Bagas. Hanya ingin menunjukkan kepada para tetangga yang kebetulan lewat bahwa kami rukun seperti pasutri pada umumnya. Entah apa yang ada di benak mereka. Yang jelas, senyuman di wajah orang-orang itu terlihat tidak tulus, kecuali satu pria.

"Pagi, Teteh," sapanya lembut.

"Oh, hai! Selamat pagi. Panggil V aja," sanggahku cepat.

Tinggal di Bandung kurang dari satu bulan, belum membuatku terbiasa dengan panggilan semacam itu. Aku memang lahir dan dibesarkan di ibukota Jakarta. Pindah ke Bandung hanya karena Bagas membeli kluster mewah ini dari uang pemberian salah satu klien pentingnya.

Aku baru akan menghampiri lelaki dengan tatapan mata elang dan berambut gondrong itu saat Ariana Grande mengalunkan Dangerous Woman dari ponselku.

"Yes, Mat?" Aku berbalik, urung melanjutkan langkah ke arah laki-laki yang melihat bisepnya saja bisa bikin aku pengin gigit pagar saat itu juga. "Kenapa?"

Mamat, teknisi panggilan yang biasa datang memperbaiki mesin jahitku, mendadak bilang tidak bisa datang. Kemarin sore memang aku memanggilnya ke rumah. Dress yang sedang kujahit, terpaksa gagal diselesaikan karena mesin macet, tidak mau maju ataupun mundur.

"Jadi, gimana, Mat? Bajunya mau aku pakai lusa, loh!" Aku memberengut kesal.

Sejak mendapat mesin jahit sebagai hadiah ulang tahun dari Ibu saat SMA, aku bukan saja mulai menyukai, tetapi sering kali membuat baju sendiri. Namun sayang, hobiku tidak disertai keinginan untuk mencoba memperbaiki bila mesin rusak atau macet seperti sekarang ini. Makanya, saat tidak ada teknisi yang datang, bisa dipastikan akan makin banyak baju-baju setengah jadi yang kumasukkan ke laundry basket, lantas terlupakan dengan sendirinya.

"Siapa?"

Mamat menyebutkan satu nama.

"Arsha ... siapa?" Aku merapatkan ponsel ke telinga. Suara Mamat terdengar seperti hubungan orang yang lagi LDR-an. Putus nyambung. Tidak jelas!

Mungkin kecewa setelah beberapa kali gagal menyampaikan maksud via suara, Mamat akhirnya mengirimkan v-card teknisi kenalan dia yang akan menggantikan datang ke rumah.

Arshaka Diwangkara. Profil sesosok wajah lembut dan manis, muncul saat aku mengetuk kartu nama itu. Tanpa sadar, senyumku terbit sesaat. Hmmm. Not bad.

[Ok, Mat. Suruh dia datang pukul sepuluh pagi ini. Aku tunggu!]

Tidak menunggu detik pertama berganti, pesan via Whattsap itu pun aku kirimkan. Bila sudah cocok dengan pekerjaan seseorang, biasanya aku tidak begitu suka orang itu digantikan karena artinya ... aku harus menyesuaikan diri lagi. Meskipun itu bukan pekerjaan sulit untuk seorang extrover sepertiku, tetap saja, aku malas melakukannya. Entah mengapa, baru melihat sekali foto teknisi pengganti Mamat, aku sudah merasa terbiasa dengan dia.

Aku baru bersiap mengupas mangga, hendak menyiapkan di piring kecil berisi potongan kecil semangka dan melon saat tiga kali ketukan terdengar dari luar. Menurunkan sedikit hotpants, aku bergegas membuka pintu. Selarik senyum manis segera menyambut. Ada gingsul di sudut kiri bibirnya, mengintip malu-malu.

"Selamat pagi, Bu Valerie."

Aku hampir tersedak ludah sendiri mendengar salamnya, lalu tanpa sengaja tergelak.

"Öh, maaf, maaf. Please, jangan terlalu formal."

Aku menutup mulut, mencegah senyum lebar membuat pria yang tampaknya lebih muda dariku ini tersinggung. Aku hanya merasa geli dengan panggilannya.

"Mesin jahitnya ada di loteng. Aku antar kamu ke atas, ya." Untuk menebus rasa bersalah, aku mengulurkan tangan dan menggandengnya masuk.

"Just call me V, by the way."

"

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.
The AtticTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang