"Loh!" seru Wendy terkejut bukan main hampir menjatuhkan piringnya mendapati Bimo keluar dari kamar mandi dengan handuk menggantung di pinggul. Pahatan otot dada hingga perut yang terpatri sempurna oleh tangan Sang Pencipta ditambah untaian rambut hitam yang masih basah menjadi suatu pengalaman pertama bagi Wendy. Bulir air menetes dari sela-sela rambut dan mendarat di kulit bersih Bimo bagai kristal-kristal berjatuhan. Belum lagi aroma sabun menguar menggoda indra penciumannya sampai Wendy nyaris lupa cara bernapas dan berkedip mengamati betapa indah lekukan tubuh Bimo yang biasanya tertutup seragam koki.
Sisi lain di dalam diri Wendy berbisik kalau apa yang ditangkap kedua matanya saat ini tidak banyak orang yang bisa menikmati secara gratis. Walau tahu kalau pakaian yang dikenakan Bimo sehari-hari sudah cukup menunjukkan kalau otot-otot lelaki itu memang dilatih. Jadi, mungkin ini salah satu alasan mengapa banyak perempuan di D'amore mengagumi Bimo Hartawan selain tampan juga berpostur bak dewa Yunani.
Segelintir pikiran kotor menyergap kepala Wendy, membayangkan bagaimana jadinya jika tangannya menelusuri tiap lekuk otot Bimo dan bibirnya mengecup kulit yang tampak maskulin itu. Hal lain yang terlintas adalah bagaimana rasanya menyandarkan kepala ke dada bidang Bimo untuk mendengar irama dada lelaki itu? Jantung Wendy otomatis berdetak kencang seperti baru saja menerima adrenalin dari luar. Kakinya tak bisa berpindah saat Bimo berjalan ke arahnya tuk menepis jarak di antara mereka. Lelaki itu memiringkan kepala dan menggoyangkan tangan di depan wajah Wendy yang memerah melebihi kepiting overcook dalam kuali.
"Wen!" panggil Bimo membuyarkan lamunan Wendy.
Tentu saja gadis yang mengenakan baju tidur Bali kuning mencolok itu gelagapan bukan main. Buru-buru mengatupkan mulut dan menjilati bibirnya sendiri yang mendadak kering. Harusnya dia sudah tahu kalau hal seperti ini akan lebih sering terjadi karena mereka tinggal satu atap. Wendy berpaling dan mengipasi wajahnya yang terasa panas sekaligus menghilangkan rasa gugup bercampur malu mengamati Bimo dalam sudut pandang berbeda. Namun, ekor mata Wendy mencuri-curi secuil kesempatan untuk merekam tubuh Bimo diam-diam.
"A-apa, Mas?" tanya Wendy segera meletakkan piring di atas meja makan berisi olahan ayam saus Inggris didampingi capcay yang baru saja matang.
"Wajahmu merah banget," jawab Bimo. "Enggak sakit kan?"
Dasar enggak peka, batin Wendy kesal.
"E-enggak, cuma kaget aja Mas Bimo kayak gitu," tunjuk Wendy jujur mengarahkan kanannya pada perut sixpack Bimo.
Lelaki itu menunduk lalu salah tingkah sendiri karena tidak sadar kalau di rumah ini tidak hanya dirinya saja sekarang. Tak menunggu waktu lama, kaki yang beralaskan sandal putih itu bergerak begitu saja menuju kamar untuk mengenakan pakaian agar tidak menimbulkan hal-hal aneh lain lagi. Sayangnya, hati Bimo justru berdentum tak beraturan karena malu sekaligus canggung. Tapi saat berada di kamar, dia malah tertawa kenapa harus terjebak dalam situasi kikuk padahal mereka adalah teman lama yang tidak menaruh rasa.
Tangan Bimo terulur mengambil deodorant untuk dibalurkan ke ketiak, lantas mengambil kemeja putih yang pas di badan kekarnya sebelum berangkat ke hotel. Tak lupa pula menata rambut yang mulai memanjang sebatas tengkuk leher dengan pomade agar terlihat rapi sepanjang hari dan menyemprotkan parfum ke seluruh tubuh. Selesai merapikan diri, Bimo keluar dari kamar ketika Wendy mengaduk secangkir teh lemon sambil bergumam di pantry berkonsep mini bar. Dia bertemu pandang dengan gadis itu kemudian menarik kursi bar dengan bibir mengembang melihat ada secangkir kopi mengepul panas.
"Enggak nyangka kamu masih inget," kata Bimo mengetahui Wendy hafal kebiasaannya.
"Bukan inget, tapi udah terlalu sering lihat kamu ngopi paling enggak sehari dua kali, pagi sama siang. Malam ngeteh iya kan?" tandas Wendy meletakkan sendok teh di cawan lalu berbalik untuk mengambil piring. "Mau nasi banyak apa sedikit?"
KAMU SEDANG MEMBACA
Impossible Marriage (END)
Romance(Marriage Life Series) Memilih menjadi single bahagia sepertinya menjadi sebuah aib bagi keluarga Wendy Aurelia. Di usia 31 tahun, Wendy dipaksa menikah demi membungkam cibiran keluarga besar sekaligus menuruti permintaan sang ibu. Sehingga dia meng...