02 | Favorite Amber

4 0 0
                                    

Selamat membaca!

.

.

.

Sudah sejak beberapa jam yang lalu Hagla setia duduk di sofa ruang tamu dengan laptop di pangkuannya. Tanpa melepas kaca mata yang ia kenakan, Hagla memijat pangkal hidungnya. Persiapan perekrutan karyawan kali ini benar-benar menguras tenaga dan pikirannya—termasuk hari Minggunya. Pria itu menyandarkan kepalanya menatap langit-langit rumah sebelum memejamkan matanya untuk sedikit beristirahat.

Ara yang baru memasuki rumah setelah mengambil beberapa foto dirinya di depan rumah, langsung menuju ke dapur setelah melihat Hagla. Tak memerlukan waktu lama, ia kembali ke ruang tamu dengan membawa dua collin glass berisi jus jeruk di atas nampan plastik berwarna cinnamon.

Ara meletakkan nampan yang ia bawa di meja ruang tamu dan mendudukkan dirinya di sofa—di sebelah kiri suaminya. Hagla masih pada posisinya, belum menyadari kehadiran Ara. Perempuan itu menatap suaminya yang selalu membuatnya terkesan. Kali ini hanya dengan kaos oblong putih dan rambut bergelombang yang berantakan membuat Ara tersenyum dan berdecak menggelengkan kepalanya karena pesona suaminya yang tak main-main. Rambut dengan potongan low taper fade itu terasa sangat halus setiap kali Ara menyugarnya.

Puas memandangi suaminya, perlahan Ara memindahkan laptop di pangkuan Hagla ke meja di depan mereka—di sebelah nampan jus yang ia bawa tadi.

Merasa beban di pangkuannya menghilang, Hagla membuka kedua matanya cepat untuk melihat keadaan di sekitarnya. Ia menemukan laptopnya sudah tergeletak manis di atas meja dan ada nampan dengan dua gelas berisi cairan berwarna oranye di sampingnya. Hagla menyadari kehadiran Ara di sebelahnya. Mereka berdua saling melemparkan senyum kecil penuh madu milik masing-masing.

Ara mencari posisi nyamannya. Ia mengubah posisi tubuhnya yang semula menyamping menghadap Hagla untuk menghadap ke depan. Ia menepuk pahanya dua kali sambil menatap Hagla.

Mengerti kode dari Ara, Hagla segera membaringkan tubuhnya nyaman dengan pangkuan Ara sebagai bantalnya. Ada dua senyuman yang tak luntur sedari tadi.

Ara menunduk menatap wajah suaminya. Tangan kanan Ara menelusuri garis tegas rahang suaminya berulang dan tangan kirinya perlahan mengusap lembut kepala Hagla. Hagla hanya diam, menikmati sentuhan istrinya.

"Capek banget, ya, Mas?" Tanya Ara pelan.

Hagla membuka matanya pelan, senyuman itu masih ada di sana. Ah, bagaimana mendefinisikannya. Indah? Manis? Itu tidak cukup.

"Sedikit," jawab Hagla dengan wajah yang ia tenggelamkan di perut Ara.

Ara sedikit meringis mendengar respons Hagla. Seharusnya suaminya bisa bilang jika dirinya benar-benar lelah. Ara akan membantu dengan apapun yang bisa dirinya lakukan. Ara sadar benar bahwa sejak dulu ia tak pernah benar-benar ingin tahu seputar apapun tentang pekerjaan suaminya. Ia hanya akan memberikan kata-kata semangat, secangkir kopi atau teh, dan sesekali menemani Hagla jika pria itu harus melewati malam bersama setumpuk pekerjaan yang ikut pulang ke rumah. Manajemen personalia sangat jauh dari Ara. Perempuan itu khwatir mengacaukan apapun yang mungkin.

"Nanti malem mau makan apa?" Ara terus menyugar rambut suaminya dengan jemarinya yang lentik.

Hagla menengadah menatap wajah teduh istrinya, "Apa aja yang kamu mau, Sayang. Atau mau makan di luar sekalian jalan-jalan?"

"Ih, mau banget. Udah lama kita nggak jalan-jalan bareng, Mas." Jawab Ara antusias.

Hagla terkekeh kecil melihat tingkah istrinya. Perempuan ini benar-benar mewarnai hidupnya. Membuat dirinya merasakan perasaan-perasan baru yang sangat menyenangkan. Bisa-bisanya perempuan cantik, ceria, dan perhatian ini adalah istrinya—kekasih hatinya. Apakah dia pernah berdoa untuk kesempurnaan ini?

"Oke, nanti kamu yang milih mau makan apa, di mana, dan mau jalan-jalan ke mana. Aku yang traktir." Ucap Hagla dengan percaya diri dan tawa kecilnya.

Ara mengerucutkan bibirnya, "Lah, ya haruslah. Kan kamu yang duitnya banyak."

Tanpa sadar Ara menatap mata prianya. Menyelam dalam sihir keemasan yang memabukkan. Mata amber itu sangat menakjubkan. Seperti golden hour—magic hour sebelum sunset. Ara sangat menyukainya—mata amber favoritnya.

"Mata kamu bagus, Mas." Ucap Ara jujur.

Hagla memajukan bibir bawahnya mengejek berharap dapat menyamarkan salah tingkahnya. Bukan pujian yang pertama soal mata miliknya. Namun, setiap pujian yang berasal dari Ara efeknya bukan main pada diri Hagla. Setiap Ara mengabarkan pujian demi pujian tentang dirinya, maka Hagla akan mendapat debaran demi debaran di hatinya.

Hagla dan Ara benar-benar pergi ke luar dan baru kembali ke rumah sekitar pukul 22.00 WIB. Mereka menikmati waktu, kebersamaan, dan euforia menggelitik yang lama tak mereka rasakan karena kesibukan mereka masing-masing.

"Kapan-kapan ke sana lagi mau?" Tanya Hagla pada Ara yang sedang mengeluarkan tiga paper bowl dari kantong plastik putih berukuran sedang.

Ara melirik Hagla sekilas, "Mau banget dong, Mas," perempuan itu tertawa kecil dan kembali fokus ke paper bowl di hadapannya, "sering-sering ajakin ke sana ya, Mas. Nanti Mas Hagla yang harus antre telur gulung pokoknya."

"Siap, Queen. Apa, sih, yang enggak buat kamu, hm?" Jawab Hagla sedikit menggoda.

Ara memutar bola matanya malas mendengar rayuan receh suami kesayangannya itu dan Hagla tertawa melihat raut wajah Ara yang terlihat lucu di matanya. Sepertinya Ara mulai bosan dengan kata-kata mautnya yang satu itu. Bagaimana lagi, Hagla bukan pria puitis dengan diksi cinta berbait-bait. Bukan juga musisi romantis di mana nada cinta selalu menggema mengikuti langkah kakinya.

Layar handphone Ara yang diletakkan di atas meja menyala. Menampakkan notifikasi pesan masuk. Ara segera membuka pesan itu dan mengetik beberapa kata sebagai balasan.

"Mas, besok disuruh Ayah ke rumah. Terserah mau pagi sebelum kerja atau pulang kerja. Ayah di rumah terus katanya," Ara meletakkan handphone-nya lagi dan mengambil satu paper bowl berisi tteokbokki kenyal dengan aroma saus yang menggugah selera dan taburan biji wijen di atasnya.

Hagla mengangguk, mengambil satu paper bowl berisi lima tusuk odeng dalam kuah menggiurkan dengan asap asap yang masih sedikit mengepul. "Bilang ke pria nomor satu kamu kalo pria nomor tiga kamu bakal dateng sore. Tanyain juga lagi pengin apa, biar aku bawain."

"Sure, King." Ara mengambil handphone-nya lagi dan jemari tangan kanannya mulai bergerak lincah di atas layar datar itu untuk menuliskan pesan kepada pria nomor satunya.

'Pasti nggak akan semuanya mudah buat kita ke depannya, Ra. Jangan bosen, jangan capek, jangan nyerah, Sayang. Janji bangun kerajaan kita bareng-bareng ya, Dear—my only queen.'

Semua tentang Hagla adalah mengesankan dan semua tentang Ara adalah menakjubkan. Jika bertemu dengan orang yang tepat, semua yang tertangkap netra sampai yang tersembunyi dari semesta bukanlah satu hal yang sulit diajak berdamai menerima. Namun, tetap tuntutlah sesuatu agar hidup dan hubungan yang dijalani bisa terus lebih baik dari hari ke hari.




Author note:

Bagian ke-2 selesai. Terima kasih sudah membaca, ya!

I hope the third chapter can be released next week.

Free to vote, comment, and follow.

Thank you -O-

— September 10th, 2022

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Sep 10, 2022 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

Hai, Imam!Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang