EPISODE 2

2 1 0
                                    

"Kak, kenapa kamu pilih jadi pohon pas teater kita tadi di EM.pina?"

"Kenapa, Kak?"

Riuh tetap tak bergeming dicacar banyak pertanyaan oleh Zulai, perempuan itu tetap sibuk membentangkan sebuah tikar yang akan dia jadikan alas untuk tidur, kasurnya tidak cukup besar untuk memuat dua orang, dari pada tidur sempit-sempitan, lebih baik Riuh memilih tidur di lantai.

"Kenapa, Kak?" Zulai kembali mengulang pertanyaanya.

Riuh menghela nafas sejenak, menatapnya malas, sebuah kesalahan besar memberi anak itu tumpangan untuk berehat malam ini.

"Udah gue bilang Lai, di lingkungan ini lebih baik lo diam."

"Kak, entah kenapa aku ngerasa kamu kek sedih gitu loh." cepat-cepat Zulai meralat ucapannya ketika melihat tatapan tajam dari Riuh, "aish, itu perasaan aku aja kali ya, Kak. Atau karena aku yang sedang bersedih jadinya aku ngerasa orang-orang lain turut bersedih juga."

Sebelum tatapan itu merobek jantungnya, Zulai melompat cepat ke arah tempat tidur yang langsung berdenyit, kerangka tempat tidur itu sudah sangat tua. Zulai jadi iri, gadis seberbakat Riuh di besarkan di lingkungan yang sangat berbeda dengan dirinya dibesarkan. Di lingkungan yang sangat nyaman, sampai-sampai tidak ada yang bisa dia lakukan.

_-_

Badai Tuan Telah berlalu, salah kah aku menuntut mesra

Malam itu, 19 April 2022. Malam yang cukup berisik untuk di ajak istirahat. Di dalam sana rasanya terlalu menyesakkan untuk tidur. Di dalam sana terlalu berisik untuk meminta hening. Selamanya, ini tidak akan mudah, tapi Riuh tak menyangka langkahnya untuk mimpi yang telah ia dambakan selama ini terlalu sulit. Apa kah ini yang dimaksud dengan sebaiknya bermimpi hanya ketika tidur? Dan ketika terbangun saatnya bertempur dengan realita. Capek.

Enam bulan yang lalu Ava Nurrin datang ke Teater Kawan Mimpi yang digarap oleh Riuh, membuat sebuah kesepakatan yang Riuh pikir tidak akan semenyakitkan ini. Sudah banyak anggota teaternya mengundurkan diri karena penghasilan dari teater tidak bisa di harapkan, mereka ingin fokus mencari pekerjaan ke pabrik-pabrik. Demi keselamatan teater yang dia impikan Riuh menerima kesepakatan itu. Dengan pongahnya perempuan dengan rambut sebahu itu selalu mengangkat kepalanya, tersenyum penuh keangkuhan, dia Ahva Nurrin.

Riuh terima kesepakatan itu, "Gue kasih lo kesempatan buat tampil di M. Pina Group, tapi dengan syarat lo harus jadi pohon tanpa dialog, berdiri di tengah-tengah panggung. Agar orang-orang tau betapa menyedihkannya lo." Diakhir perkataannya Ava Nurrin melemparkan sebuah kertas kecil berbentuk kartu, "hubungin gue kalau lo setuju dengan kesepakatan kita, di kartu itu ada nomor gue, siapa tau lo udah gak nyimpen nomor gue lagi."

Malam ini, tidak hanya namanya yang Riuh, tapi semuanya riuh di dalam diri gadis itu. Berisik tanpa suara, sedih yang tak bisa dijelaskan. Riuh memutuskan untuk mengambil gitarnya dan pergi bernyanyi di sepanjang trotoar jalan. Sampai Jadi Debu, sebuah lagu yang selalu menemani senduhnya, sebuah lagu yang selalu hadir ketika pilu meminta untuk diratapi, ketika lelah terhadap ketidak beruntungan yang harus disyukuri.

___

Jam empat dini hari.

Ini bukanlah sebuah tempat dimana orang-orang mengenal yang namanya tidur, semakin mendekati subuh semakin banyak orang-orang keluar dari tempat peraduan mereka. Si salah yang katanya dilumuri dosa baru pulang hendak tidur, si benar yang katanya bergelimang pahala sedang pergi hendak menghadap Tuhannya, atau si rajin yang sedang kepayahan mengurus barang dagangan.

Riuh ingin sedihnya dibayar, tak ingin sia-sia begitu saja. Bukankah menjadi seniman seperti itu? Hati yang sedang berduka adalah bahan premium kualitas terbaik untuk menghasilkan sebuah maha karya. Katakan saja dia sedang mengamen, ya ... karena memang itu yang dia lakukan.

Banyak hal yang sedang berkecamuk dalam diri Zulai saat ini melihat Riuh dari kejauhan, jarinya dengan gemulai memetik gitar dan suaranya yang indah mengalun pada dinginnya malam yang tak lagi bisa disebut malam. Kapankah wanita itu tidur? Ayahnya pernah bilang, bahwa dunia bukan tempat yang baik dan indah untuk di tinggali. Apakah kehidupan seperti yang diperankan oleh Riuh adalah kehidupan yang tidak indah dan tidak baik? Lantas kehidupan yang baik dan indah itu seperti apa? Zulai ingin menanyakan itu, nanti saja ketika dia dapat bertemu ayahnya.

"Lai, lo ngapain kesini?" Tanpa sadar ternyata Riuh sudah berada di depannya.

Zulai langsung mengamit tangan Riuh, mengajaknya untuk melangkah pergi, "rame juga yang disini, Kak," Zulai berusaha mengalihkan pembicarannya. Dia sendiripun tidak tau kenapa dia bisa berada disini.

Yang jelas sebuah suara kegaduhan mengusik tidurnya. Tidak, bukan lagi soal banci yang saling jambak-jambakan, tapi suara anak kecil yang sedang meraung-raung dari kamar sebelah. Ketika Zulai terbangun dia tidak menemukan Riuh di sebelahnya, kemudian dia keluar dan sedikit berjalan-jalan dan dia bertemu dengan Riuh disini, di sebuah pertigaan jalan.

"Lo lapar? Mau makan gak?"

"Boleh, kita makan apa, Kak?"

CONNECTIONTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang