The Last Flower || Arman Prayudha

247 8 2
                                    

No one know what i mean and needed

***

Terdengar suara perdebatan dari ruang kepala kejaksaan. Perdebatan yang memang sepertinya terdengar cukup serius mungkin juga bisa jadi adalah hal yang berbahaya.

"Biarkan kasus ini ditangani jaksa yang lebih senior." Ucapnya lantang, dengan nada perintah.

"Apa anda meragukan kinerja saya?" Laki-laki dengan postur tubuh tinggi tegap itu pun berdiri mengikuti sang atasan yang juga berdiri menghadap ke jendela kaca besar yang ada di ruang kerjanya.

"Kamu tidak tau kasus apa yang sedang kamu tangani saat ini." Ia berbalik memandang laki-laki yang tengah menatapnya penuh keyakinan.

"Saya yakin mampu, untuk menyelesaikan dan menghukum mereka yang terlibat dengan kasus ini." Ucapnya meyakinkan,"Saya mohon Pak Radji , tunjuk saya untuk menangani kasus ini. Di instansi ini hanya anda yang bisa saya percaya." Ungkap nya dengan mantap.

Laki-laki paruh baya itupun berjalan menghampiri seorang jaksa muda bernama Arman Prayudha yang tengah berdiri di hadapannya saat ini.

"Baiklah jika itu keinginanmu, semoga Tuhan selalu melindungi di manapun kamu berada." Ucapnya, tak lupa menepuk pundak jaksa muda tersebut.

"Terima kasih." Ia berucap, lalu menundukkan kepala sebagai rasa hormatnya kepada pimpinan yang ia hormati saat ini.

Arman kembali ke ruangannya, asisten pembantu nya segera mendekati Arman begitu laki-laki itu masuk kedalam ruangan.

"Bagaimana hasilnya?" Tanya Setyo, ia adalah seorang asisten yang membantu pekerjaan Arman di kantor kejaksaan.

"Kepala kejaksaan sudah memberikan izin untuk aku memegang kasus ini, jadi secepatnya surat perintah penggeledahan akan di keluarkan." Ucap Arman dengan yakin.

Lelaki bertubuh gempal itupun bersorak dengan menarik tangan kanannya,"Yes!" Ucapnya penuh semangat. Pasalnya sudah beberapa kali mereka mencoba bekerja sama untuk menangkap bandar narkoba kelas kakap itupun sangat lah sulit, banyak sekali oknum yang melindungi mereka.

Pintu terbuka di sana berdiri seorang wanita dan laki-laki yang di kenal oleh Arman.

"Kamu yang jaksa yang bertanggung jawab atas kasus itu?" Tanya seorang perempuan yang baru saja tiba dengan kotak berisi kopi di tangan kanannya. "Sorry, aku nggak sengaja dengar."

Arman menoleh ke asal suara, lalu ia mengangguk. Ia juga mempersilahkan tamunya untuk masuk. "Dia juga incaran mu Briptu Bulan Prayudha."

Bulan menyerahkan kopi yang ia bawa kepada Setyo dan juga Arman, tak lupa Gian kolega sekaligus juniornya. Lalu mereka pun duduk di kursi yang ada di ruang kantor Arman.

Bulan tersenyum saat sepupunya itu menyebut nama lengkapnya. "Itu dulu, saat aku masih bertugas di Satuan Resnarkoba." Jelasnya, lalu ia mencecap kopi yang ada di tangan kanannya.

Arman tergeli, ia bahkan lupa jika sejak setahun lalu sepupunya itu sudah di pindahkan ke Satuan Reskrim.

"Jadi apa yang membawa kalian kemari?" Tanya Arman pada dua polisi yang berdiri di hadapannya sekarang. Meskipun ia sudah tau apa maksud dan tujuan mereka berdua.

Gian meletakkan tas yang cukup lumayan besar berisi berkas-berkas yang memang harus di serahkan ke kejaksaan.

Arman pun membuka tas itu,"Sebanyak ini?" Tanyanya heran, ia bahkan mendesah hanya satu kasus tapi mengapa berkasnya sebanyak itu.

Bulan tekekeh melihat raut wajah terkejut sepupunya itu,"Yang kita tangkap kemarin bukan hanya satu orang dalam kasus itu, korbannya banyak."

Arman pun dengan sigap membaca satu per satu berkas di tangannya, kasus pembunuhan berantai dan praktek jual beli organ manusia secara ilegal menggegerkan publik kala itu. Untung saja, pelaku berhasil di tangkap dan diadili.

"Oke, thanks atas kerja keras kalian semua." Ucap Arman, ia berterima kasih.

Baik Bulan dan Gian, mereka menganggukkan kepala bersamaan.

**

Suara tepukan tangan riuh menggema di ruangan sidang hari itu, putusan hakim memberikan hukuman mati untuk beberapa tersangka yang terlibat dalam kasus pembunuhan berantai dan jual beli organ manusia secara ilegal.

Publik pun puas atas hukuman yang pantas mereka dapatkan, begitupun juga dengan Arman. Jujur saja sidang kali ini menguras emosinya, para pelaku pantas di berikan hukuman yang setimpal. Bahkan mereka tak pantas menyandang nama sebagai manusia.

Arman segera membereskan berkas yang menjadi bukti kejahatan para kriminal itu, sungguh ia sangat emosional ketika sidang yang dilakukan secara terbuka itu dihadiri oleh beberapa kerabat dari korban.

Apalagi mengingatkan para korban yang hampir mencapai tiga puluh orang dengan usia yang masih belia, tak ayal hal tersebut membuat emosi Arman sedikit mencuat saat sidang tadi.

Lama membereskan berkas, Arman tersadar jika masih ada seseorang yang menunggu nya. Orang itu duduk dengan tenang sembari melambaikan tangan saat Arman melihat keberadaan di sana.

Arman pun tersenyum sembari membawa berkas yang mungkin beratnya lebih dari dua puluh kilo.

"Keren sekali." Ucapnya saat Arman semakin mendekat ke arahnya.

"Itu sudah menjadi tugasku."

Lelaki bertubuh jangkung itupun tertawa dan menepuk pundak sahabatnya itu, "Lama nggak berjumpa, sepak terjang mu lumayan juga." Pujinya pada sahabat.

"Jangan berlebihan, Satria." Arman menyebut nama sahabat nya itu.

Kedua laki-laki dewasa itupun saling terbahak, dua sahabat yang lama tak bersua itu pun saling berjalan beriringan keluar dari ruang sidang.

Tak jauh dari kantor pengadilan, Arman dan Satria memilih untuk bertukar cerita di sebuah kafe. Mereka berdua saling berbagi cerita pengalaman.

"Lawyer, gitu kan nyebutnya."

"Lebih baik, dari pada pengacara. Pengangguran banyak acaranya." Timpal Satria, tak ayal dua sahabat sejoli itu tertawa terbahak-bahak."


Kamu masih terus mencari keberadaan perempuan itu?"

Pertanyaan dari Satria membuat Arman yang hendak mengambil kentang goreng di hadapannya itupun tampak terkejut. Tampak ia segera mengganti raut wajahnya agar tampak baik-baik saja.

"Ya begitulah." Jawaban dari pertanyaan Satria, lali ia kembali menyantap kentang goreng.

"Sudah ada kejelasannya?"

Arman menggeleng dan mengendikan bahu, ia seakan terlihat tidak peduli dan tentu saja memasang wajah tak ingin tau tentang perempuan yang di maksud oleh Satria.

"Aku harus kembali ke kantor, jam istirahatku juga sudah terlalu lama." Pungkasnya, sembari mengamati jam tangan yang melingkar di pergelangan tangan kanannya.

Satria pun juga ikut melihat jam yang ia kenakan, benar sudah terlalu lama untuk Arman untuk duduk di kafe apalagi ia seorang abdi negara.

Satria juga tak banyak berkomentar, meskipun ada banyak mungkin ratusan pertanyaan yang mulutnya ini sangat gatal ingin segera mencecar sahabatnya itu.

"Baiklah, hati-hati di jalan." Akhirnya Satria memilih kembali bungkam.

Arman pun tersenyum, ia mengemasi barang bawaannya. Lalu ia melambaikan tangan, berpamitan kepada Satria.

Pertanyaan dari Satria cukup mengganggu pikirannya, keberadaan perempuan itu sudah di temukan. Namun, ia merasa belum memiliki cukup nyali sekedar bertandang ke sana.

"No one know what i mean, and i needed." Gumamnya saat ia duduk sambil tertunduk di setir mobilnya, yang sudah terpakir di kantor kejaksaan.

***
Jangan lupa vote dan komen

Terima Kasih

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Feb 02, 2023 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

The Last FlowerTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang